Bab 2 Pulang
Bab 2 Pulang
Pria bertubuh tegap itu melangkah keluar dengan koper yang ada di kiri dan kanannya, dia sempat bersitegang saat pemeriksaan barang karena membawa senjata tajam, namun setelah menunjukkan kartu profesinya pihak bandara paham akan pekerjaannya. Udara panas menghempas ke kulitnya, dia tengah menunggu jemputan yang dikirimkan oleh mamanya.
Seorang pria yang lebih pendek darinya segera membukakan pintu setelah berbincang sedikit memastikan bahwa pria bermata biru dan berambut jagung itu adalah putra majikannya.
Pria jangkung itu menjulurkan kakinya keluar dari mobil yang sudah berhenti di pekarangan rumah orang tuanya.
Pria itu berdiri menjulang di depan rumah mewah milik orangtuanya. Kacamata hitamnya yang bertengger di hidung mancungnya, terik matahari itu bersinar terang tepat di atas kepalanya.
"Mama kok lama banget sih!" Pria itu mendumal kesal menunggu orang dalam rumah membukakan pintu. Sementara sang supir bersusah payah menggotong koper-koper miliknya.
"Aden bule, ini mau ditaro di sini aja?" tanya supir kiriman ayahnya yang berlogat jawa itu.
Beruntungnya, dia dibekali keterampilan berbahasa indonesia oleh ibunya saat hidup di Italia.
"Iya pak di sini aja, tas yang isi pisauku ada dimana pak?" tanyanya dengan logat khas asing.
Sang supir, yang biasa dipanggil kang Ujang itu mengangguk saja. "Kan tas kecilnya ada di dalem koper mas, nanti diperiksa dulu aja sama masnya di dalem. Saya ke belakang dulu ya mas?" izinnya sambil setengah membungkuk hormat, pria keturunan Italia itu mengibaskan tangannya.
Jakarta rupanya sangat panas. Padahal bukan musim panas kalau di Florence, Italia.
Peluhnya sudah bercucuran, dia berdecak tak sabar menunggu seseorang untuk membuka pintu.
"Ya Allah nak, akhirnya pulang juga..." Pekik wanita paruh baya yang mengenakan hijabnya itu sembari tersenyum lebar dan tangannya menarik tubuh pria jangkung itu ke dalam pelukannya.
"Ciao mamma. Come stai?" Pria yang memiliki lensa biru itu membalas pelukan sang ibu.
(Halo mama, apa kabarmu?)
"la mamma è molto brava," ucap ibunya, Kanaya sambil mengurai pelukannya dan menatap lekat wajah putranya yang lama tak bertemu.
(Ya, mamam sangat baik,)
"Ayo masuk nak, kamu pasti lelah," ajaknya sambil menarik tangan putranya.
Pria berumur 25 tahun itu mengikuti langkah wanita yang menjadi cinta pertamanya sembari menenteng tas berisi pisau. Jangan salah paham! Pisau itu perkakas terpenting dari pekerjaannya. Bukan, bukan untuk menyakiti tapi untuk memotong. Lebih tepatnya memotong bahan makanan tentu saja. Kembalinya dia untuk tinggal di negara tropis atas permintaan sang mama pun mau tak mau harus melanjutkan karirnya di salah satu negara yang termasuk anggota ASEAN ini.
Rumah besar itu tampak lengang saat ini, dia duduk di sofa sementara ibunya sibuk memanggil para ART -nya untuk menyiapkan minuman bagi si tuan muda yang baru pulang tentu saja.
Ada lima pekerja bagian ART yang tengah sibuk bergosip di dapur setelah mengintip kedatangan si putra bosnya itu.
Yang muda tentu saja cekikikan berasa mendapatkan jackpot.
Pria tampan berwajah bule ala Italia itu adalah Aarav, sudara kembar nona muda Afsheena yang dijodohkan baru-baru ini.
"Gusti Allah, aduhhh eta bengeut subhanallah, nikmat mana lagi yang eneng dustakan ari jiga kieu mah, duhhh beuki kelewat seger ai mata teh..." cerocos salah satu ART yang ikut bergosip. Usianya 20 tahun, masih sangat muda.
Sedangkan yang sudah menjadi ibu-ibu hanya bisa tersenyum sambil haha-hihi.
Hani, ART berusia 28 tahun yang ditugaskan untuk membuat minum si tuan yang baru datang itu sudah tersenyum lebar membawa bakinya.
"Ini, silakan tuan," ucapnya memiliki nada medok khas jawa sembari menyodorkan satu gelas jus dingin.
Aarav tersenyum ramah kepadanya. "grazie bella signora," ucapnya sambil mengedipkan matanya.
(Terima kasih nona cantik)
Yang dituju sudah melongo bukan karena tak paham dengan ucapan yang terlontar dari tuan muda nan tampan menggoda tetapi karena kedipan matanya.
"Aduh! Aduh jantung saya, sa, saya permisi dulu tuan," ucap Marni tergopoh-gopoh menuju dapur sambil memegangi dadanya.
Aarav hanya tersenyum saja, dia meminum jus tersebut. Sang mama sudah duduk di sampingnya dengan wajah berhias senyuman.
"Kamu kok rambutnya panjang begini, pake dikuncir juga lagi kak, nggak ketemu setahun aja kamu berubah banget..." keluh Kanaya sambil menyentuh wajah manly sang putra.
Aarav hanya tersenyum meringis saja. "Mama ngomelnya nanti saja, Aarav ngantuk mam..." ucap pria muda itu dengan manjanya dan mengambil posisi berbaring di sofa dengan kepala yang berbantalkan paha ibunya.
Kanaya hanya menggeleng pelan karenanya, pasti putranya itu sedang lelah karena baru saja tiba dari negara Italia. Tangannya mengusap lembut pipi Aarv memberikan gerakan yang teratur semakin menenggelamkan Aarav ke dalam alam tidurnya.
Sampai ashar menjelang dan Noel, ayah Aarav sekaligus suami Kanaya tertegun melihat siapa yang tengah berbaring berbantalkan paha istrinya itu.
"Assalamualaikum sayang?" Matanya menatap bingung sosok itu.
Kanaya merentangkan tangannya dan Noel maju menyodorkan tubuhnya untuk dipeluk sang istri, lalu diciumnya kening istrinya dengan lembut dan setelahnya dia memperhatikan Aarav kembali.
"Jadi, si anak nakal ini sudah mau mengunjungi orangtuanya ini?" tanyanya.
Kanaya hanya tersenyum saja mendengarnya. Mereka bertambah tua dan berharap anak-anak mereka berada dalam jangkauan mata mereka sehingga Kanaya tidak lagi harus menabung rindunya dengan harapan bisa pergi mengunjungi putra putrinya.
"Mas mau mandi?" tanyanya, namun dia tak bisa bergerak dengan adanya putranya itu.
"Nanti saja, aku ingin menelpon anak-anak untuk datang ke rumah dulu sayang," jawabnya sambil mengutak atik ponsel mahal nan canggih yang dibelinya dari keluaran terbaru.
Aarav merasa sangat tenang dalam tidurnya, tubuhnya meruntuh seketika dikuasai rasa lelah yang teramat sangat. Sampai setelah suara-suara riuh menghampiri indra pendengarannya, barulah matanya mengerjap heran, netranya menyesuaikan bias cahaya yang masuk dan berusaha memfokuskan pandangannya.
"Wahhh, kak Aarav sudah bangun!" Di hadapannya ada satu wajah yang mirip sekali dengannya, Umar, adiknya.
"Jadi anak nakal sudah bangun?" Suara penuh ketegasan dan terdengar berat itu menghujam telinganya.
Aarav segera bangun dan duduk dengan setengah nyawa yang belum terkumpul. Di hadapannya ada si adik kembar, Umar dan Utsman, lalu ibunya dan ayahnya?
Nuke ada di depannya sekarang sedang duduk dengan wibawanya.
Aarav meringis saja. "Halo papa..." ucapnya sambil bangkit mencium tangan ayahnya.
Ajaran yang selalu diterapkan oleh Kanaya sejak mereka masih bayi dan beara di Italia.
"Kamu berhasil menyiksa mamamu dengan rasa kram nak," gumam Nuke menatap puteranya penuh rindu.
"Maklum papa, terlalu lelah tubuhku ini," kilahnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Kanaya hanya bisa tersenyum saja. "Sholat dulu sana, nanti Umar akan menunjukkan di mana kamarmu sayang," ucapnya penuh kasih sayang.
Aarav mengangguk saja saat Umar berdiri dan menjadi penunjuk jalan di rumah barunya ini.
"Jadi, kakak akan tinggal di sini? Permanen?" tanya Umar sambil berjalan mendahuluinya.
Adik kembarnya itu sudah menjadi lebih berisi, tubuhnya berotot sekarang meski tersembunyi dalam kemeja longgarnya.
"Memang aku bisa bagaimana lagi kalau mama sudah mengeluarkan titahnya?"
Keduanya terkekeh mengingat ucapan sang ibu yang mutlak bagi mereka.
"Yah, nikmati saja, kita bisa berkumpul dan membully kakak kita yang tengah dijodohkan itu," gumam Umar sambil membuka pintu kamar milik Aarav.
"Istirahatlah kak, nanti malam kami rindu mengobrol denganmu," ucap Umar sambil undur diri.
Aarav menghela napasnya, dia segera mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat ashar, setelahnya tubuhnya limbung kembali di atas kasur king size yang empuk itu. Dia mengalami jetlag sampai matanya kembali terpejam dan tidur dengan nyenyaknya.