Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Kekalahan Tanu

Bab 4 Kekalahan Tanu

“Jangan gegabah! Saya akan memberi kamu waktu untuk berpikir.” Senyuman itu sama sekali tidak melunturkan gejolak amarah yang kini mengobrak-abrik pertahanan Tanu. Bahkan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Entah apa yang ingin ia tangisi, tawaran yang seperti tengah merendahkan harga dirinya, atau situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baginya ini.

“Pikirkan baik-baik tawaran saya ini.” Senyuman itu kembali hadir. Sebentuk senyum kemenangan, seolah telah meyakini jika Tanu tidak bisa untuk berkata tidak.

“Banyak hal menguntungkan yang akan kamu dapatkan.”

Diamnya Tanu seperti lampu hijau yang membuat Hendriawan yakin, jika wanita ini akan luluh. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang? Harga diri yang tinggi pun bisa jatuh, jika ditempatkan pada posisi terjepit, di mana uang akan menjadi begitu berarti. Dan kondisi wanita ini adalah salah satu contohnya. Hanya kekuasaan dan uang lah yang bisa menolongnya.

“Selain kamu tidak akan kehilangan rumah peninggalan suami kamu, saya juga akan mencukupi segala yang kamu perlukan. Kamu tidak lagi perlu memusingkan segala hal yang berhubungan dengan uang. Bukankah pernikahan ini akan membuat kita saling diuntungkan?” Laki-laki itu benar-benar telah merasa menang. Bungkamnya Tanu sampai di detik ini, ia anggap sebagai persetujuan yang tertunda.

Sementara Tanu yang sejak tadi memilih untuk diam, hanya bisa meremas kedua tangannya yang kini bertaut di atas pangkuan. Hatinya berperang, antara ingin mengiyakan tawaran gila ini, atau menolak dengan tegas. Banyak pertimbangan yang terus mengusik isi kepalanya.

“Lebih baik sekarang kamu istirahat. Kamu memiliki banyak waktu untuk memikirkan ini. Saya tidak akan memaksa jika memang kamu tidak mau.” Suara itu melembut, tidak ada nada angkuh atau pun mengintimidasi. Bahkan senyuman yang kini Tanu lihat, tampak tulus dan seperti tidak dibuat-buat. Tanu yakin, laki-laki ini adalah aktor ulung yang biasa memerankan perannya dengan sangat apik.

*

Tanu tidak bisa memejamkan mata barang sejenak. Senyuman, tingkah laku, dan segala tawaran yang meluncur dari bibir Hendriawan terus saja berputar di dalam otaknya. Ada sebagian suara di kepala yang meneriakkan kata bodoh! Untuk apa ia mempertimbangkan tawaran gila, yang secara tidak langsung telah merendahkan statusnya sebagai wanita. Istri simpanan! Apa yang baik dari status itu? Di mata hukum, lingkungan, dan di mana pun tidak ada nilai baik dari status istri simpanan.

Tapi di sisi lain, ada yang membisikkan padanya agar menerima tawaran itu. Bayangan hidup mengerikan jika ia benar-benar kehilangan rumah ini, sungguh membuat Tanu bergidik ngeri. Rizal sudah terbiasa memberikan kemudahan, bahkan sejak mereka masih berstatus sebagai sepasang kekasih. Dan kembali ke dalam lubang kesengsaran, bukanlah hal yang Tanu inginkan. Tapi, berada dalam pelukan seorang laki-laki beristri demi hidup yang nyaman, juga bukanlah pilihan yang tepat.

Mungkin karena terlalu lelah, akhirnya mata Tanu terpejam, meski tetap saja segala problema hidup itu mengejarnya bahkan sampai ke alam mimpi

*

Di tengah kebimbangan yang masih merajai, Tanu dikejutkan dengan suara ribut di luar rumahnya. Seperti ada beberapa orang yang tengah memaksa masuk. Dan mata Tanu melebar saat melihat beberapa orang memang tengah merusak pagar tinggi di depan sana. Ada sekitar sepuluh orang, atau lebih? Entahlah.

Dengan perasaan cemas, Tanu memberanikan diri untuk ke luar sebelum pagar tinggi tempatnya berlindung dari dunia luar itu benar-benar rusak.

“Hei! Apa yang kalian lakukan dengan rumah saya?” Tanu berhenti sekitar sepuluh meter dari pintu gerbang. Beberapa orang itu pun menghentikan kegiatannya, berganti memusatkan perhatian mereka pada Tanu yang kini berdiri waspada di tempatnya.

“Bu! Kami minta tanggung jawab Ibu!” teriak salah satu dari kumpulan orang itu.

“Tanggung jawab apa yang kalian maksud?” Kali ini Tanu mengernyit bingung.

“Pak Dimas janji akan membayar pesangon kami dua hari yang lalu, tapi sampai sekarang dia tidak juga muncul!”

Kernyitan di dahi Tanu semakin berlipat. Dimas belum membayarkan uang itu pada karyawan? Padahal beberapa hari yang lalu, laki-laki itu memberitahunya jika sudah membayarkan semua uang hasil penjualan perusahaan pada para karyawan yang jumlahnya tidak sedikit.

“Tolong tunggu sebentar, saya akan mencoba menghubungi Pak Dimas.” Tanu segera mengeluarkan ponselnya, dan dengan perasaan takut yang kini bercampur aduk ditekannya nomor dengan nama Dimas itu. Dan sesuai dengan dugaan Tanu, nomor laki-laki itu tidak aktif.

“Percuma, Bu. Nomor pak Dimas sudah tidak bisa dihubungi sejak kemarin!” Teriakan itu menyentakkan Tanu pada kenyataan pahit. Jadi, orang kepercayaan suaminya pun bisa berbuat curang seperti ini? Lalu, sekarang apa yang harus ia lakukan?

Tanu melangkah mundur saat orang-orang itu kembali ricuh, berusaha menyuarakan hak yang harusnya mereka dapat.

“Kita butuh uang itu, Bu!”

“Bayarkan hak kita!”

“Kita mau pesangon segera dibayarkan!”

Tanu hanya bisa mengeratkan sweater yang kini membungkus tubuhnya. Bahkan cuaca yang tengah terik ini mampu menciptakan gigil. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Tanu hampir menangis dalam ketakutannya, hingga tiba-tiba saja sebuah mobil mewah berhenti tepat di belakang orang-orang itu. Tanu menatap waspada pada orang yang kini turun dari sedan hitam mengilap itu. Sepertinya, masalah dalam hidupnya akan semakin bertambah rumit kali ini.

*

“Tenang, saya sudah menyelesaikan semuanya. Orang-orang itu tidak akan lagi kembali untuk mengganggu kamu,” ujar laki-laki yang kini duduk di depannya dengan begitu santainya itu. Bersikap seolah rumah ini adalah rumahnya.

Seharusnya Tanu merasa lega, karena satu masalah telah selesai. Tapi bagaimana ia bisa tenang? Jika pertolongan ini sama saja dengan menjerumuskannya pada masalah lain yang semakin membuatnya terpuruk pada situasi pelik. Dan kali ini, Tanu tidak akan bisa lagi menghindar.

“Dimas kabur ke luar negeri dengan uang hasil penjualan perusahaan. Jika kamu mau, saya bisa menyeretnya paksa untuk kembali.”

Tanu mengangkat kepalanya saat ini juga, menatap Hendriawan dengan tatapan yang dirinya sendiri tidak berani mengartikannya. Laki-laki ini tak ubahnya seperti iblis berkedok malaikat. Membantunya keluar dari masalah, namun menggunakan itu semua untuk menjeratnya hingga tidak bisa berkata tidak pada tawaran gila yang sampai sekarang bahkan belum Tanu jawab. Namun jika kondisinya seperti ini, bagaimana caranya menjawab tidak? Tanu sudah terjebak dan tidak lagi memiliki pilihan.

“Semua masalah ini belum berakhir Tanu, banyak masalah lain yang akan menghampiri kamu.” Ada senyuman sedih yang Tanu tahu hanyalah sebuah kepura-puraan, karena seringai licik itu masih tertangkap matanya meski hanya terlihat samar.

“Tapi kamu juga harus ingat, jika sekarang kamu tidak sendiri. Kamu punya saya yang bisa menyelesaikan semuanya dengan satu jentikan jari.”

Tanu mencoba melonggarkan paru-parunya yang terasa sesak. Semua oksigen yang ada di rumah ini seolah enggan menyapanya, membuatnya kesulitan hanya untuk sekadar bernapas.

“Tapi kamu juga tahu, apa syarat yang harus kamu lakukan agar saya bisa dengan mudah menyelesaikan semuanya.” Senyuman licik itu kali ini benar-benar hadir. Dan memang, nyatanya di dunia ini tidak ada yang cuma-cuma. Bantuan tulus itu mungkin ada, tapi tentu saja tidak berpihak pada dirinya kini. Semuanya membutuhkan sebuah imbalan yang rasanya, terlalu berat untuk ia turuti. Tapi, bukankah ia tidak punya pilihan lain?

“Bagaimana Tanu? Kamu masih butuh waktu untuk berpikir?”

Wanita itu meneguk ludahnya kasar, mengeratkan sweaternya untuk sekadar memberi kehangatan saat gigil itu kembali menyerangnya.

“Atau kamu menunggu orang-orang lain yang dirugikan akibat kecurangan Dimas datang lagi?”

Tanu melebarkan matanya dengan kerut bingung. Apa maksudnya ini?

“Kamu pikir yang tadi itu sudah selesai?” Hendriawan tersenyum geli, lalu menggeleng dengan gaya dramastis. “Orang-orang saya baru saja mengabarkan jika beberapa lagi akan datang untuk meminta pertanggung jawaban kamu.”

Tanu hanya bia menggigit bibir dengan mata berkaca-kaca. Dipandanganya foto pernikahannya dengan Rizal yang kini entah mengapa tampak mengerikan. Kenapa harus seperti ini akhirnya? Tanu tidak pernah membayangkan situasi rumit dan menakutkan ini akan ia hadapi sendirian.

“Waktu kamu tidak banyak Tanu. Lebih baik kamu cepat-cepat memberikan saya keputusan, atau—“ Suara-suara ribut di luar menghentikan kalimat Hendriawan.

Tanu menatap nanar ke arah gerbang yang kini menunjukkan gerombolan orang dengan jumlah semakin banyak. Gemetar itu semakin menguasai tubuh Tanu. Ingin rasanya ia kabur, tapi ke mana ia harus pergi?

“Kamu tinggal mengangguk, dan semuanya beres.” Wanita itu menoleh dengan wajah bingung, takut, cemas.

Dan senyum kemenangan Hendriawan muncul begitu lebar, saat kepala Tanu akhirnya mengangguk, dengan bulir-bulir bening yang berjatuhan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel