4. Menghilangkan Kenangan Tanpa Jejak
***
Setelah pulang dari rumah mantan suaminya, Gadis mengurung diri di kamar. Sulit baginya untuk berpura-pura kuat, tetap saja hatinya rapuh. Memang benar, ia bisa menipu banyak orang dengan senyumannya. Tapi Gadis tak bisa menipu dirinya sendiri. Tetap saja hatinya masih belum menerima kecewa itu datang, tetap saja ia patah hati. Pernikahan impiannya harus hancur seketika hanya karena perempuan lain, perempuan yang selama ini sengaja berpura-pura baik dan peduli padanya agar bisa merebut segala miliknya.
Gadis melangkahkan kaki dengan berat, ia membawa kotak besar dan berjalan menuju pekarangan belakang rumahnya. Gadis membuka satu per satu kenangan manis yang pernah ia rasakan saat bersama Devano. Mulai dari surat cinta pertama kali yang diberikan lelaki itu, bahkan tiket bioskop pun ia simpan dengan rapi.
Gadis membakar semuanya, tak tersisa. Baginya lebih baik menghilangkan kenangan yang menyakitkan itu tanpa jejak, jika ia hanya menyimpannya. Kelak Gadis takut lemah dan tanpa sadar ia membuka kembali kenangan itu dan menangis lagi.
"Sudah makan? Mas bawakan kupat tahu kesukaanmu, pedasnya sesuai seleramu," ucap Elang. Elang adalah saudara satu-satunya Gadis.
"Hmm.. setelah membakar semua ini nanti Gadis makan, Mas," balas Gadis.
"Mau Mas hajar lelaki itu, boleh? Mas sudah memukulnya sekali, tapi kurang puas karena ayah menahannya," ucap Elang.
"Tindakan ayah benar, Mas. Jangan kotori tanganmu untuk menyentuhnya. Nanti tanganmu jadi kotor dan jangan juga nodai citramu sebagai abdi negara yang berprestasi" balas Gadis.
"Lelaki itu dan keluarganya tak tahu malu. Apalagi orang tuanya Dhea, mereka saat ini sibuk menyiapkan pesta resepsi pernikahan anaknya. Anak mereka akhirnya bisa menikah dengan menantu yang mereka idam-idamkan."
"Dhea dan kedua orang tuanya memang selalu iri kan sama keluarga kita. Dari dulu selalu begitu, saat ayah menjadi rektor pun, mereka irinya luar biasa. Saat Mas jadi lulusan terbaik di akademi militer dan dapat penghargaan dari presiden pun, keluarga mereka kepanasan. Gadis dan ibu hanya bisa tertawa dengan tuduhan mereka yang mengatakan bahwa Mas masuk Akmil karena campur tangan ayah. Padahal mereka saudara kita, kok bisa ya, Mas punya kecemburuan yang luar biasa dan berapi-api seperti itu."
"Namanya sudah iri dan mereka tak pandai bersyukur ya mana bisa melihat nikmat orang lain. Mereka dari dulu memang begitu, panasan dan mudah iri. Untuk itu harusnya kita jangan terlalu dekat. Mas sebenarnya enggak sreg kamu dekat banget sama Dhea."
"Kupikir Dhea itu berbeda dari kedua orang tuanya, Mas. Ternyata sama saja! Sepertinya Gadis saat ini harus lebih bahagia dan menampar mereka dengan kesuksesan. Biar mereka makin panas," ujar Gadis agak kesal.
Elang tersenyum menatap adiknya, ia sebenarnya masih marah karena adik perempuan satu-satunya dilukai dan ditinggalkan dengan cara yang tak pantas.
"Mas kapan mau kembali ke Libanon?" tanya Gadis.
"Masih beberapa bulan lagi. Mas masih ada urusan di sini."
"Mas, terima kasih ya sudah menjadi kakak yang luar biasa dan menjagaku tanpa henti. Gadis bersyukur karena jadi adikmu, Mas. Luka ini tak begitu terasa perih," ucap Gadis lirih.
"Jika mau menangis. Menangislah, jangan tahan! Kamu boleh menangis sesukamu, tapi hanya di depan kami. Di hadapan orang lain, jangan! Kamu harus tegakan kepalamu dan berjalan lah tanpa memperlihatkan kelemahanmu," ujar Elang.
Tangis Gadis akhirnya pecah, ia memang masih terluka. Gadis masih belum melupakan pengkhianatan dari kedua orang yang ia sangat percaya dan dulu pernah ia sayangi. "Mas, kenapa dada ini masih terasa perih dan sesak. Gadis belum bisa menyembuhkan luka yang masih basah ini? Kenapa Gadis masih merasa kalau ini hanyalah mimpi, Gadis masih merasa kalau Devano adalah suami Gadis. Harusnya saat ini kita berbahagia, kenapa bahagia itu cepat usai? Kenapa yang datang malah luka?"
Elang memeluk adiknya erat, ia marah dan tak terima kalau adik kesayangannya begitu terguncang karena pernikahan yang kandas dan singkat.
Samar-samar terdengar seperti ada suara yang ribut di ruang keluarga. Gadis dan Elang saling menatap dan tanpa aba-aba langsung menuju ke ruang keluarga.
***
"Tolong dong, Mas bilang sama Gadis jangan ganggu rumah tangga Dhea dan Devano. Kemarin Gadis datang ke rumah mereka berdua dan membuat Dhea terus menangis! Apa yang Gadis katakan pada Dhea membuatnya tak mau makan," ucap Rista kesal.
"Anakku enggak akan pernah melakukan hal yang merendahkan seperti itu! Tanyakan saja pada anakmu, apa dia mengarang cerita. Anakku sudah tak mau ada urusan apapun dengan kalian," tukas Hadi membela anak kandungnya.
"Alah... Kalau enggak ada urusan lagi, kenapa dia kemarin datang ke rumah anak dan mantuku?" sindir Rista.
"Gadis ke sana bawa dokumen penting dan bukan untuk menganggu Dhea dan bekas suamiku," timpal Gadis, ia datang menghampiri tantenya itu.
"Kenapa kamu enggak minta Dhea saja yang beresin dokumen itu dan nanti pasti dia kirim. Kamu sengaja kan datang ke sana untuk menarik simpati ibunya Devano. Kamu enggak malu datang ke rumah mereka?"
"Tunggu... Tunggu," potong Gadis. "Rumah mereka? Lho mereka beli rumah itu dari hasil uang siapa? Tante Rista yang baik... rumah yang saat ini mereka tempati adalah rumahku juga, aku berhak atas rumah itu karena sebagian pembelian rumah itu adalah dari uangku. Dan asal Tante tahu saja, sebagai tambahan informasi untuk Tante. Sertifikat rumah itu ditulis atas namaku–Gadis Maheswari. Jadi, bisa saja kan aku mendepak mereka dari rumah itu karena secara hukum rumah itu adalah milikku." Gadis tersenyum, senyuman yang mematikan untuk Rista.
"Gadis, maksud tantemu bukan seperti itu. Tantemu hanya tidak ingin nama keluarga besar kita jadi buruk karena persoalan kalian yang akhir-akhir ini mencuat di publik. Apalagi kan ayahmu adalah rektor dari universitas ternama dan Mas-mu adalah tentara yang berprestasi, Om dan tante hanya tak ingin citra keduanya hancur saja," timpal Andri, suami Rista.
"Om Andri perhatian sekali dengan citra keluarga kita ya! Tapi, tenang saja Om. Ayah dan Mas Elang enggak malu karena masalah itu bukan salahnya Gadis. Masyakarat pun bisa menilai kok, mana perempuan elegan dan mana perempuan murahan!" sindir Gadis dengan pedas.
"Kamu!!" teriak Rista, ia geram karena Gadis mulai kurang ajar. Rista tak bisa melanjutkan kata-katanya, ia pergi begitu saja dengan kemarahannya.
"Mas Hadi, saya pamit pulang dulu ya. Maafkan kelakuan Rista. Nanti saya bicara lagi dengannya," pamit Andri dan ia pun melangkahkan kakinya menyusul istrinya pergi.
"Mereka urat malunya kenapa enggak putus ya! Masa mereka marah-marah, harusnya keluarga kita lah yang marah sama mereka. Aneh!" kesal Gadis.
"Sudah, jangan diurus, Nak. Kita jangan sama kampungannya dengan mereka," celetuk Putri.
"Kebetulan kalian kumpul di rumah. Ayah mau bicara dengan kalian, terutama denganmu, Gadis." Hadi langsung duduk dan menyuruh kedua anaknya duduk di hadapannya.
"Ayah mau bicara apa?" tanya Gadis penasaran.
"Kamu sudah memutuskan mau melanjutkan program magister di mana?" tanya Hadi.
Gadis menggelengkan kepalanya. "Masih belum kepikiran mau di mana, masih cari-cari universitas yang cocok."
"Kalau Ayah nawarin kamu untuk melanjutkan di Jepang. Kamu mau?"
***