Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Istri Simpanan

Bab 5 Istri Simpanan

Tanu tidak tahu apa yang akan menghadangnya di depan sana setelah semua keputusan ini ia ambil. Bukan keputusan, tapi ia terjebak dan tidak bisa mengelak. Ia dihadapkan pada sebuah pilihan yang hanya memiliki jawaban ‘ya’.

Wanita itu tersenyum getir sembari memandangi foto Rizal yang kini menggantung di tembok kamarnya. Kenapa bukan dia saja yang pergi? Setidaknya, mungkin hidup yang Rizal jalani tidak akan semengerikan ini jika saja ia yang mati.

“Nyonya Tanu!” Ketukan di pintu kamar membuat fokus Tanu terpecah. Suara asistan rumah tangga yang sejak kemarin Hendriawan kirim membuatnya harus bangkit dari tepian tempat tidur.

“Mobilnya sudah siap! Nyonya diminta Tuan untuk segera berangkat.” Tanu yang berdiri kaku di depan pintu kamarnya, hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Wanita itu benar-benar tengah merasa hidup ditengah-tengah kematian. Tidak ada yang lebih mengerikan dari semua ini.

Tanpa memoles wajahnya, wanita itu segera keluar dari dalam kamar yang ia gunakan untuk mengurung diri. Hari ini yang perlu ia lakukan adalah pergi ke mana pun itu sesuai titah Hendriawan. Tidak ada keinginan untuk melawan, karena ia tahu apa pun perlawanan yang ia lakukan, semuanya hanya akan menjadi percuma.

“Silahkan Nyonya!” ujar seorang supir dengan balutan setelan kerja berwarna hitam.

Tanu mengangguk, sempat melirik bordiran nama Derma di bagian dada kanan laki-laki itu, dan tanpa mengatakan apa pun, wanita itu segera duduk dalam diam.

“Kita berangkat sekarang, Nyonya?” tanya sang supir yang kini sudah duduk di depan kemudi.

Lagi-lagi Tanu hanya menjawab pertanyaan itu dengan gerakan kepala. Entahlah, napsunya untuk sekadar mengeluarkan suara sudah menghilang, sejak kehidupan yang ia jalani berputar pada posisi yang tidak menguntungkannya.

*

Sepanjang perjalanan hanya ada hening. Lagi pula, apa yang bisa ia bicarakan dengan orang asing? Laki-laki yang sejak tadi memperhatikannya lewat kaca mobil ini juga tidak akan bisa membantunya melarikan diri dari neraka ini, bukan?

“Kita sudah sampai! Nyonya bisa masuk, dan saya akan menunggu hingga selesai!”

Tanu hanya mengangguk, lalu segera keluar dari dalam mobil saat sang supir membukakan pintu untuknya. Tanu bergerak seperti robot, tanpa minat kakinya melangkah pada salon mewah yang kini berdiri gagah di depannya.

Besok adalah acara pernikahannya dengan laki-laki penguasa itu. Jadi jangan heran jika Tanu harus melakukan semua perawatan ini. Tujuannya apalagi jika bukan untuk memuaskan mata laki-laki itu. Tanu memejamkan matanya sejenak, ia sudah merasa risi hanya dengan membayangkan jika Hendriawan berhak melakukan apa pun padanya mulai besok. Ya Tuhan! Bisakah ia kabur saja saat ini juga?

Tentu saja jawaban dari segala keinginannya itu adalah tidak mungkin, karena Tanu tahu jika Hendriawan selalu mengutus beberapa pengawal untuk mengikutinya. Para pengawal itu sengaja memakai pakaian santai, dan bersikap seperti pelanggan salon agar bisa mengelabuinya. Tapi insting Tanu terlalu kuat untuk tidak tahu, jika dua laki-laki yang kini tengah duduk semabri membaca majalan itu adalah seorang pengawal pribadi.

*

Tanu masih mengingat jelas, hari di mana akhirnya Rizal sah menjadi suaminya. Rasa bahagia bercampur haru itu pun masih terekam di memorinya. Hari di mana setiap wanita merasa lengkap karena tidak lagi hidup seorang diri.

Dan hari ini, peristiwa serupa kembali terulang. Seorang laki-laki dengan lantang telah mengikatnya dengan sebuah janji suci. Namun tidak satu tarikan kecil pun tampak di bibir Tanu. Apa yang bisa ia banggakan dari pernikahan ini? Apa yang bisa dia pamerkan dengan menjadi istri simpanan? Mungkin di mata agama, pernikahan ini sah dan tidak melanggar aturan. Tapi di mata hokum, apalagi di mata lingkungan, yang ada hujatan akan ia terima, andai saja ia tidak pintar menyembunyikan semuanya.

Tempatnya memang berada pada posisi tidak terlihat. Tidak bisa dibanggakan, kecuali pada orang-orang yang tidak mengenal Hendriawan. Dia harus selalu menyembunyikan diri, dan bersikap seolah dirinya masih seorang janda dari almarhum Rizal.

“Lebih baik kau istirahat, aku akan kembali malam nanti,” ujar Hendriawan sembari mengecup puncak kepala Tanu. Lalu sedetik kemudian, ia pun berlalu meninggalkan wanita itu seorang diri.

Satu bulir lolos dari mata Tanu saat mendengar pintu di belakangnya tertutup. Hatinya hancur, ia bahkan merasa telah berkhianat pada Rizal. Andai saja statusnya bukanlah yang kedua, mungkin tidak akan sebesar ini penyesalan yang ia rasakan. Dan mungkin, suaminya juga tidak akan kecewa. Tapi Tanu tidak memiliki pilihan lain. Jadi, bolehkan ia membela diri, dan mengatakan jika dirinya terjebak?

*

Entah sudah berapa lama Tanu terlelap. Setelah menangisi nasibnya yang begitu tragis, Tanu sepertinya tertidur karena kelelahan. Hingga ia merasakan seseorang tengah mengelus wajahnya. Sontak wanita itu pun bangun dan beringsut menjauh dari sosok Hendriawan yang kini sudah duduk di tepian ranjang. Ada senyum mengerikan yang kini terpasang di wajah tegas itu.

“Kau belum mandi?” Tanu menggeleng kaku, ia meneguk ludahnya dengan kasar. Ketakutan sudah merajainya saat bayangan apa yang akan terjadi malam ini mengisi kepalanya.

“Sebaiknya kau mandi, dan turun ke bawah. Atau, mau kubawakan makananmu ke kamar?” Bukannya menjawab, wanita itu malah menatap waspada sikap Hendriawan yang entah mengapa terlihat mengerikan. Padahal seharusnya ia tersanjung dengan sikap manis seperti itu.

“Kau kenapa?” Tanu kembali beringsut menjauh, bahkan ia menyilangkan tangan di depan dada saat laki-laki itu memperpendek jarak mereka.

Seringai licik muncul saat Hendriawan sadar apa yang Tanu takutkan saat ini. “Tenanglah, kau bisa menikamati malam ini tanpa gangguanku. Tapi aku tidak janji dengan malam-malam berikutnya, karena itu adalah hakku,” ujar laki-laki itu sembari berdiri, lalu melangkah pergi.

“Cepatlah mandi dan segera turun untuk makan malam. Atau, nanti aku suruh orang untuk mengantarkan makananmu jika kau memang lelah.” Dan suara itu terhenti dengan bunyi pintu yang tertutup. Dan saat itu juga Tanu segera bangkit, mengunci pintu, lalu mengembus napas lega. Setidaknya, malam ini ia selamat dari kengerian yang membuat perutnya mual setiap kali bayangan itu melintas.

*

Tapi selamat di malam itu, tidak lantas membuat Tanu selamat di malam-malam berikutnya. Apalagi yang Hendriawan inginkan dari menikahi wanita lain jika bukan sebagai pemuas napsu. Entah apa yang laki-laki itu lihat dari sosok Tanu, padahal wanita itu selalu merasa jika dirinya tidaklah menarik.

Tubuhnya kurus, bahkan warna kulitnya juga tidak semulus istri Hendriawan, yang jelas-jelas begitu cantik dengan fisik yang nyaris sempurna.

“Dia hanya senang mempercantik diri, tapi lupa akan kewajibannya untuk memuaskanku,” bisik Hendriawan sebagai jawaban pertanyaan yang Tanu ajukan. Niat wanita itu apalagi jika bukan untuk mengulur waktu? Dan jika bisa, ia ingin apa yang kini ada di kepala Hendriawan tidak terjadi. Apalagi yang akan terjadi dengannya dalam kondisi kamar tertutup, dan hanya ada dia serta laki-laki yang sudah tersulut gairah seperti itu.

“Tapi, kenapa harus saya?” Tanu masih berusaha mengulur waktu. Mencoba menahan rasa mual saat tangan laki-laki itu mulai menggerayangi tubuhnya.

Tanu akui Hendriawan adalah laki-laki yang menarik di mata wanita mana pun. Dan ia juga sangat yakin, jika posisinya saat ini diobral pada wanita lain, pasti banyak yang ingin menggantikan posisinya. Tapi sayang Tanu bukanlah mereka, dia tidak bisa dengan mudah melayani laki-laki lain, apalagi seseorang yang sangat ia benci. Belum lagi wajah Rizal yang kecewa, membuat Tanu ingin menendang laki-laki ini dari atas tubuhnya. Tapi tidak mungkin ia melakukan hal yang nantinya akan membuatnya tersungkur ke dalam masalah baru.

“Karena aku tahu, kau tidak akan pernah membuatku masuk ke dalam masalah klise.” Tanu menahan dada telanjang Hendriawan agar laki-laki itu berhenti.

“Maksud Anda?” tanya wanita itu dengan kening berkerut bingung.

“Apa yang harus aku takutkan dengan perempuan tanpa rahim sepertimu? Anak adalah urusan paling merepotkan yang tentu saja tidak akan pernah kamu miliki, bukan?”

Saat itu juga Tanu seperti tertampar pada kenyataan. Memangnya apa yang ia harapkan dari alasan laki-laki ini menikahinya? Tentu saja memanfaatkan kekurangan orang lain bukan lagi hal tabu bagi seorang penguasa seperti Hendriawan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel