5. Kamu adalah Mimpi Buruk yang Harus Kubuang
***
"Ke Jepang? Ayah serius?" tanya Gadis menatap tak percaya.
"Ayah serius. Kalau kamu mau, nanti Ayah cari informasi universitas di sana buat kamu," jawab Hadi.
"Ibu setuju kalau Gadis kuliah di Jepang? Bukannya Ibu dan ayah selalu menolak rencana Gadis kalau mau sekolah di luar," ujar Gadis memastikan.
"Ibu dan ayah hanya khawatir sama kamu. Apalagi di negara orang, takut ada orang yang berniat jahat sama kamu. Tapi, akhirnya kami sadar kalau menahan mimpimu saja sama membunuhmu pelan-pelan, mematikan doamu. Jadi, sekarang kalau kamu mau kuliah di mana tak masalah, asal kamu bisa menjaga diri dan menjunjung kehormatanmu."
Gadis langsung tersenyum sumringah. "Sebenarnya Gadis sudah setahun lalu mengajukan beasiswa ke beberapa universitas di luar negeri. Kemarin baru saja ada email dari salah satu universitas dan Gadis mendapatkan beasiswa penuh di sana."
"Benar kah? Di universitas mana?" tanya Hadi begitu antusias.
"Alhamdulillah, Gadis diterima di University of Tokyo. Di sana ada program bahasa Inggris, jadi tidak perlu belajar bahasa Jepang terlalu mendalam," jawab Gadis.
"Kamu dapat beasiswa dan lulus di sana?" tanya Hadi, menatap Gadis tak percaya.
Gadis menganggguk. "Iya, Gadis diterima di sana. Ayah enggak percaya?"
Hadi menitikkan air matanya. "Ayah percaya dan bangga denganmu, Nak. Kamu anak yang pintar, jelas Ayah bangga sekali. University of Tokyo adalah universitas yang memiliki seleksi tersulit di Jepang. Alhamdulillah, kamu lolos."
"Gadis pun enggak menyangka sama sekali bisa lulus dan diterima di sana. Cita-cita Gadis memang ingin kuliah di sana, university of Tokyo adalah pilihan yang tepat untuk mempelajari teknik lebih dalam," tutur Gadis. "Ayah... Ibu, maafkan Gadis ya karena Gadis tidak meminta izin dan doa restu kalian untuk ikut tes di sana."
"Sudah jangan minta maaf atau memikirkan hal yang lain. Sekarang fokus saja sama persiapanmu ke Jepang. Kapan berangkat ke Jepang?"
"Masuk kuliahnya bertepatan dengan mau mulainya puasa ramadhan. Tapi, Gadis mau datang lebih awal ke Jepang. Mau membiasakan diri hidup di sana dan juga mau belajar bahasa Jepang di sana. Apa Ayah dan Ibu mengizinkan?" tanya Gadis.
"Apapun yang kamu mau lakukan, lakukanlah! Kami hanya bisa mendoakanmu," jawab Hadi.
"Mas Elang gimana? Izinin Gadis ke sana?" tanya Gadis melirik kakaknya.
"Tentu saja. Kalau hal itu membuat kamu bahagia, Mas pasti memberi restu," jawab Elang.
***
"Kamu beneran mau ke Jepang?" tanya Eva terkejut mendengar kabar baik yang disampaikan Gadis.
"Iya, akhirnya mimpiku dari dulu kuliah di sana bakal terwujud. Aku tak menyangka kalau ayah, ibu dan mas Elang memberi izin, bahkan ayah menawarkan mencari universitas di Jepang untuk melanjutkan kuliahku lagi," jawab Gadis.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa mewujudkan mimpimu dari zaman masih putih–biru dulu. Aku ikut senang mendengarnya," ucap Eva terharu.
"Rancangan mimpiku memang enggak Allah luluskan sih. Dulu kan aku bermimpi ingin kuliah dan menetap di Jepang, di kota Tokyo bersama Devano. Bahkan, aku sudah mencari lowongan kerja di sana untuk kami berdua. Aku sudah mencari apartemen untuk disewa dan nanti akan kami tempati. Tapi, ternyata... rancangan mimpiku salah satunya Allah hapus. Allah ganti dengan lebih indah dan menurut versi-Nya. Yaitu izin keluargaku. Kamu tahu sendiri kalau mereka menentang untuk aku kuliah di Jepang."
"Iya, Gadis. Mungkin ini salah satu kado yang Allah persiapkan untukmu. Devano bukan mimpi indah, dia mimpi burukmu. Untuk itu Allah hapuskan dia dari daftar mimpimu. Aku bersyukur karena akhirnya kamu bisa ke sana, ya meski sendirian enggak apa-apa lah. Siapa tahu nanti pulang-pulang dapat bule Jepang," tukas Eva terkekeh.
"Hush! Kamu jangan ngawur! Di sana aku mau fokus dengan study-ku. Lagian mana mau bule Jepang sama janda sepertiku, apalagi aku ditalak tiga dan usia pernikahannya hanya dalam hitungan hari. Pasti semua memikirkanku dengan stigma negatif," ujar Gadis.
"Lho memangnya kenapa dengan label janda? Kamu itu korban dari orang-orang munafik seperti mereka. Kamu itu punya daya tarik luar biasa. Cantik, pintar, baik, ramah dan juga humoris. Siapa sih lelaki yang enggak akan terpesona denganmu."
"Tapi kok bisa ya aku diselingkuhi? Berarti aku enggak seperti yang kamu katakan. Buktinya dengan mudah Devano berpaling dengan perempuan lain," ucap Gadis.
"Lakinya saja yang enggak bersyukur dan juga si Dhea yang kegatelan. Mereka itu cocok! Sama-sama saling melengkapi keburukannya masing-masing. Kamu harusnya bersyukur karena Allah memperlihatkan keburukan mereka lebih awal. Kalau nanti kamu punya anak dari Devano, kamu akan semakin terluka."
Gadis menghela napasnya dalam-dalam. "Memang mungkin semuanya harus terjadi lebih cepat, biar aku tidak terlalu terluka lebih dalam. Allah punya rencana yang indah untukku. Meski sebenarnya aku masih terluka, aku masih belum bisa menerima perceraian ini. Kenapa mereka tega menghancurkan kebahagiaanku, kenapa mereka begitu mudahnya melukai hati seseorang yang sedang berbahagia."
"Aku tahu memang enggak mudah untuk bisa cepat bangkit dari sakit yang mereka torehkan untukmu. Butuh waktu memang untuk menyembuhkan, luka itu ada masa tenggangnya, kamu harus percaya dengan waktu yang kelak akan menyembuhkan lukamu. Kamu saat ini hanya perlu berusaha mengobatinya, jangan terpuruk dan mendiamkan luka itu," ujar Eva.
"Aku memang enggak mau melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Aku pergi ke Jepang untuk mengobati lukaku dan kuharap di Tokyo, lukaku kembali pulih. Aku bisa menatap masa depan, tanpa melihat luka di masa lalu. Aku akan mematikan ingatan luka itu. Aku akan menghidupkan bahagia dengan caraku."
"Aku dukung kamu, Gadis. Aku yakin kamu bisa mematahkan luka yang Devano dan Dhea berikan untukmu," ucap Eva yakin.
"Harus! Aku ingin mereka terluka karena kesuksesanku," balas Gadis tersenyum.
"Gadis!"
Gadis dan Dhea yang sedang asyik mengobrol langsung melihat ke arah sumber suara."Mama.." balas Gadis menyapa mantan mama mertuanya. Ia melihat ada Dhea dan Devano yang menatapnya tak suka.
"Kebetulan kita bertemu di sini. Kamu belum balas pesan Mama ya?"
"Ponselku ketinggalan di rumah, Ma. Tadi buru-buru ketemu mau ketemu sama Eva."
"Padahal tadinya Mama ingin ajak kamu ke rumah nenek. Nenek lagi sakit, dia nanyain kamu."
"Nenek sakit apa?" tanya Gadis khawatir.
"Biasa kalau sudah berumur ya semuanya mulai kerasa. Kebetulan dua minggu lagi setelah Dhea dan Devano menikah, nenek mau datang ke Jakarta. Kamu mau jenguk nenek di rumah?"
"Sepertinya enggak bisa, Ma."
"Lho, kenapa?" tanya Desi agak kecewa.
"Kamu jangan mengecewakan mama dan nenek dong! Meski kamu dan Devano sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jangan memutuskan tali silahturahmi. Katanya perempuan yang berasal dari didikan yang mengutamakan adab, nyatanya hanya koar-koar saja," sindir Dhea.
Gadis tersenyum, sebenarnya ia ingin sekali menjambak rambut perempuan gatal itu sekarang. Tapi, ia tahan karena jika ia cari ribut, maka ia dan Dhea tak jauh berbeda. "Bukan karena mau memutuskan tali silahturahmi, tapi memang enggak bisa karena Minggu depan mau ke Jepang."
"Kamu mau ke Jepang? Mau liburan?" tanya Desi penasaran.
Gadis menggelengkan kepalanya. "Bisa sekalian juga, Ma. Gadis di sana mau lanjut study S2."
"Kamu kuliah lagi di Jepang?" tanya Desi.
"Iya, Ma. Alhamdulillah..."
"Ya, enggak usah heran, Ma. Kan ayahnya Gadis itu rektor. Jadi, kalau mau lanjut kuliah lagi gampang. Banyak koneksi," timpal Dhea menyindir.
"Sembarangan kamu! Gadis itu tes setahun yang lalu dan dia dapat beasiswa full dari University of Tokyo, salah satu universitas bergengsi di Jepang," tukas Eva kesal. "Kalau iri jangan kelihatan bodohnya deh!"
Gadis tersenyum mengejek, ia melihat Dhea dan Devano yang saat ini menatapnya tak percaya.
'Ini baru awal hadiah kebahagiaanku untuk kalian sang pengkhianat,' ucap Gadis dalam hati.
***