Bab 12 Kampus
Bab 12 Kampus
Jun berlari melewati lorong. Sosoknya membuat semua mahasiswi melongo. Sesampainya di kelas, sesuai dugaan ia terlambat.
"Maaf, saya terlambat," ucap Jun.
Semua mata tertuju padanya.
"Bagaimana? Kalian menemukan objek hidup untuk di lukis?" tanya Bu Rika seraya menaikkan kaca mata.
Seluruh mahasiswa menunjuk Jun. Ia yang tidak tahu menahu apa yang di bicarakan menatap bingung semua orang.
"Jun, kemari," panggil Bu Rika.
Jun segera mendekat dengan kepala menunduk.
"Karena kau telat, sudah selayaknya mendapat hukuman, benak kan?" tanya Bu Rika.
Jun mengangguk pasrah.
"Hari ini pelajaran melukis objek tiga dimensi. Karena kau telat dan temanmu telah sepakat maka kau akan menjadi objek lukisan mereka," putus Bu Rika.
"Ta...Tapi Bu. Saya tidak indah untuk dilukis. Iya kan teman-teman?" tanya Jun
"Kau tidak indah, tapi hot," sahut Cika.
"Menggairahkan," sahut Mawar.
"Dan menginspirasi," sahut Rama.
Jun mati kutu. Begitu Bu Rika menyuruhnya duduk Jun tak memiliki pilihan Lain. Semua mata langsung terfokus padanya. Membuat Jun risih dan malu.
"Kenapa diam, ayo buka kaosmu. Mereka hanya akan melukis dari pinggang ke atas," pinta Bu Rika.
"Malu Bu," ucap Jun.
Bu Rika langsung memukul Jun dengan bambu panjang di tangannya. "Siapa suruh kamu telat. Siapa pula yang menyuruhmu terlalu tampan Hah."
Bu Rika memukul kaki Jun hingga membuat Jun berjingkrak.
"Baik Bu, tapi jangan tertawa," ucap Jun dengan malu.
Jun membuka kaos pendek yang dipakainya perlahan. Kemudian ia berdiri di tempat yang disediakan. Semua mata kembali tertuju pada sosoknya.
"Turunkan tanganmu Jun. Lalu duduk dengan santai," ucap Bu Rika.
Terpaksa Jun menurunkan tangan lalu duduk sesuai instruksi Bu Rika. Wajahnya bersemu merah menahan malu. Ia memalingkan wajah seraya berharap tidak di tertawakan. Namun menit-menit berlalu kelas terasa sepi. Jun memberanikan diri melirik ke arah teman-temannya ternyata mereka semua sibuk melukis dirinya dengan serius.
Cika, Mawar dan Bu Rika sendiri ikut melukis seraya menutup salah satu hidungnya yang mimisan.
Jun menjadi grogi. Ia pikir tadi teman-temannya akan menertawakan tubuhnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Di jendela kelas banyak pasang mata dan kamera ponsel tertuju padanya. Jun mendadak berkeringat. Tubuhnya terlalu banyak dilihat orang di luar kepentingan.
"Bu... Tolong saya," ucap Jun. Menatap pias ke jendela.
Bu Rika langsung sadar keadaan. Ia harus melindungi privasi murid kesayangannya. Dibantu para mahasiswa binaannya. Bu Rika menutup tirai dan mengunci pintu. Kemudian ia menghidupkan lampu kelas.
"Terima kasih Bu," ucap Jun.
"Tidak usah sungkan," jawab Bu Rika seraya mengelap keringat Jun. "Darimana sih, kamu mendapat otot ini," colek Bu Rika ke otot perut Jun. Ia sangat gemas.
Jun sempat kaget di colek Bu Rika. Beruntung dosen seninya itu kembali duduk dan sibuk melukis. Kurang lebih satu jam Jun menjadi model lukisan semua orang. Setelah selesai ia diperbolehkan memakai kaosnya kembali lalu diberi hadiah teh dingin oleh Bu Rika.
Jun melihat hasil lukisan teman-temannya.
"Wah, lukisan kalian keren," pujinya.
"Bukan lukisan kami yang keren. Tapi model kami yang perfect," puji teman-temannya.
"Apaan sih, nyindir ya," ucap Jun tak percaya diri.
"Sebagai gantinya kami akan mentraktirmu," ucap Cika dan diiyakan semua orang.
Jadilah mereka pergi ke kantin bersama. Makan bakso bersama. Tidak lupa Bu Rika ikut bergabung. Tiba-tiba handphone Jun berbunyi. Alarm acara peringatan penting di yayasan panti yang harus di hadirinya.
Jun segera pamit pulang lebih dulu. Ia segera mengayuh sepedanya menuju Yayasan Cinta Kasih. Karena naik sepeda tentu saja Jun terlambat. Namun ia sudah meminta Beni untuk menggantikannya. Dan juga jangan memberitahu tamu kehormatan jika dirinya adalah pemilik Yayasan.
Sesampainya di tempat. Jun melihat seorang gadis menyerahkan bantuan kepada Beni dari perusahaannya. Melihat gadis itu jantung Jun tiba-tiba berdebar persis lima tahun yang lalu. Ia ingat, gadis itulah yang menolongnya waktu handphone miliknya dijambret orang. Gadis itu tidak akan mengenalinya. Karena Jun sudah tidak seperti dulu bahkan ia sudah berganti nama. Bagi orang-orang di masa lalu Jun sudah mati.
"Baiklah semuanya, kebetulan saya mencari asisten pribadi agar bisa menjaga saya. Andai saja di panti ini ada yang sudah dewasa. Saya pasti senang sekali mempekerjakannya," ucapnya.
Jun mengangkat tangan. Membuat semua orang melihat ke arahnya.
"Saya anak panti. Saya mau bekerja untuk melindungi Anda," ucap Jun.
Beni mengernyit, bahkan ibu panti juga bingung. Namun mereka semua tidak berani memprotes Jun.
"Baiklah, siapa namamu?" tanya Gadis.
"Saya Park Seo Jun. Panggil saya Jun," ucap Jun lantang.
"Baiklah Jun. Datanglah besok ke kantor untuk bekerja," ucap Gadis. Lalu ia menutup sambutannya dan setelah doa bersama ia pamit pulang.
Beni dan Ibu ketua panti mendatangi Jun.
"Bos, apa maksudmu?" tanya Beni yang masih tak percaya dengan keputusan Jun. Selama ini ia masih bisa mentolerir sikap Jun yang suka menyamar menjadi apa saja. Namun menjadi pembantu atau penjaga yang nantinya disuruh-suruh Beni tak bisa membayangkannya.
"Benar Tuan Muda. Apa Anda menyukai gadis itu?" tebak Bu Maryam.
"Kau pintar sekali Bu Maryam. Makan apa sih, tolong beri Beni makanan biar dia secerdas Ibuu," cubit Jun gemas ke pipi Bu Maryam.
Lalu ia berlalu menghampiri anak asuhnya yang sibuk bermain bola. Jun langsung bergabung dengan ceria.
Bu Maryam dan Beni menatap Jun seraya menggelengkan kepala.
"Ceria sekali anak itu," ucap Bu Maryam.
"Ya, namun Anda tidak akan mengira Jun seperti apa lima tahun yang lalu," ucap Beni. Dengan mata kepalanya sendiri ia sering melihat Jun mengurung diri dan berusaha bunuh diri setiap saat. Tuan Park memintanya menjaga Jun selama dua puluh empat jam. Jun baru berubah setelah ia menemukan bayi yang di buang ibunya pertama kali di tempat sampah. Bayi itu masih bernapas dan Jun menangis saat membawa bayi itu pulang. Dengan menangis ia berkata ingin mengasuhnya.
"Akulah yang mengasuh bayi yang ditemukannya pertama kali. Jadi jangan berbicara seolah hanya kau yang melihat Jun lima tahu lalu," protes Bu Maryam.
"Ah, benar. Saya hampir lupa," Beni menampakkan barisan giginya.
"Anak itu pada akhirnya menerima semua takdirnya dengan baik. Setelah melihat banyak anak yang tidak seberuntung dirinya," ucap Bu Maryam.
"Mungkin Tuhan menciptakannya ke dunia ini sebagai malaikat bagi anak-anak yang lahir di luar nikah dan dibuang orang tuanya," ucap Beni.
"Ya, mungkin saja," sahut Bu Maryam.
Bu Maryam pun segera membantu ibu asuh lain membereskan piring kotor seraya mengawasi anak-anak panti.