Bab 9 Saran Derma
Bab 9 Saran Derma
Tanu seperti baru saja memejamkan mata saat merasakan sebuah kecupan mampir di keningnya. Belum lagi lengan yang kini melingkar di perutnya. Ada usapan-usapan kecil yang hanya membuatnya mendesah kesal. Siapa lagi orang yang bisa keluar masuk kamarnya dengan mudah jika bukan Hendriawan?
Tanu memang tidak pernah lupa mengunci pintu kamarnya. Namun laki-laki yang kini tengah berusaha membangunkannya dengan cara yang masih membuat Tanu mual ini memiliki kunci cadangan. Jadi tidak perlu dipertanyakan, kenapa ia bisa masuk dengan begitu mudahnya.
“Aku sangat merindukanmu.” Awalnya Tanu ingin mengabaikan, pura-pura tidur mungkin lebih baik. Tapi kecupan-kecupan basah yang kini merambat dari pipi lalu ke telinganya itu, kian membuatnya resah dan tidak nyaman.
“Aku tahu kau sudah bangun.” Tanu hanya bisa mengerang kesal dalam hati, karena dua hari bebas yang ia rasakan sudah terlewat. Laki-laki ini benar-benar memenuhi janjinya.
“Apa bisa ditunda? Saya sangat lelah hari ini.” Tanu tidak berbohong, dia memang sangat sibuk hari ini.
Ia yang tidak memiliki agenda apa pun, memilih untuk berkebun. Merealisasikan apa yang menjadi keinginannya dulu. Sebuah keinginan yang sering ia bagi pada Rizal. Dan hampir terwujud, andai saja suaminya itu tidak meninggal. Tidak ada yang muluk dari apa yang Tanu impikan. Hanya sebuah taman kecil dengan berbagai macam mawar ada di sana. Lahan sudah Rizal sediakan, dan rencananya sepulang dari Bali, mereka akan menanam bunga-bunga itu sebagai pengisi hari. Namun sayang, semua tidak terlaksana karena Tuhan berkehendak lain.
“Lelah karena mengurus taman?” Hendriawan memaksa wajah Tanu untuk menghadapnya.
“Ya, agar taman belakang tidak terlalu kosong,” jawab Tanu sembari menahan adukan di perutnya saat Hendriawan kambali menggerayanginya.
“Apa uangku tidak cukup untuk membayar orang? Sampai kau harus turun tangan sendiri?”
Tanu menggeliat tidak nyaman, tidak perlu ia ceritakan apa yang kini laki-laki itu lakukan dengan baju bagian atasnya yang sudah tersingkap.
“Jangan kotori tanganmu dengan benda-benda tidak steril itu. Besok kau harus ke salon lagi untuk perawatan.”
Tanu sudah ingin memprotes, namun tidak ada suara yang keluar karena Hendriawan sudah menyergap bibirnya. Sembari menahan gejolak yang tidak mengenakan di perutnya Tanu memilih diam, membiarkan laki-laki itu melampiaskan apa yang tertahan selama dua hari ini.
*
Entah sudah berapa kali Tanu memuntahkah isi perutnya. Yang ia rasakan kini hanya rasa lemas. Bahkan keringat dingin mulai menitip di sela-sela keningnya. Ia sudah berniat keluar, tapi saat matanya menangkap banyangan mengerikan itu langkah Tanu berputar.
Wanita itu mengambil satu botol sabun cair dan mengguyurkan ke tubuhnya. Entah sudah berapa kali tubuhnya dijamah oleh laki-laki itu. Tapi sebanyak itu pula ia selalu seperti ini. Rasa risi yang membuatnya mual itu selalu saja hadir. Bahkan perasaan jijik itu semakin menjadi saat berak-bercak merah di seluruh tubuhnya terlihat melalui pantulan kaca.
Tanu menggosok badannya dengan kuat menggunakan handuk basah karena segala macam sikat sudah Hendriawan lenyapkan. Hanya ada sikat gigi, dan tidak mungkin ia menggunakan benda kecil itu untuk menghilangkan jejak merah mengerikan itu. Walaupun faktanya, sampai kulitnya mengelupas pun ia tidak akan mampu melenyapkan tanda kepemilikan itu sampai bekas itu hilang dengan sendirinya.
Kapan ini akan berakhir? Selalu itu yang berdengung di kepalanya, dan tidak pernah ada jawaban. Namun saat kalimat Derma melintas, Tanu seperti memilki sebuah kekuatan.
‘Anda memang tidak bisa merubah masa lalu, Nyonya. Tapi mungkin Anda masih bisa merubah masa depan.’
Wanita itu pun segera meraih handuk dan berjalan keluar. Memilah satu drees manapun yang terpenting tidak terlalu seksi. Bukan hanya segala sikat yang Hendriawan hilangkan. Tapi juga celana panjang dan pendek yang ia biasa kenakan di rumah. Semua diganti dengan gaun pendek sebatas lutut, dan kapan pun Tanu harus mengenakan pakaian itu.
“Agar aku mudah untuk menikamatimu.” Suara itu terus berdenging di kepalanya setiap kali Tanu melihat jajaran gaun yang menggantung rapi di lemarinya. Wanita itu hanya bisa mendesah kesal dengan rasa mual yang kembali hadir. Namun cepat-cepat ia berganti pakaian untuk melakukan sesuatu.
*
“Mungkin, Anda harus merubah sikap Anda terhadap Pak Hendriawan?” saran Derma saat siang itu Tanu menemuinya sekadar menanyakan pendapat laki-laki itu. Tentu saja Tanu berani menemui laki-laki ini setelah memastikan jika Hendriawan tidak ada di rumah.
“Maksud kamu, saya harus bersikap manis?” tanya Tanu dengan tatapan bingung, namun segera bergidik ngeri saat anggukan itu Derma gunakan sebagai jawaban.
“Terkadang, kita memang harus melakukan hal yang tidak kita sukai untuk bisa menjadi pemenang,” ujar laki-laki itu yang membuat Tanu mulai mempertimbangkan sarannya.
“Tapi, apa tidak ada cara lain?” desah Tanu putus asa. Bersikap manis pada Hendriawan bukanlah hal yang mudah. Terlebih, dia bukan aktor ulung seperti Hendriawan yang bisa melakonkan banyak peran dan terlihat begitu natural.
“Kalau Anda memiliki rencana lain, silahkan Anda gunakan. Itu tadi hanya satu saran yang mungkin juga tidak terjamin keberhasilannya.” Kali ini Tanu hanya mengerjab, lalu kembali menimbang.
“Anda memerlukan titik lemahnya untuk mengakhiri semua ini, bukan?” tanya Derma yang segera diangguki oleh Tanu. Walaupun sebenarnya wanita itu juga tidak mengerti apa yang akan ia lakukan setelah menemukan kelemahan seorang Hendriawan.
“Maka mendekatinya, mengambil kepercayaannya, adalah cara yang paling tepat,” ujar Derma yakin.
Tanu yang mulai berpikir jika saran itu masuk akal akhirnya mengangguk. Tapi terselip rasa penasaran di benak wanita itu. Ini bukan soal Hendriawan, tapi ini tentang laki-laki yang kini duduk belakang setir. Yah, mereka berbincang di dalam mobil, tepatnya di parkiran salon tempat Tanu akan melakukan perawatan, sesuai perintah Hendriawan.
“Kenapa, kamu baik sekali terhadap saya?” Tanu tahu mungkin saja ia akan kecewa dengan jawaban yang Derma berikan. Karena fakta dibalik kebaikan laki-laki ini apalagi jika bukan karena uang?
Laki-laki itu seperti ingin menjawab, tapi selanjutnya ia hanya tersenyum dan memutuskan turun dari mobil guna membukakan pintu untuk sang nyonya.
“Apa, saya bisa percaya kamu? Derma?” tanya Tanu sebelum melangkah ke arah salon. Bukannya menjawab, laki-laki itu malah kembali memberikan senyum dan meminta agar Tanu segea masuk ke dalam. Tanu yang kesal hanya memberikan decakan, lalu segera melangkah dengan rasa jengkel. Tanpa mengetahui jika mata Derma sejak tadi awas melihat ke arah dua pengawal yang sejak tadi mengikuti mereka.