Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Mati Rasa

Bab 7 Mati Rasa

Jika biasanya waktu berjalan begitu lambat, maka hari ini terasa berbeda. Dua jam yang ia lalui, terasa seperti lima menit yang tidak utuh. Namun meski begitu, Tanu tetap mensyukuri sedikit nikmat bebas yang ia terima. Setidaknya Tuhan masih mau berbaik hati melepasnya dari penyiksaan yang tiada henti.

“Terima kasih untuk hari ini.” Ada senyuman yang Tanu berikan, meski hanya terlihat samar. Dan sama sekali tidak merambat ke dalam matanya.

Derma yang sedang fokus pada jalanan di depan sana, melirik sejenak wajah Tanu dari balik kaca tengah mobil. “Sama-sama Nyonya, itu tidak seberapa.”

Terdengar helaan napas pendek dari bibir Tanu, wanita itu kini menatap jalanan di sampingnya melalu jendela mobil. “Tidak seberapa untuk orang lain, tapi sangat bermakna untuk orang-orang seperti saya.” Senyuman itu kembali hadir, tapi bukan lagi senyuman bahagia atau semacamnya.

“Mungkin, Anda bisa bernegosiasi dengan Tuhan Hendri, untuk memberi Anda waktu keluar seperti ini,” usul Derma, dan senyuman masam itu kembali muncul menghiasi bibir Tanu.

“Hasil dari negosiasi yang saya lakukan dengan laki-laki itu, memenjarakan saya pada posisi seperti sekarang.” Tentu saja hari di mana ia datang ke rumah Hendriawan kala itu, untuk bernegosiasi tentang penyitaan rumah, tidak akan pernah Tanu lupakan.

Hari yang sungguh ia sesali. Andai saja saat itu ia memilih lari dan merelakan rumah peninggalan Rizal, mungkin sekarang ia bisa menikmati hidup penuh dengan ketenangan. Pindah ke kota lain, di mana tidak akan ada yang mengenalnya. Tapi seberapa pun penyesalan yang ia rasakan, semua hal ini sudah terlanjur hadir di hidupnya. Dan kini, Tanu hanya bisa menerima takdir hidup yang kelam ini tanpa bisa berbuat apa pun.

Derma yang mendengar hal itu memilih diam. Tidak perlu bertanya apa yang terjadi, karena tanpa Tanu sadari, sebenarnya ia berada di ruangan yang sama saat negosiasi itu berlangsung. Bahkan ia pula orang yang pertama kali mendapat kabar, jika Hendriawan akan menikah lagi. Dia juga yang membantu segala urusan pernikahan laki-laki itu. Dan sekarang, Derma sungguh merasa bersalah karena secara tidak langsung, ia ikut andil dari penderitaan yang kini Tanu alami.

“Mungkin Anda tidak bisa merubah masa lalu, Nyonya.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Derma, bersamaan dengan mobil yang kini berhenti di pekarangan rumah Tanu.

“Tapi, mungkin Anda masih bisa merubah masa depan,” lanjut laki-laki itu sembari menoleh ke arah Tanu yang kini tengah mendengarkannya dengan kerut bingung.

“Anda tidak mungkin diam saja dan terjebak dalam posisi seperti ini, bukan?” Pertanyaan laki-laki itu sungguh mampu menampar Tanu pada hal yang tidak pernah terpikirkan.

“Tapi, kamu tahu jika Hendriawan bukanlah tandingan orang-orang seperti kita.” Membayangkannya saja Tanu sudah merasa ngeri. Bukankah apa pun bisa dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa? Maka melawan laki-laki itu tidak pernah ada di pikirannya. Tapi apa yang Derma katakan juga tidak salah. Tanu tidak mungkin membiarkan dirinya terus terjebak dalam kehidupan semacam ini. Entah sampai kapan Hendriawan akan mempertahankannya. Suatu saat, laki-laki itu pasti akan bosan. Dan bisa jadi akan membuangnya begitu saja. Jadi, sekali lagi Tanu merasa seperti tertampar, mengapa ia tidak memikirkan semua ini sejak kemarin?

“Bagaimana caranya saya memulai perlawanan itu?” tanya Tanu pada akhirnya.

Ada senyum yang terukir sebelum laki-laki itu menjawab, “Jika waktunya tiba, Anda akan tahu bagaimana caranya untuk melawan.” Setelah mengucapkan hal itu, Derma segera turun dan berjalan ke sisi pintu penumpang.

Tanu yang masih bingung dengan arti dari kalimat yang baru saja Derma katakan, hanya menatap laki-laki itu dengan wajah penuh tanya. Tapi saat melihat keberadaan Hendriawan yang kini berdiri di ambang pintu sembari membawa buket bunga, segala pertanyaan yang sudah siap meluncur, Tanu simpan saat itu juga.

*

Tanu memang menyukai bunga, apalagi jika itu mawar dan warnanya putih. Hal yang selalu Rizal berikan, jika ada momen special di antara mereka. Entah itu hari ulang tahun Tanu, merayakan anniversary hubungan mereka sebagai kekasih, atau pun di hari-hari biasa yang tidak terjadi peristiwa penting apa pun. Bahkan saat melamarnya, Rizal menghias seluruh ruangan kafe yang kala itu Rizal sewa dengan berpuluh-puluh mawar putih. Dulu dia bahagia, sangat bahagia. Tapi mulai saat ini, sepertinya apa yang ia sukai akan berubah.

“Aku dengar kau suka mawar putih.” Hendriawan mengatakan itu seraya menyorongkan sebuket mawar putih yang semenjak tadi ada di pelukannya. Tanu hanya memberikan senyum tipis tanpa arti. Tidak ada rasa bahagia yang menjalar pada hatinya seperti jika Rizal yang menjadi pemberinya.

“Aku juga punya hadiah untukmu!” Lagi-lagi Tanu hanya tersenyum tipis. Bahkan saat tangan Hendriawan bergerak untuk merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak beledru berwarna putih, Tanu sama sekali tidak memberikan reaksi berarti.

“Satu berlian indah untuk wanita terindah di hadapanku,” ujar laki-laki itu seraya menarik jemari lentik Tanu. Disematkannya cincin dengan satu mutiara merah yang bertengger anggun di atasnya. Kini cincin dengan berlian, yang Tanu tahu harganya sangat mahal itu bernaung cantik di jari manisnya. Harusnya Tanu tersenyum, silau pada keindahan dan kemewahan benda itu. Tapi perasaannya yang sudah mati rasa tidak menghantarkan getar apa pun.

“Kau tidak suka?” tanya Hendriawan karena wanita di depannya hanya diam. Tidak ada senyuman, atau bahkan sekadar ucapan terima kasih.

“Ini, terlalu mahal untuk saya,” jawab Tanu pada akhirnya. Meski tidak sepenuhnya berbohong, tapi tentu saja itu bukanlah satu-satunya alasan. Tanu tidak menyukai warna yang berlian itu miliki. Yah, dia tidak terlalu menyukai warna merah. Tapi sejak menikah dengan laki-laki di depannya ini, Tanu harus sering berurusan dengan warna itu. Dari pakaian, sepatu, bahkan pemulas bibir yang ia gunakan hampir semuanya memiliki warna itu. Sudah ia bilang kan, jika hidupnya berjalan seperti robot yang sudah diatur.

Ada tawa kecil yang menguar dari bibir Hendriawan, laki-laki itu mengusap jemari Tanu, lalu menatap wanitanya dengan sorot yang— Tanu sangat Tanu apa artinya. “Berlian ini tidak berarti apa-apa dibanding dirimu. Kau lebih mewah, dan—“

“Boleh saya membersihkan diri sebentar? Badan saya rasanya lengket,” potong Tanu cepat saat bibir laki-laki itu sudah berada tepat di depan bibirnya.

Hendriawan seperti ingin membantah, tapi bersamaan dengan itu ponselnya berdering. Tanu sempat menangkap nama Anggita muncul di layar benda pipih itu.

“Ya, Sayang.” Hendriawan segera mengibaskan tangan, mengisyaratkan untuk Tanu segera beranjak dari tempatnya. Tidak perlu merasa tersinggung, malah kalau bisa, Tanu ingin Hendriawan pergi saja dari sini. Mudah-mudahan telepon itu membawa hal penting yang membuat Hendriawan harus segera pergi dari sini.

“Aku sedang meeting dengan klien.” Tanu sempat menghentikan langkahnya saat mendengar kalimat itu. Ia menoleh ke arah Hendriawan yang kini tengah duduk di kursi yang berada di teras. Tidak ada wajah gugup, tidak ada wajah bersalah. Laki-laki itu tampak terlalu tenang saat mengatakan semua kebohongannya.

Dan, untuk apa juga ia terkejut dengan penjelasan laki-laki itu? Keberadaannya hanya seperti barang simpanan yang tidak boleh diketahui oleh siapapun, termasuk istri laki-laki itu. Dan setiap mengingat nasib yang menimpa Anggita, wanita cantik yang bernasib sial karena memiliki suami seberengsek Hendriawan, kadang memunculkan rasa bersalah di hati Tanu. Ia wanita, tahu betul bagaimana rasanya diduakan, apalagi itu semua dilakukan secara diam-diam. Kadang Tanu bertanya-tanya, apakah istri laki-laki itu tidak mencurigai suaminya sama sekali? Padahal sudah beberapa waktu ini, Tanu merasa jika keberadaan Hendriawan di rumahnya bisa dibilang terlalu sering.

Tanu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar sebelum Hendriawan selesai dengan ponselnya. Ia benar-benar berharap laki-laki itu pergi dan tidak melakukan apa pun padanya, karena sungguh ia sangat lelah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel