Ringkasan
Bulan depan putraku akan menikah. Aku sangat gembira dan segera pergi ke butik memilih gaun untuk menghadiri resepsi pernikahan putraku. Namun, putraku langsung melemparkan gaun yang aku pilih dan berkata dengan menghina, "Ibu lebih baik tidak perlu datang ke pesta pernikahanku. Keberadaan ibu yang sendirian di sana hanya akan merusak pemandangan." "Ayah dan Bibi Ririn saja yang menghadirinya. Hubungan mereka cukup baik dan kelihatan serasi." Aku menatapnya dengan tidak percaya. "Kamu tidak mengizinkan Ibu datang, tapi mengizinkan Ayah dan selingkuhannya datang ke pernikahanmu? Apa kamu lupa ...." "Cukup." Anakku melanjutkan dengan tidak sabar, "Itu semua sudah berlalu, tapi Ibu terus mengungkitnya. Menyebalkan sekali!" "Ayah tidak menyukaimu dan membencimu. Tapi, aku ini anak kandungnya, jadi Ibu tidak akan mengerti hubungan di antara kami." Ya, ya, ya, aku tidak mengerti. Karena mereka memiliki hubungan yang dalam, pasti mereka sudah mengatur segalanya dengan sempurna. Barang-barang yang disiapkan oleh orang yang keberadaannya tidak diterima sepertiku pasti hanya akan diremehkan oleh putraku.
Bab 1
Aku dan mantan suamiku menjalani perceraian yang sangat rumit.
Aku menemaninya membangun rumah tangga dari nol, tetapi dia keberatan dengan penampilanku yang tidak menarik lagi. Bukan hanya mencari selingkuhan di luar sana, dia juga ingin aku pergi dari rumah tanpa membawa harta satu peser pun.
Aku menemaninya membangun bisnis keluarga kami, jadi aku tidak ingin menuruti keinginannya begitu saja.
Karena alasan ini, mantan suamiku memukuli dan memarahiku, mencoba membuatku menyerah akan properti keluarga.
Situasi paling parah adalah ketika aku dan anakku sedang tidur siang. Suamiku kembali secara diam-diam dan menyalakan gas di rumah.
Alhasil, aku dan anakku keracunan gas dan hampir mati.
Aku memohon kepadanya untuk mengantar kami ke rumah sakit. Bukannya mengantar kami ke rumah sakit, suamiku makah mengancamku tanpa belas kasihan.
"Sherin, kalau kamu tidak mau cerai, aku akan membunuhmu. Kamu tidak takut mati, tapi apa kamu juga ingin anakmu mati?"
Aku menatapnya dengan tidak percaya. "Apa kamu masih manusia? Jeriko itu anakmu, apa kamu tega berbuat sekejam itu kepadanya?"
Mantan suamiku tersenyum menghina, "Anak? Masih ada orang lain yang bisa memberiku anak, tidak masalah jika aku kehilangan dia."
Setelah mengatakan itu, mantan suamiku menendangku dan putraku dengan keras.
Kemudian, para tetangga yang mendengar teriakan minta tolong membawaku dan putraku ke rumah sakit.
Aku sangat ketakutan.
Mantan suamiku sudah gila. Dia benar-benar akan membunuhku dan putraku.
Jadi, aku menuruti keinginannya, meminta hak asuh anak lalu pergi dari rumah tanpa membawa satu peser pun harta keluarga.
Aku membesarkan putraku sendirian, melakukan pekerjaan apa pun demi bisa bertahan hidup.
Aku membersihkan toilet, mencuci piring di restoran, bahkan bekerja serabutan di lokasi konstruksi.
Aku bekerja keras selama sepuluh tahun.
Baru ketika Jeriko masuk SMP, aku memaksakan diri untuk mencari pekerjaan tetap.
Aku bekerja sebagai pengasuh anak di sebuah keluarga. Majikanku sangat baik dan memberiku gaji yang tinggi.
Keluarga majikanku memuji masakanku. Dulu, mantan suamiku juga suka dengan masakanku.
Aku merasa bahwa bukan ide yang baik jika aku terus bekerja untuk orang lain. Jadi, aku menggunakan tabungan yang aku simpan selama bertahun-tahun untuk membeli dua toko dan membuka restoran kecil.
Karena harga makanan di restoranku cukup terjangkau dan rasanya pun enak, bisnisku makin berkembang, aku pun makin sibuk.
Hari-hari seperti itu sangat memuaskan, aku juga sangat bahagia.
Namun, putraku merasa tidak tega denganku.
Setiap aku pulang, mata Jeriko berlinang saat melihat tubuhku yang penuh minyak dan tangan keriput.
Jeriko memegang tanganku dan berjanji dengan sungguh-sungguh.
"Ibu, jangan khawatir, aku akan belajar dengan giat dan menghasilkan banyak uang. Dengan begitu, Ibu bisa hidup dengan baik."
Tahun itu, aku mengingat dengan baik janji yang diucapkan putraku. Namun, putra yang aku besarkan dengan susah payah merasa malu karena penampilanku dan tidak mengizinkanku menghadiri pernikahannya.
Dia bahkan mengatakan bahwa aku tidak memahami ikatan ayah dan anak yang begitu erat.