Bab 6 Perempuan Tanpa Rahim
Bab 6 Perempuan Tanpa Rahim
Entah sudah berapa lama Tanu mengguyur tubuhnya di bawah shower, tapi jejak menjijikan itu seolah tidak juga mau menghilang. Bayangan sentuhan yang Hendriawan berikan, sungguh membuat perut Tanu seperti diaduk dan memaksanya untuk mengosongkan isi lambungnya. Tidak ia pedulikan rasa perih saat ia menyikat tubuhnya sendiri , hanya agar sisa-sisa aroma Hendriawan lepas dari tubuhnya. Wanita itu meraung, dan menyamarkan air matanya di balik air yang terus membasahi kepalanya hingga ke tubuh. Bahkan satu botol sabun sudah tergeletak mengenaskan setelah isinya ia guyurkan ke seluruh tubuh. Tapi aroma sabun itu juga tidak mampu menghilangkan rasa risi yang kini menguasai pikirannya.
“Nyonya!”
Tanu tidak memedulikan ketukan di pintu kamar mandinya sejak satu jam yang lalu. Tidak juga memedulikan gigil yang kini menguasai tubuhnya. Tidak peduli jika nantinya ia akan mati beku dengan air shower yang terus mengucur. Ia hanya ingin lupa dengan segala yang terjadi malam tadi. Walaupun tidak membalas sedikit pun sentuhan Hendriawan, namun wajah penuh kepuasan laki-laki itu adalah hal yang paling tidak ingin ia ingat.
“Nyonya! Anda sudah terlalu lama di dalam!”
Tanu masih bergeming, menatap kosong langit-langit kamar mandinya. Hatinya yang sudah masti semakin kebas. Lalu tidak lama terdengar suara laki-laki yang bayanganya pun enggan ia temui. Dan beberapa waktu kemudian, pintu kamar mandi terbuka.
Tanu hanya diam saat Hendriawan tampak mematikan air shower. Membentangkan bathrobe, dan menyelimuti tubuhnya yang menggigil dengan itu.
“Jangan menyiksa diri seperti ini. Semuanya hanya akan menjadi percuma,” ujar laki-laki itu dengan nada dingin. “Dan jangan pernah berharap aku akan melepaskanmu, hanya karena rasa kasihan,” lanjutnya lagi sembari menggendong tubuh Tanu, lalu membaringkannya di atas tempat tidur.
“Makan dan istirahatlah dengan cukup! Aku tidak mau kejadian seperti ini kembali terulang!” ujar laki-laki itu lagi, kali ini ada kilatan emosi penuh ancaman yang terlihat dari pendar matanya. Namun tidak lama kemudian, senyum lembut itu kembali hadir.
“Semua hutang itu tidak lantas lunas hanya dengan satu malam yang—“ Kalimat itu sengaja tidak Hendriawan lanjutkan, terganti dengan seringai menjijikan. Tidak perlu menjadi pintar untuk mengartikan arti dari senyuman yang kembali mengaduk perut Tanu hingga ingin muntah. Maka saat laki-laki itu kembali tersenyum, dan kali ini lebih terkesan memuakkan, maka Tanu memilih untuk memalingkan wajah ke arah lain.
Wanita itu segera membenamkan wajahnya ke dalam bantal bersamaan dengan pintu kamarnya yang tertutup. Perempuan tanpa rahim! Apa yang salah dengan itu semua hingga ia harus dimanfaatkan sampai sejauh ini?
*
Tanu merasa hari berlalu begitu lambat. Dan entah sampai kapan kehidupan semacam ini akan ia jalani? Ini baru awal, dan rasanya teramat berat. Bagaimana ia tetap bisa menjaga kewarasannya jika kondisi hatinya selalu saja terluka?
“Nyonya, kita sudah sampai!” Perkataan itu menyentak lamunan wanita yang sejak tadi hanya menatap kosong jendela mobil. Ia sempat mengedar pandang, sebelum akhirnya turun.
“Saya akan kembali saat Anda sudah selesai!” Tanu hanya mengangguk, lalu melangkahkan kakinya ke dalam salon.
Sepertinya memang ini hal yang rutin ia lakukan selama satu bulan terkekang di dalam neraka bertuankan Hendriawan. Mempercantik diri, yang tentu saja sudah dipersiapkan segalanya oleh laki-laki itu. Harinya berlalu dengan agenda yang sudah tercatat rapi. Termasuk kapan ia harus mulai pergi ke salon seperti sekarang ini.
Tanu bergerak seperti robot, tidak ada yang ia nikmati dari segala perawatan yang kini ia jalani. Hal yang seharusnya mampu membuatnya rileks. Namun malah memuakkan, karena Hendriawan melakukan semua ini hanya agar tubuhnya masih tetap indah saat dijamah nanti.
Beberapa jam kemudian Tanu sudah selesai dengan segala proses perawatan tubuh itu. Dan ia menemukan Derma sudah berada di depan mobil. Laki-laki itu segera membukakan pintu, lalu mereka pergi dalam diam.
Wajah Tanu memang terlihat lebih segar. Namun dengan tidak lagi ada senyum yang mebingkai wajah itu, kecantikan yang kini Tanu miliki terlihat begitu hambar. Derma yang diam-diam memperhatikan majikannya itu hanya bisa menatap prihatin. Tidak mengerti kenapa Hendriawan tega memperbudak wanita yang bahkan sudah terlihat sangat rapuh seperti ini.
“Ada tempat yang ingin Anda kunjungi Nyonya?” tanya Derma, membuat fokus wanita di belakangnya terganti.
“Tuan membebaskan Anda untuk pergi ke manapun. Asal jam lima sore nanti Anda sudah kembali,” jelas laki-laki itu, saat menangkap kebingungan yang Tanu tunjukkan dari sorot matanya. Derma sama sekali tidak bingung dengan reaksi yang wanita itu tunjukkan, karena selama ini Hendriawan memang nyaris tidak memberikan waktu untuk Tanu menikmati hari tanpa aturan dari laki-laki itu.
Tidak langsung menjawab, Tanu melirik arloji mahal yang kini melingkar di tangannya. Segala kemewahan memang benar-benar Hendriawan fasilitaskan untuknya. Tapi sayang, segala barang branded yang kini bertengger di tubuhnya tidak mampu membeli kebahagiaan Tanu yang sudah ternggut oleh sosok kejam itu.
“Kita hanya memiliki waktu dua jam?” Meski nada yang Tanu berikan pada kalimatnya itu terkesan bukan ke pertanyaan, namun Derma tetap mengangguk.
“Apa yang bisa saya lakukan dalam waktu dua jam?” Lagi-lagi nada dari kalimat itu bukanlah semacam pertanyaan, tapi pernyataan tanpa makna.
“Anda sudah makan siang?” tanya Derma hati-hati. Dilihat dari mana pun, wajah Tanu terlihat sayu dan pucat seperti orang yang tidak makan berhari-hari.
“Saya bahkan sudah lupa bagaimana caranya menikmati sebuah makanan.” Makanan yang selama ini mampir ke mulutnya, selalu terasa hambar. Jika tidak karena dipaksa secara halus, sebenarnya Tanu memilih untuk tidak makan dan berakhir kepalaran. Dan jika boleh ia ingin mati karena tidak pernah makan. Namun sayangnya Hendriawan selalu punya cara untuk tetap memaksakan makanan masuk ke dalam perutnya.
“Boleh saya rekomendasikan satu tempat untuk Anda, Nyonya?” tanya Derma hati-hati. Sesekali melirik ke arah kaca mobil untuk melihat reaksi yang majikannya ini berikan.
“Terserah kamu saja,” jawab Tanu tanpa minat. Ia memilih untuk menyandarkan kepalanya pada jok mobil dan memejamkan mata.
Derma mengangguk, dan segera meluncurkan mobil ke sebuah tempat yang ia harap akan disukai oleh Tanu.
*
Derma pikir, istri kedua tuannya itu tertidur, dan ia sedang bingung bagaimana cara membangunkannya, karena kini mereka sudah sampai di tujuan. Namun saat mobil terhenti, ternyata mata Tanu segera terbuka, dan wanita itu langsung mengedar pandang.
“Kita sudah sampai?” Derma hanya membalas dengan anggukan, lalu segera membukakan pintu mobil untuk wanita itu.
“Rumah cokelat?” gumam Tanu saat membaca logo dari tempat yang mereka datangi ini.
“Saya pernah mendengar, kalau perasaan akan menjadi lebih baik setelah menikmati cokelat.” Tanu menoleh ke arah Derma yang kini mempersilahkannya untuk berjalan terlebih dulu.
Tanu pikir, tempat ini hanyalah toko cokelat yang menjajakan beraneka ragam olahan cokelat. Tapi ternyata tidak, di bagian tengah toko, berjajar kursi-kursi yang sedikit penuh dengan para pelanggan. Tempat ini terlihat seperti kafe, hanya saja semua menunya terbuat dari cokelat. Ada berbagai macam minuman dan makanan dengan bahan dasar sama.
“Anda ingin kursi sebelah mana? Ada yang di lantai atas, atau mau yang di luar?”
Tanu spontan menggerakkan kepalanya untuk melihat ke arah tangga yang bisa ia gunakan untuk ke lantai atas. Namun matanya lebih tertarik pada ruangan outdoor di bagian kiri.
“Di sana saja.” Tanu menggedik dengan dagunya, dan segera berjalan terlebih dulu. Tempat ini sangat menenangkan dengan pot-pot bunga yang terjajar rapi sebagai hiasan.
“Anda ingin pesan apa?” Derma menyodorkan sebuah buku menu yang langsung diambil alih oleh Tanu. Wanita yang sudah duduk dengan nyaman di salah satu bangku kayu itu pun segera menunjuk apa saja yang ia inginkan.
“Tunggu sebentar, biar saya pesankan!” Tanu hanya mengangguk, dan membiarkan Derma pergi. Sementara ia lebih memilih menikmati suasana nyaman yang tersaji di depan matanya. Pemilik tempat ini sungguh berhasil jika ingin membuat pelangganya merasa nyaman. Tanpa sadar, bibir Tanu tersungging tipis saat melihat ikan-ikan yang berlarian pada kolam kecil di sampingnya.
“Sikahkan Nyonya!” Mata Tanu bergerak pada Derma yang kini tengah meletakkan nampan dengan dua cangkir cokelat dan juga roti bakar cokelat ke hadapannya.
“Yang satu untuk kamu,” ujar wanita itu. Derma yang mendengar ucapan itu menolak secara halus. Tentu saja ia sungkan jika harus makan berdua dengan wanita yang berstatus sebagai istri tuannya itu.
“Temani saya, kamu cukup duduk di situ,” ujar Tanu lagi sembari menggedik kursi kayu yang ada di seberangnya, lalu memalingkan wajah untuk kembali melihat ikan hias berwarna-warni di dalam kolam. Tanpa menyadari, jika kini sang supir tengah menyunggingkan senyuman bahagia, karena walaupun baru secuil, sebuah senyuman sudah mampu hinggap di bibir Tanu.