Bab 6 Namaku Maharani
Bab 6 Namaku Maharani
Tak lama kemudian mereka sampai di depan rumah orang tua Aarav, setelah melewati pintu gerbang rumah itu Maharani dibuat takjub dengan rumah orang tua lelaki di sebelahnya ini, bagaimana tidak rumahnya sangat asri setelah melewati gerbang mata kita akan dimanjakan dengan taman bunga yang dimiliki rumah tersebut, dan juga air mancur, terdapat jalan setapak yang akan membawa kita menuju pintu utama rumah tersebut. Sedangkan untuk rumahnya sendiri seperti rumah-rumah Italia modern dengan perpaduan warna putih pada catnya dan warna hitam pada pintu dan jendela-jendela di rumah itu.
“Wah indahnya, banyak bunga-bunga.” Tanpa disadari ucapan tersebut keluar dari mulut Maharani, matanya berbinar tak berkedip melihat setiap taman bunga yang ia lewati.
Tanpa disadari juga, Aarav tersenyum tipis memperhatikan Maharani ‘Aneh sekali apa dalam 20 tahun di hidupnya tidak pernah melihat taman bunga?’ batinnya.
Mobil sudah berhenti tepat di depan rumahnya, “Ayo turun kita sudah sampai,” ucapnya.
Seketika Maharani murung, senyum dan mata berbinarnya hilang digantikan oleh wajah pucat, ia gugup setengah mati “Su–dah sampai ya Om? Apa mereka akan memarahiku atas apa yang telah aku lakukan tadi pagi? Apa aku akan dilaporkan ke polisi atas tuduh pencemaran nama baik? Apa—”
Aarav segera memotong perkataan Maharani, “ Pikiranmu terlalu jauh, sudah pasti yang akan terkena marah ya saya, karena dari berita yang beredar kamu hamil karena saya. Dan untuk melaporkan kamu ke polisi saya kira orangtua saya tidak akan bertindak sejauh itu,” jawabnya.
Mendengar jawaban dari lelaki itu, membuat perasaannya sedikit lega dan memutuskan untuk segera turun dari mobil setelah Aarav sudah terlebih dahulu turun.
Mereka berdua berjalan di atas jalan setapak menuju pintu utama rumah tersebut, saat sudah disetengah jalan, Maharani berhenti dan menarik sedikit bagian belakang Aarav, merasa ada yang menariknya dari belakang, Aarav berhenti dan menatap gadis remaja dibelakangnya ini seraya berkata, “Ada apa lagi?”
“I—tu Om namanya siapa? Dari tadi kita banyak bicara tapi aku sama sekali belum tahu nama Om… Namaku Maharani, ” jawab nya terbata-bata dan menatap wajah Aarav sekilas.
‘Anak ini kenapa random sekali sih?!’ batinnya. Aarav menghela napas dan memejamkan matanya seraya menjawab, “Nama saya Aarav, sudah kan?” Setelah menjawab, tanpa sadar Aarav menarik pergelangan tangan Maharani agar lebih cepat sampai ke pintu utama.
Maharani yang merasa tangannya dipegang dan ditarik Aarav, awalnya ia sedikit kaget dan setelah itu ia hanya bisa pasrah.
Setelah sampai di depan pintu, Aarav langsung membukanya seraya mengucapkan salam.
Saat masuk kedalam rumah tersebut, Maharani dibuat takjub dengan interior rumah itu matanya tak berkedip hingga ia tidak menyadari bahwa jawaban salam dari Aarav tadi dijawab oleh banyak orang, yang artinya rumah itu sedang ramai tidak hanya kedua orang tua Aarav saja. ‘Benar-benar nuansa Italia rumah ini… keren sekali!’ batinnya.
Perkiraan Aarav benar bahwa ketika ia sampai, tepat memasuki waktu makan malam. Sekarang dicatas meja makan sudah penuh berbagai jenis lauk pauk dan semua keluarganya sudah duduk rapi di bangkunya masing-masing. Aarav lupa bahwa malam ini kakak-kakaknya itu akan datang ke rumah bersama suaminya masing-masing. Saat Aarav datang semua keluarganya menatap ke arahnya dan ke arah tangannya yang memegang pergelangan tangan Maharani.
Di sisi lain, Maharani yang merasa Aarav sudah berhenti menariknya, menghentikan sesi takjubnya dan mengarahkan pandangan matanya ke depan, ke arah meja makan. Betapa terkejutnya dia setelah melihat di meja makan telah berkumpul keluarga-keluarga Aarav yang ia lihat di foto tadi di ruangan Aarav, rekfleks ia bersembunyi di balik pundak Aarav dan menundukkan kepalanya.
Setelah hening beberapa saat,Kanaya bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Aarav dan Kanaya seraya berkata, “Eh anak Mama sudah sampai yaa?” sambil mengelus rambut Aarav lembut.
Aarav menarik tangan mamahnya dan mengecupnya setelah itu ia menjawab, “iya, Ma. Maaf Aarav lama tadi di perjalanan sedikit macet.”
Kanaya menjawab, “iya tidak apa-apa. Kami juga belum mulai kok makan malamnya.” Setelah itu ia menatap gadis yang dibawa anak laki-laki nya itu, menyadari bahwa mamahnya melihat ke arah Maharani, Aarav segera melepas tangannya dari pergelangan tangan Maharani.
Melihat Maharani yang sedang tertunduk gugup, Kanaya menghampiri gadis itu dan merangkulnya ramah, “ Halo, Cantik… Saya Mamanya Aarav, kamu sepertinya gugup sekali ya?” kata Kanaya sambil tersenyum ke arah Maharani.
Maharani yang tiba-tiba merasa dirangkul dan diajak bicara, akhirnya menaikkan pandangannya dan hal pertama yang ia lihat adalah senyum Kanaya yang sangat ramah,hal itu membuat Maharani sedikit rileks dan membalas senyum Kanaya.
Setelah itu Kanaya memotong pandangannya terhadap Maharani dan berkata, “Ayo… sebaiknya kita mulai makannya sekarang sebelum kemalaman. “Yuk… anak cantik.” Sambil membawa Maharani yang masih ada dalam rangkulannya ke arah meja makan. Dan lagi-lagi Maharani hanya bisa pasrah walaupun dirinya merasa bingung.
Melihat adegan antara Ibu nya dengan Maharani, Aarav hanya bisa mengrenyitkan alisnya bingung, “Kenapa mama ramah sekali kepada gadis itu, padahal tadi pagi dia memarahiku lewat telepon sudah seperti harimau yang sedang mengamuk.” Setelah itu ia berjalan kearah meja makan mengikuti ibunya itu dari belakang.
Aarav duduk di samping Galen, kakak laki-laki keduanya itu, tepat bersebrangan dengan tempat Kanaya duduk. Sedangkan Noel, ayahnya duduk di tengah-tengah antara Galen dan Kanaya. Sedangkan disamping Aarav adalah Maharani yang menunduk sambil memainkan kedua jari telunjuknya dibawah meja. Aarav duduk tepat di depan kembaran perempuannya yang belum lama ini menikah karena di jodohkan, Afsheena.
Saat matanya bertubrukan dengan mata Afsheena, dari mata adiknya itu, Aarav seolah-seolah bisa mendengar bahwa Afsheena berbicara seperti ini padanya, ‘Rasakan kamu, sebentar lagi giliran kamu dijodohin seperti aku… hahaha.’ Tentu saja tidak lupa dengan senyum tengil tercetak di bibir adiknya itu. Melihat itu Aarav hanya bisa memutar bola matanya.
Selanjutnya, disamping Afsheena, tentu saja ada Ibnu,suaminya. Di samping Adam ada 2 kembar, Umar dan Utsman. Dan terakhir di samping Maharani adalah Naura beserta suaminya dan juga kakak pertamanya, Adam.
“Mari kita mulai makan.” Suara bariton Noel membuat Maharani mengangkat kepalanya, saat ia mengangkat kepalanya semua orang di meja tersebut mengadahkan kedua tangan mereka dan berdoa. Melihat itu Maharani akhirnya mengikutinya juga.
Setelah itu kegiatan makan dimulai, semua anggota keluarga sibuk mengisi piring mereka, tetapi Maharani hanya bisa melihat mereka saja karena rasa canggung melingkupi dirinya.
Melihat Maharani yang terlihat jelas sangat canggung untuk mengisi piringnya, Naura berinisiatif mengambil piring Maharani dan membantunya untuk mengisi piringnya.
“Hai… jangan melamun terus. Sini saya bantu ya… nasinya segini cukup atau kurang?” tanya Naura pada Maharani sambil tersenyum.
Maharani yang sedang melamun, tersadarkan karena mendengar suara wanita yang ada di sebelahnya itu, “E—eh tidak usah repot-repot kak,” jawabnya
“ Sudah tidak apa-apa. Jadi nasinya segini cukup atau kurang?” ulang Naura lagi.
Maharani hanya bisa pasrah menjawab, “cukup kak.” Sambil tersenyum ke arah Naura.
Selanjutnya, Naura bertanya kepada Maharani ingin mengisi lauk pada piringnya apa saja, setelah itu Maharani tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada Naura, “ terima kasih kak— umm...” wajahnya kebingungan karena ia belum tahu nama wanita disampingnya ini.
Naura yang peka akhirnya terkekeh seraya menjawab, “ nama saya Naura.”