Bab 3 Saudaranya, Galen
Bab 3 Saudaranya, Galen
Aarav bertemu dengan Galen, kakaknya yang beda tiga tahun di atasnya. Galen memang terlihat berbeda dari rupanya, namun tetap tergolong tampan. Kakaknya itu memilih untuk bekerja sebagai dokter mengikuti sang ayah.
"Assalamu'alaikum, adik!" Sengaja Galen memanggilnya begitu, memang kakaknya selalu mengusilinya.
"Wa'alaikumsalam, kakak!" Aarav hanya bisa bersungut sebal melihat kakaknya tergelak karena responnya.
"Ayolah, kenapa harus bete kalau kamu disuruh pindah ke sini. Kamu bisa nolak kok, Rav."
Galen ikut duduk di hadapan Aarav.
Mereka berdua jadi tontonan dan pusat perhatian dari pengunjung restoran tersebut. Italia memang terkenal dengan pria tampannya.
Aarav memutar bola matanya, dia jengah dengan pertanyaan yang menyangkut kepindahannya.
"Kakak sudah tahu bukan sifat mama gimana? Udahlah, udah terlanjur juga. Ayo temani aku liat restoran yang di Jakarta," tegasnya sambil berdiri.
"Ngomong-ngomong, kopi di sini enak juga," pujinya.
Galen berdiri dan merangkul leher adiknya itu. Aarav lebih tinggi dari pada dirinya.
"Kata mama, kakak punya pacar?" tanya Aarav sambil memasang setbelt-nya.
"Cih! Aku belum mau menikah Aarav, umurku masih 28 tahun, kalau kamu lupa."
Memang mama mereka selalu memojokkan mereka soal pernikahan dan salah satu korbannya adalah Afsheena, adik tercantik mereka.
"Well, masih terlalu muda," timpal Aarav.
"Gimana? Cewek Indonesia cantik kan?" Galen memainkan kedua alisnya yang tebal itu, dia selalu senang mengusili Aarav yang dingin dan pendiam.
"Ya, warna kulit mereka eksotis kak..."
Aarav membawa tas berisi pisaunya tersebut dan menuju dapur. Para pekerja sudah hapal betul wajah dari owner restoran yang diberi nama 'Mozzafiato' yang berarti hati atau karya yang indah. Apalagi bagi karyawan perempuan yang melihat sosok titisan dewa yunani ini. Sangat tampan dengan mata birunya.
"Apa Andi ada?" tanyanya pada resepsionis yang berkerudung itu.
"Eh, pak Andi ada di dapur."
Aarav mengucapkan terima kasihnya dan tersenyum diikuti Galen yang malah mengerlingkan matanya pada gadis muda itu sampai-sampai pekerja itu salah tingkah karenanya.
"Ciao boss!" Pria dengan seragam koki yang putih dan apron hitam yang menggantung di pinggangnya itu bersalaman dengan Aarav.
"Wowww... Dapurnya luas banget Rav!" Galen malah berkeliling sambil mengamati.
"Maklumi saja, kakakku itu memang hobi mengganggu," ujar Aarav.
"Jadi, bagaimana? Lancar?" tanya Aarav sambil melihat bagaimana para koki yang memasak.
"Kalau Braising, to much water, kamu harus kurangi lagi airnya," jelasnya sambil menepuk bahu si koki tersebut.
"Ah, iya pak!"
Aarav kembali berjalan mengamati satu persatu proses memasak di sana.
"Kita kekurangan bahan baku Toscana Tre Mini, kita tidak bisa mendapatkan grade A, karena di Tuskan sendiri sedang musim panas."
Andi masih sibuk menjelaskan.
"Kalau begitu kita ganti menu sesuai keadaan bahan baku Italia saja, its better to offer than less quality."
Andi mengangguk saat mendengar masukan dari Aarav.
"Biarkan aku yang memasak," ujar Aarav yang memakai apronnya. Dia menerima satu list pesanan.
"Dia hanya pesan satu menu ya?" Andi ikut heran, pasalnya memang jarang orang memesan satu menu.
"Tak masalah, berapapun jumlahnya tetap dia memesan. Harus layani dengan baik." Aarav sudah mengeluarkan pisaunya.
Semua koki yang sedang bekerja melihatnya dengan antusias, chef proffesional yang akan mengeksekusi makanannya.
"Okey, lets make Salami Pizza," gumamnya sambil menyiapkan base pizza, bawang bombay, tomat, salami dan bahan lainnya.
Salami Pizza, seperti namanya, dilengkapi dengan beberapa irisan salami yang disukai oleh beberapa non-vegetarian di seluruh dunia.
Aarav dengan cekatan memotong sayuran, begitu cepat pisau bergerak. Semua yang ada di dapur menyaksikan kehebatannya.
Dia menata base pizza dalam tray dan menaburi dengan topping yang sudah terpotong, lalu di atasnya diberi potongan mozzarela yang siap meleleh saat pizza matang.
"Pizza saus!" pintanya.
Dengan segera saute chef yang bertugas membuat saus segera menyodorkannya.
Tak sampai 15 menit pizza sudah siap. Semuanya benar-benar dibuat terkagum-kagum dengan bagaimana Aarav memasak.
"Aku akan makan di sini, tolong siapkan beberapa menu ya?" pintanya sambil melepas apron dan menyeret Galen.
Mereka duduk di bangku kosong samping jendela. Setidaknya dapat dia lihat tatanan halaman yang indah berhias bunga-bunga.
"Kau sudah bertemu Afsheena?" tanya Galen sambil menuangkan cola, sadar diri kalau memang mereka tak boleh meminum alkohol meskipun di sini tersedia jenis wine khas Italia.
"Sudah, dia bahagia."
Itulah jawaban singkat yang diberikan Aarav.
Matanya fokus pada gadis dengan rambut yang dicat kecoklatan dan lurus menjuntai. Jadi pizza tadi untuk anak kecil yang sedang menunduk itu? Namun, ada satu pria menghampirinya. Mereka berbicara sebentar dan gadis itu menunduk kembali. Bahunya lama kelamaan bergetar. Dia menangis?
Pizza itu bahkan tidak dimakannya?!
Aarav mendengus sebal, makanan yang sudah dibuatnya malah dibuang-buang begitu?!
Dia memanggil salah satu pelayan dan meminta untuk dibungkuskan.
"Kak, kau pulang duluan saja, bukankah sebentar lagi shiftmu bekerja?" Aarav menepuk bahu Galen yang tak sempat menjawab ucapannya.
Mata Galen mengikuti Aarav yang tergesa-gesa keluar dengan pizza yang sudah dibungkus. Ada apa dengan Aarav?
Galen hanya mengedikkan bahunya, dia berusaha menghabiskan makanan enak itu. Jarang-jarang dia bisa makan di restoran adiknya ini. Dia lebih baik makan di rumah agar hemat. Camkan itu!
Aarav melihat ke kiri dan ke kanannya, apa gadis belia itu sudah pergi jauh? Dia menelusuri trotoar berharap bisa menemukannya.
Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang dicarinya berjongkok di bawah pohon dengan tangan yang mengukir tanah?
Ini sudah malam dan bukannya gadis ity harus pulang, kenapa malah bersedih di situ?!
"Jahat Devon, gara-gara aku menolak diajak ciuman, dia putusin aku. Dasar penjahat kelamin!"
Segala sumpah serapah yang keluar dari mulut gadis belia itu membuat Aarav menahan bibirnya untuk tak tersenyum lucu. Wajahnya kembali datar kali ini.
Dengan yakin dia mendekatinya. Tangannya menyodorkan tentengan yang berisi pizza pesanan gadis itu.
"Anak kecil, bukannya pulang kok malah jongkok di sini," dengusnya sambil menatap kendaraan yang lalu lalang di depan mereka.
Gadis belia itu mengernyit, siapa orang ini?
"Kau, sudah pesan makanan tapi tak dimakan sama sekali, itu melukai harga diriku yang sudah memasak untukmu."
Suara berat milik Aarav entah kenapa membuat tubuhnya meremang. Tatapan matanya terhipnotis dengan wajah tampan pria itu.
"Oh, iya om, maaf."
Tangan gadis itu mengambil bingkisan itu.
"Pulanglah. Orang tuamu akan cemas."
Setelahnya Aarav berbalik dan kembali ke restoran sebelum akhirnya pulang ke rumah tentu saja.
Ingatkan dirinya untuk besok mencari apartemen yang dekat dengan restorannya.
Gadis itu melihat ada selembar kertas yang jatuh di dekatnya. Diambilnya kertas itu dan dibacanya huruf-huruf yang ternyata membentuk nama.
Aarav Al-Fateeh Kylie?
Itu nama si om-om tampan tadi kah? Western dan islami? Wowww...
Sejenak wajah itu tak bisa hilang dari pikirannya, entah kenapa wajahnya memanas mengingat pertama kalinya dia melihat wajah yang teramat tampan. Sangat tampan.
"Itu salah satu cucu nabi Yusuf kah?" gumamnya pelan.
Dia tersenyum saat melihat tentengan pizza itu. Jadi, dia chef? Senyumannya terkembang, sejenak melupakan patah hatinya.