Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

"Jangan dikejar, Prince," kata Aaron.

"Tapi, dia menarik paksa Mentari seperti itu."

Aaron menggangguk paham. "Kita jangan ikut campur dengan masalah mereka. Gue tahu lo itu sepupunya. Namun, dengan lo ngejer mereka. Mentari akan semakin disiksa oleh Langit."

"Apa yang dikatakan Aaron benar, Prince." Mike berujar pelan.

Prince menghembuskan nafas kasar. "Maafkan aku yang belum bisa melepaskanmu dari sepupu kejamku itu, Mentari." Prince berujar dalam hati.

***

"Langit, lepas! Ini menyakitkan!" Mentari meronta-ronta. Sakit dikakinya dan pergelangan tangannya itu semakin menjadi saja. Alamat, besok pasti dirinya tidak akan bisa ke kampus. Jangankan ke kampus. Untuk bangun saja pasti tidak bisa.

Sesampainya di dalam rumah. Langit dengan tidak berperasaan menghempaskan tubuh Mentari begitu saja. Nafasnya naik turun. Langit tidak tahu kenapa dirinya bisa semarah ini. Ia marah karena melihat sang sepupu yang terlilhat begitu peduli dengan Mentari. Jangan bilang kalau sepupunya itu jatuh hati kepada gadis udik yang tidak ada menariknya sama sekali. Begitulah anggapan dari seorang Langit.

Mentari berpenampilan seperti itu atas paksaannya juga. Bahkan kacamata yang selalu dikenakan Mentari khusus diberikan oleh Langit sendiri. Mentari memakai kacamata bukan karena minus atau membutuhkannya. Mentari begitu karena perintah Langit yang tidak mungkin untuk dibantah. Kalau tidak, siksaan akan didapatkan.

"Ini sakit," lirih Mentari sambil menatap nanar ke aral pergelangan tangannya yang terluka karena kuatnya tarikan Langit. Belum lagi kakinya yang sudah membiru itu. Badannya yang dihempaskan kasar oleh pria tampan beralis tebal itu benar-benar membuat semua tulangnya terasa patah semua.

Langit yang begitu emosi. Sempat-sempatnya menendang kaki Karina yang membiru itu.

"Aww." Seketika Mentari menutup mulutnya menahan rasa sakit yang luar biasa itu.

Setelah melakukan itu, Langit pun langsung menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya. Sepertinya dia tidak akan kembali lagi ke rumah sang sepupu untuk menghadiri pesta. Moodnya sudah hancur berantakan. Hanya satu solusi yang ia butuhkan saat ini. Yaitu menyiram kepalanya yang tengah terbakar kali ini dengan air dingin.

Langit sudah tidak terlihat lagi. Mentari yang sangat yakin kalau pria itu tidak akan keluar kamar sampai esok pagi. Ia pun memutuskan untuk berusaha bangkit menuju sebuah ruangan yang tidak jauh darinya. Ruangan itu tepat berada di bawah tangga.

Mentari memutuskan untuk tidur di ruangan itu. Ruangan yang dulunya adalah gudang. Namun, sekarang sudah menjadi ruangan tempatnya belajar dan menghabiskan waktu disana tatkala orang tua angkatnya itu pergi.

Sudah mencoba berkali-kali untuk bangkit tetapi terus terjatuh dan membuat kakinya semakin saja. Mentari pun memilih diam sejenak. Kemudian, menyeret tubuhnya secara perlahan. Dirinya seperti orang lumpuh yang tidak bisa berjalan. Ya, hampir mirip.

Lumayan lama akhirnya, Mentari sampai juga di ruangan ini. Senyum mengembang di wajah cantiknya.

Tidak ada ranjang hanya ada alas tikar yang biasanya ia gunakan untuk tidur bila berada di sini. Berbeda dengan kamarnya di lantai atas. Kamar yang berdekatan dengan pria beralis tebal itu.

"Lebih baik aku mandi, dulu," putusnya.

Di Kamar.

Langit tengah mematut wajahnya di depan cermin. "Kenapa aku bisa semarah itu melihatnya bersama Prince tadi?" monolognya.

Sebenarnya, ia tahu kalau selama ini Prince senantiasa membantu Mentari tepatnya di kampus. Pria berkulit seputih susu itu memang terlihat menghindar jika ditanya kenapa selalu membantu Mentari.

"Aku sangat yakin kalau Prince tertarik dengan Mentari. Terutama tatapannya itu." Mengusap wajahnya kasar.

"Apa sich yang Prince lihat dari gadis udik itu. Benar-benar tidak masuk akal."

Lima belas menit lamanya, akhirnya Langit menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang begitu empuk.

Kamarnya itu selalu rapi dan bersih. Bukan karena dia yang rajin membersihkannya. Melainkan Mentari yang sebenarnya melakukan semuanya. Bisa dikatakan kalau Mentari adalah babu di rumah ini. Lebih tepatnya ia yang memperlakukan gadis malang itu seperti babu.

Sangat berbeda dengan orang tuanya terutama sang Mama yang sangat menyayangi Mentari. Ia saja merasa iri dan kesal. Jujur, Langit tak suka dengan itu semua. Perhatian Mamanya seharusnya untuk dirinya saja tidak boleh terbagi. Apalagi terbagi dengan anak pembubuh seperti Mentari.

"Ah, aku baru ingat kalau kakinya tadi terluka. Dia bisa jalan tidak ya?"

"Astaga! Apa-apaan ini! Kenapa aku jadi peduli begini?"

"Biarkan sajalah. Kalau pun tidak bisa jalan. Bukannya bagus. Aku malah berharap dia mati saja." Kata-kata kasar itu terlontar dengan mudahnya dari bibir tebalnya itu.

Tak ingin ambil pusing. Langit pun memutuskan untuk memejamkan matanya. Biarlah ia tertidur di sore hari begini.

Moodnya sudah sangat buruk. Tidak mungkin bisa melakukan kegiatan apapun itu.

***

Malam sudah semakin larut. Namun, tampaknya gadis cantik yang tengah membaca sebuah novel itu sambil berbaring masih terlihat belum ingin mengakhiri bacaannya.

Setelah menyelesaikan semua tugas kuliahnya. Sekitar jam sembilan tadi, Mentari mulai membaca sebuah novel romantis kesukaannya.

Ia memang sangat suka sekali dengan yang namanya novel. Dengan membaca novel-novel itu setidaknya dirinya bisa tersenyum dan senang.

Waktu terus saja berjalan. Hingga tanpa sadar, jika saat ini sudah pukul tiga pagi. Rasa kantuk sudah mulai Mentari rasakan. Dengan berat hati, ia menutup novel itu. Sebagai informasi, Karina setiap satu bulannya selalu memberikannya sebuah buku pelajaran dan juga novel. Lihatlah, ruangan ini dipenuhi dengan buku-buku. Hampir mirip dengan perpustakaan saja.

Mentari saat ini adalah Mahasiswa semester empat jurusan ekonomi. Sama seperti Langit. Sebenarnya, sedari dulu Mentari tidak ingin satu Universitas dengan Langit. Namun, dirinya tak kuasa menolak keinginan dari sang Mama angkat.

Bukannya apa. Dengan terus bertemu dengan Langit. Mentari merasa kalau hidupnya akan semakin tidak tenang, dan ternyata dugaannya itu benar sekali.

Tidak di rumah ataupun di kampus, Langit terus-terusan menganggunya. Muak. Tentu saja ia sudah sangat muak. Ingin rasanya menjauh dari sosok Langit sebentar saja. Mentari ingin merasakan ketenangan.

"Aku harus segera tidur." Cepat-cepat Mentari memejamkan matanya. Ia harus bangun pagi untuk membuatkan sarapan dan memberesi rumah. Jika sampai terlambat sedikit saja. Langit pasti akan menyiksanya.

Lihatlah sekujur tubuhnya sudah banyak bekas luka yang ia dapatkan dari pria yang bernama Keysan Langit Pratama itu.

Di tempat lain.

Prince terus menatap lukisan seorang wanita yang tengah tersenyum. Walau hari sudah hampir pagi. Prince tak kunjung mengantuk.

Acara ulang tahunnya berjalan lancar. Hanya sedikit berbeda dengan ulang tahun sebelum-sebelumnya. Yang membedakannya adalah kali ini tidak ada sosok sepupu tampannya itu. Ini adalah kali pertama seorang Langit tidak hadir di acara ulang tahunnya.

"Apakah besok dia kuliah, ya?" Prince terus menatap lukisan itu. Lukisan yang dibuat sendiri olehnya. Gadis yang ada dalam lukisannya itu adalah Mentari.

Begitu banyak gadis yang terang-terangan mendekatinya. Namun, tidak ada satupun dari mereka bisa menggoyahkan perasaannya ini. Perasaan yang sudah tertaut kepada satu gadis yaitu Mentari. Amanda Mentari.

Hanya sosok itu yang bisa membuat jantungnya berdebar. Ia bertekad suatu saat nanti bisa membawa Mentari keluar dari rumah sang sepupu.

Menurutnya, perasaannya ini bukanlah sebuah candaan. Ia sangat serius. Mungkin saja, dalam waktu dekat ia akan menyatakan perasaannya. Setelah itu, kalau memang Mentari menerima cintanya. Ia akan mengajak Mentari ke jenjang yang serius.

Menikah muda bukanlah hal yang dilarang kan? Lagipula, umur mereka sudah dua puluh satu tahun lebih, dan itu tandanya sudah termasuk umur yang lega. Umur yang bisa dikatakan cukup matang.

Cup.

Prince mengecup lukisan itu dengan penuh perasaan, seolah membayangkan kalau itu bukan hanya sekedar lukisan, tetapi sosok Mentari yang asli.

"Mimpi indah, Mentariku. Aku tau kalau kamu sanggup menghadapi semua ini." Memeluk lukisan itu dan mulai memejamkan matanya.

***

Jam alarm berbunyi lumayan keras. Hal itu sukses membuat pria tampan beralis tebal itu terbangun.

Langit membuka matanya secara perlahan. "Sudah pagi rupanya." Mematikan jam alarm itu.

Ia pun langsung bergegas untuk menuju kamar mandi.

Tak membutuhkan waktu yang lama hanya sekitar dua puluh menit lamanya. Langit sudah siap dengan setelah kaos dan celana jeans yang membuatnya terlihat semakin tampan saja.

"Gadis itu pasti sudah bangun kan."

Entah kenapa Langit tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Ia pun memutuskan untuk mengecek kamar di sebelahnya. Kamar dari seorang Mentari.

Kosong. Itulah yang dilihat oleh seorang Langit.

"Apa memang benar dia sudah bangun?" Langit memasuki kamar bernuansa pink itu.

Dilihanya kasur begitu rapi seperti tidak ada tanda-tanda ditempati. Disentuhnya atas ranjang.

Dingin. Itu yang ia rasakan.

"Apa dia memang bangun pagi-pagi sekali?"

"Ah, lebih baik aku periksa ruangan di bawah tangga." Ia tiba-tiba teringat kalau Mentari termasuk sering tidur di ruangan itu kalau hari weekend. Atau lebih tepatnya jika sang Mama tidak ada di rumah. Ia yang akan menyuruh gadis itu tidur di sana sedari dulu.

"Astaga!" Langit menggeram kesal tatkala melihat Mentari yang tengah meringkuk dalam tidurnya. Gadis itu tidur hanya berselimutkan kain tipis panjang. Sungguh menyedihkan.

Dengan sangat terpaksa Langit memasuki ruangan sempit itu. Ruangan yang menurut Langit sangat tidak ada kata nyaman di dalamnya.

"Dia ini mau malas-malasan ternyata."

Dengan tidak berperasaan. Langit menyiramkan segelas air minum yang terletak di meja belajar kepada Mentari.

"Hey! Bangun!" menendang-nendang pelan tubuh Mentari dengan kakinya.

Disiram seperti itu tentu Mentari sontak membuka retinanya.

"Huh! Akhirnya bangun juga."

"Masak sana! Sudah jam berapa ini. Awas aja kalo lama. Lho bakal dapat hukuman!" ancam Langit.

"Kenapa diam! Bisu ya!"

"Baik."

"Eh, kenapa wajahnya pucat banget? Nggak mungkinkan sakit?" batin Langit yang baru sadar dengan wajah Mentari kali ini. Begitu pucat seperti mayat hidup.

"Alah, masa bodoh!" batinnya lagi.

"Gue tunggu selama setengah jam. Semua makanan harus tersedia. Jika nggak! Awa aja!" Kembali menendang tubuh Mentari seperti dia membangunkan gadis itu tadi. Namun, kali ini kuat sampai Mentari meringis kesakitan.

BRAK!!

Pintu ditutup dengan sangat kuat. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Langit.

Mentari hanya menatap sendu. Kepalanya terasa begitu berat.

Satu tangannya terulur memegang kepalanya. "Ternyata aku demam," lirihnya.

Mentari memasksa dirinya untuk bisa bangkit di tengah rasa pening yang sedang melanda. Hingga tak berapa lama gadis itu pingsan tak sadarkan diri.

Di luar.

Langit berkomat-kamit kesal. Ia begitu kesal dengan Mentari yang tak kunjung keluar. "Dia ini memang sengaja membuatku kelaparan! Dasar!" Memutuskan untuk kembali memasuki ruangan itu.

Kali ini, Langit akan menarik dan menyerer paksa sosok Mentari. Dirinya begitu lapar karena dari sore tidak makan. Sebenarnya bisa sich ia membeli makanan di luar. Namun, lidahnya pasti akan menolak semua makanan itu.

Kalau begitu kenapa ia harus repot-repot membawa bekal dari rumah? Memang sialan lidahnya ini. Dirinya hanya mau makan masakan sang Mama dan juga gadis bernama Mentari itu.

"Mentari!"

Langit memijit kepalanya yang seketika berdenyut. Bisa ia lihat kalau sosok itu sedang tertidur kembali.

"Sialan! Dia malah tidur lagi!

Karena geram, akhirnya dirinya langsung menghampiri Mentari.

"Ayo_" ucapannya terhenti tatkala merasakan suhu tubuh Mentari yang begitu panas. Langit menutup mulutnya tidak percaya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel