Bab 8 Mood Tanu yang Memburuk
Bab 8 Mood Tanu yang Memburuk
Tanu berjalan mengendap ke luar untuk memastikan jika Hendriawan sudah pergi. Ia sempat kecewa saat laki-laki itu tadi masuk ke dalam kamar, tepat setelah ia baru saja keluar dari kamar mandi. Dan tidak perlu ditanyakan apa yang terjadi saat mata dengan gairah penuh itu, menatapn dengan lapar setiap jengkal tubuhnya yang hanya terbungkus handuk. Rasa mual itu hampir mengaduk perut Tanu saat embusan napas pria itu mulai menyapu lehernya yang masih basah. Tapi keberuntungan sepertinya tengah berpihak padanya. Hingga saat telunjuk Hendriawan sudah mengarah ujung handuknya untuk disingkap, ponsel laki-laki itu kembali berdering.
Dengan erangan putus asa, laki-laki itu segera menyambar ponselnya. Namun wajah merah penuh dengan kekesalan itu berubah menjadi manis dalam hitungan detik.
“Iya, Sayang, ada apalagi?” Suara itu perlahan menghilang dengan suara pintu yang tertutup. Tanu tanpa sadar mengembus napas pelan dan segera mengenakan pakaiannya.
TIdak lama, laki-laki itu kembali membuka pintu. Namun hanya berdiri di ambang pintu tanpa berniat masuk. “Aku pergi, mungkin dua hari lagi baru bisa menemuimu. Kau, tidak masalah?”
Rasanya Tanu ingin menertawakan pertanyaan konyol itu. Jangankan dua hari, Tanu malah akan lebih bersyukur jika laki-laki itu tidak pernah kembali ke kehidupannya. Tapi tentu saja Tanu tidak menyuarakan isi kepalanya. Ia hanya mengangguk, kali ini ada senyuman yang ia sematkan. Senyuman kebahagiaan karena selama dua hari, ia akan terbebas. Dan mungkin, itu bisa ia pergunakan untuk memikirkan banyak hal.
“Jaga dirimu, jangan pergi ke mana pun tanpa seizninku!” Lagi-lagi Tanu hanya mengangguk. Bagaimana caranya pergi tanpa seizin laki-laki ini? Tanu tidak akan mungkin bertindak gegabah dengan memilih kabur, sementara para penjaga dengan badan kekar terus saja berkeliling rumah, seakan Tanu ini adalah seorang tahanan yang bisa kapan saja melarikan diri.
“Baiklah. Aku pergi sekarang.” Tanu hanya memberi anggukan, dan pintu kamarnya kembali tertutup.
Tanu berjingkat ke luar hanya untuk sekadar memastikan jika laki-laki itu sudah pergi. Hingga ia bisa melakukan apa pun yang ia mau meski tempat yang bisa ia singgahi sangatlah terbatas. Dikekang di rumahnya sendiri bukanlah hal yang menyenangkan.
Wanita itu mengernyit bingung saat Hendriawan tidak melangkah ke luar, tapi malah berjalan ke arah pintu belakang. Rasa penasaran membawa langkah wanita itu untuk mengikutinya. Dan saat Hendriawan terlihat mendekati Derma yang sedang merokok, Tanu pikir laki-laki itu ingin meminta Derma mengantarkannya.
Tanu baru saja ingin melangkah pergi dari balik tembok tempat ia bersembunyi saat suara itu terdengar.
“Saya suka kerja kamu Derma.” Wanita itu pun kini tidak hanya merapatkan tubuhnya di tembok, tapi juga mencuri lihat apa yang sedang majikan dan supirnya itu lakukan.
“Saya lihat hari ini dia semakin banyak tersenyum.” Bisa Tanu lihat Hendriawan yang mengatakan itu dengan senyum kemenangan seerti biasanya. Dan itu jenis senyum yang sangat Tanu benci.
Derma yang sudah mematikan rokoknya, kini berdiri sembari menunduk. “Saya hanya melakukan perintah, Tuan,” jawab laki-laki itu membuat lipatan di dahi Tanu berlipat.
“Ajak dia ke tempat di mana matanya bisa dimanjakan dengan bunga. Saya ingin melihat banyak senyuman yang kembali hadir di bibirnya.” Hendriawan mengatakan itu sembari menyerahkan amplop cokelat yang Tanu tebak berisi uang. “Nilainya akan lebih jika kamu bisa membuat dia jatuh cinta pada saya.”
Mata Tanu melebar, entah bagian mana yang membuatnya terkejut. Apakah tentang perkataan mustahil yang Hendriawan berikan, atau karena ia tahu jika Derma melakukan semua hal baik kepadanya, hanya karena suruhan Hendriawan?
Entahlah, Tanu memilih untuk pergi saat itu juga dengan sebuah rasa kecewa yang begitu menganga. Bahkan ia menyesal karena sudah menganggap Derma orang yang baik. Kebaikan laki-laki itu hanyalah sebentuk tugas yang dilakukan demi uang. Hah! Rasanya orang-orang tulus di dunia ini jumlahnya semakin berkurang. Dan mulai sekarang, Tanu harus menjaga diri lebih kuat lagi agar tidak terpedaya oleh siapa pun.
*
Perasaan Tanu tidak sebaik kemarin saat Derma mengajaknya ke Rumah Cokelat. Bahkan jajaran bunga-bunga cantik yang kini ada di sekelilingnya tidak mampu membuat hatinya bahagia.
“Ini teh dan camilannya, Nyonya.” Fokus Tanu yang sedang memperhatikan interaksi seorang anak kecil dengan ibunya teralih. Matanya melirik Derma yang tengah meletakkan satu cangkir teh beserta pisang goreng cokelat yang ia pesan asal tadi.
“Terima kasih,” ujar wanita itu dengan nada dingin. Bahkan Derma seperti terlihat bingung dengan sikap Tanu yang memang sejak naik ke mobil tadi lebih banyak diam.
“Saya tunggu di mobil.” Ada raut kecewa yang kini menghiasi wajah Derma saat sang majikan mengangguk, tidak lagi memintanya untuk menemani seperti yang kemarin terjadi. Bahkan fokus wanita itu hanya berada di satu tempat.
Tanu menghela napas sembari memperhatikan punggung lebar Derma yang kini menjauh. Ada rasa kosong yang kembali menguasai perasaanya. Diedarnya pandang, mencoba mencari ketenangan dengan kecantikan alami yang terdapat pada jajaran bunga-bunga di sekelilingnya.
Jika kemarin Derma membawanya ke tempat di mana hanya ada cokelat. Lain dengan saat ini. Laki-laki itu membawanya di sebuah kafe, di mana setiap sudutnya dihiasi oleh berbagai jenis bunga. Dari luar, kafe ini lebih terlihat seperti toko bunga. Namun ada satu papan bertuliskan macam-macam menu makanan, yang membuat orang-orang penasaran dan memilih masuk. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari beragam menu yang ditawarkan. Apa yang tersedia di tempat ini, hampir sama dengan kafe-kafe pada umumnya. Yang membedakan, mungkin karena desain bunga yang tertata apik. Bahkan bunga-bunga itu asli, tertanam di pot-pot dengan berbagi macam bentuk, warna, dan juga ukuran. Adai saja kondisi hatinya tidak sedang memburuk, mungkin Tanu akan merasa sangat bahagia saat ini.
*
“Setelah ini ke mana, Nyonya?” tanya Derma pada Tanu yang sudah duduk di kursi belakang. Seperti biasa, wanita itu lebih memilih untuk menatap jalanan di luar sana melalui kaca jendela mobil.
“Kamu sudah kehabisan ide tempat?” tanya Tanu dengan nada sinis. Derma yang mendapat pertanyaan tidak bersahabat itu mengernyit bingung.
“Anda, tidak menyukai tempat tadi?”
Tanu hanya menghela napas, lalu menyandarkann kepalanya pada punggung jok mobil. “Jalan saja dulu, terserah kamu mau bawa saya ke mana. Saya yakin kamu sudah mencari banyak tempat untuk membuat saya tersenyum, atau jatuh cinta pada Hendriawan, bukan?”
Kening Derma makin mengerut dalam, ia benar-benar bingung dengan sikap Tanu. Namun meski begitu, ia tetap menjalankan mobil. Dalam kepala mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi? Dan juga memikirkan tempat mana yang kiranya bisa membuat suasana hati Tanu membaik.
*
Tapi nyatanya, setelah sekian banyak tempat yang mereka datangi, tidak juga membuat bibir Tanu tersenyum bahkan secuil pun.
“Lebih baik kita pulang, aku sudah lelah,” ujar Tanu saat mereka baru saja keluar dari pusat perbelanjaan. Dan mereka keluar tanpa menenteng apa pun. Mungkin Derma sudah kehilangan akal untuk membuat Tanu merasa lebih baik, karena pada akhirnya memutuskan untuk mengantar wanita itu ke tempat seramai ini. Mungkin saja suasana hati wanita itu akan membaik jika berada di tengah keramaian.
Derma melajukan mobilnya dalam diam. Sesekali melirik Tanu dari kaca tengah mobil. Namun, wanita itu hanya melempar pandang ke luar jendela dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Maaf Nyonya, boleh saya berhenti sebentar?” Pertanyaan itu membuat kepala Tanu berputar penuh untuk menatap Derma.
“Untuk apa?”
“Ada yang harus saya beli,” jawab Derma dengan ringisan sungkan.
“Cepatlah, aku sudah mengantuk!” Derma pun segera mengangguk dan turun dari mobil.
Tanu yang sempat menutup mata sembari menyandarkan kepalanya pada jok mobil memilih untuk membuka mata hanya sekadar ingin tahu apa yang Derma lakukan. Kening wanita itu mengernyit bingung, karena laki-laki itu malah berjalan ke arah penjual balon dan arumanis di pinggir jalan. Lalu setelah memegang dua buah balon dan dua arumanis, laki-laki itu kmebali melangkah ke arah mobil. Tanu yang takut tertangkap basah tengah memperhatikan memilih pura-pura tidur. Tidak lama terdengar suara pintu mobil tertutup, dan saat itu juga Tanu membuka mata.
“Sudah selesai? Bisa kita jalan sekarang?” tanya wanita itu dengan nada ketus yang dibuat-buat, padahal sekarang sebenarnya dia sedang penasaran dengan di mana balon yang tadi Derma bawa?
“Untuk Anda!” Wanita itu menatap Derma dengan pandangan bingung. Pasalnya laki-laki itu kini menyodorkan satu buah arumanis dengan gambar beruang ke arahnya. Dan menyimpan yang bergambar karakter Elsa Frozen ke bangku kosong di sebelahnya.
“Ini, untuk apa?” tanya Tanu bingung sembari mengamati makanan manis berwarna merah muda itu.
Derma sempat tersenyum, sembari menjalankan kembali kendaraannya. “Putri saya juga terkadang merajuk, dan biasanya dia akan tersenyum setelah saya belikan arumanis.”
Kening Tanu kembali terlipat. “Ini maksudnya, kamu menyamakan saya dengan anak kecil? Dan siapa yang bilang kalau saya sedang merajuk?”
Derma kembali mengukir senyuman, lalu menatap sekilas wajah Tanu dari kaca tengah mobil sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. “Mungkin Anda tidak sedang merajuk. Tapi saya tahu mood Anda sedang tidak baik,” ujar laki-laki itu yang hanya dibalas Tanu dengan tatapan yang, susah dimengerti. “Saya harap mood Anda lebih baik sekarang.”
Tanu hanya berdecak, lalu memilih untuk menikmati arumanis di tangannya. Ada secuil senyum yang nyatanya memang hadir di bibir wanita itu pada akhirnya. Dan sebelum mobil itu benar-benar menjauh dari tempat mereka berhenti tadi, mata Tanu sempat melihat dua balon yang tadi Derma beli kini digenggam oleh seorang anak kecil dengan pakaian kumal.