Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Tawaran Gila

Bab 3 Tawaran Gila

“Rumah ini harus sudah kosong dalam waktu dua hari,” ujar salah satu pengawal setelah menyerahkan surat pernyataan penyitaan rumah. Tanu yang enggan membacanya, hanya membiarkan surat dengan map biru itu berceceran di lantai. Dan tanpa memedulikan reaksi wanita itu, ketiga pengawal tadi langsung pergi begitu saja.

“Bu!” Panggilan itu menyentakkan lamunan Tanu, wanita itu pun menoleh ke arah Pak Anton dengan pandangan bingung. Seolah apa yang baru saja terjadi adalah mimpi, dan kini ia baru saja terbangun.

“Itu tadi—“ Namun, saat melihat wajah prihatin yang saat ini Pak Anton tunjukkan, Tanu sadar jika apa yang terjadi bukanlah sekadar mimpi.

“Ibu sebaiknya istirahat dulu,” saran Pak Anton yang segera mendapat anggukan dari Tanu. Tanpa mengatakan apa pun, wanita itu segera masuk ke dalam rumah.

Namun, langkahnya terhenti di ruang tamu yang selalu sepi. Ada rasa sesak yang kini menemaninya. Baru saja ia berusaha untuk bangkit, sepertinya Tuhan belum puas untuk menghukumnya. Sungguh, jika bisa Tanu ingin menjeritkan isi hatinya pada Tuhan! Apa dosanya di masa lalu begitu banyak? Sehingga penyiksaan batinnya ini tidak juga berakhir. Apa ada kesalahan tidak termaafkan yang pernah ia perbuat? Hingga kini balasan yang ia terima harus semenyakitkan ini.

Tanu tergugu dalam sepi yang makin membuatnya terpuruk. Jika rumah ini disita, ke mana ia harus berlindung? Di sini, segala kenangan tentang Rizal sudah banyak terpatri. Dan jika ia harus meninggalkan rumah ini, itu artinya ia harus menghapus semua kenangan itu.

*

Tanu yang rasanya telah lelah menangisi takdirnya, memilih untuk membaringkan tubuh di kamar utama. Tempat yang sudah beberapa waktu ini sering ia hindari. Bahkan sejak Rizal meninggal, ia memilih untuk tidur di kamar tamu. Namun, setelah kejadian siang tadi, rasanya Tanu ingin berlama-lama di tempat ini. Ia ingin menghirup banyak-banyak aroma Rizal yang masih tertinggal di sana. Merekam setiap memori yang tertinggal di dalam kepalanya.

Apa yang harus ia lakukan? Itu adalah pertanyaan yang sejak tadi terus berdengung di kepalanya. Namun hingga malam telah larut menyisakan sepi, tidak satu jawaban pun bisa ia dapatkan. Lalu sekarang ia harus bagaimana? Waktu yang orang itu berikan hanya dua hari. Ke mana ia harus mencari tempat tinggal dengan tabungan yang sudah mulai menipis? Belum lagi pesangon yang harus ia berikan pada Pak Anton. Laki-laki itu sudah bekerja lama dengan Rizal, dan selama ini kinerjanya sangatlah bagus. Tidak mungkin ia memulangkan Pak Anton tanpa memberikan uang sepeserpun.

*

“Ini untuk Ibu saja, Ibu lebih butuh. Besok Ibu harus cari tempat tinggal, kan?” Jawaban yang Pak Anton berikan saat pagi harinya Tanu menyerahkan amplop berisikan uang.

Meski sebenarnya yang dikatakan Pak Anton memanglah benar, tapi tentu saja Tanu tidak bisa menyetujui usul itu begitu saja. Ia tahu, laki-laki ini juga membutuhkan uang ini.

“Saya gampang, Pak. Saya kan tidak memiliki tanggungan. Sedangkan Bapak, anak istri Bapak pasti menunggu ini kalau Bapak pulang, kan?” Tanu kembali menyodorkan amplop di tangannya. Tapi Pak Anton juga tetap kekeh pada pendiriannya.

“Saya masih ada tabungan. Saya sungguh-sungguh, lebih baik uang ini untuk pegangan Ibu saja.”

Tanu akhirnya menyerah, sembari mengucapkan terima kasih ia mengantarkan Pak Anton yang mulai hari ini tidak lagi bekerja. Pak Anton sempat menawarkan untuk mencarikan kontrakan. Tapi Tanu menolak, dengan dalih ia sudah mendapatkan tempat tinggal. Padahal yang ada di pikirannya saat ini adalah, mendatangi rumah Pak Hendriawan dan mencoba untuk bernegosiasi. Sebenarnya Tanu ragu dengan hasilnya, tapi jika tidak dicoba, dia tidak akan pernah tahu apakah akan berhasil atau tidak.

*

“Saya mau bertemu dengan bos kalian,” ujar Tanu saat ketiga pengawal itu muncul, mungkin untuk mengingatkan jika hari ini adalah batas waktu yang Tanu miliki untuk segera keluar dari rumah ini.

Tidak langsung menjawab, ketiga orang itu malah saling berpandangan. Lalu salah satunya bersuara dengan tatapan menyelidik. “Untuk apa Anda bertemu dengan bos kami?”

“Tentu saja untuk negosiasi,” ujar Tanu. Bisa ia tangkap senyum mengejek ditampilkan oleh salah satu pengawal. “Tolong, izinkan saya untuk tetap mempertahankan rumah ini,” pinta Tanu dengan mata berkaca-kaca. Entah karena tidak tega atau apa, salah satu pengawal itu akhirnya mengangguk, dan segera menghubungi bos mereka.

Meski jantungnya berderap tidak keruan di dalam sana, namun ada senyum yang mengembang di bibir Tanu. Salah satu pengawal yang menghubungi Hendriawan itu mengatakan, jika bos mereka bersedia untuk menemuinya.

Tanu pun segera ikut dengan ketiga laki-laki ini. Berharap tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Mengingat jika saat ini ia berurusan dengan orang penting yang memiliki kekuasaan. Sudahlah, tidak perlu ia pikirkan apa yang akan terjadi, yang terpenting saat ini ia harus bisa meyakinkan siapapun orang itu untuk tidak menyita tempat tinggalnya.

*

Tanu meneguk salivanya dengan ksar saat melihat siapa orang yang kini ia ajak bernegosiasi. Dari segala kemewahan yang kini tersaji di depan mata Tanu, ia langsung bisa menebak apa kiranya profesi laki-laki yang kini duduk tenang di hadapannya. Tentu saja bukan pengusaha biasa, bahkan wajah dengan garis tegas itu beberapa kali pernah ia lihat muncul di layar televisi. Yah, Hendriawan adalah salah satu Anggota Dewan Terhormat di Negara ini. Dan sekarang, ia yang bukan siapa-siapa berani duduk di kursi mewah ini, dengan tujuan untuk bernegosiasi. Nyali Tanu mendadak menciut hingga nyaris menghilang.

“Ibu …, emm, rasanya kurang pas jika saya panggil Ibu. Usia Anda pasti masih jauh di bawah saya bukan?” Senyum itu merekah, membuat wajah yang masih bisa dikatakan tampan di usia yang mungkin menginjak angka 40 tahun lebih itu kian bersinar. Segala yang melekat pada tubuh laki-laki itu sudah mampu membuat siapapun silau dan sungkan saat melihatnya. Ditambah lagi dengan senyuman ramah, yang Tanu yakini hanyalah sebentuk topeng.

“Jadi, boleh saya tahu apa tujuan Nona datang menemui saya?” Baru saja Tanu ingin menjawab, laki-laki itu sudah kembali berbicara, “suatu kehormatan yang sangat besar bisa kedatangan tamu secantik Anda.” Tanu yakin jika bibirnya menganga sangat lebar saat itu juga.

Wanita itu berdeham, lalu merapikan blazer yang menutupi kemeja tanpa lengan yang kini membalut tubuh rampingnya. Dalam hati bersyukur, karena ia memilih pakaian formal yang sangat tertutup ini untuk dikenakan. Entah mengapa pikiran buruk tiba-tiba saja melintas di pikirannya tentang laki-laki di depannya ini. Seringaian ganjil itu membuatnya sedikit risi. Apalagi tatapan yang kini tertuju padanya seperti memiliki maksud terselubung.

“Saya, ingin bernegosiasi dengan Bapak,” jawab Tanu berusaha untuk tetap tenang. Perasaannya kian resah saat senyuman itu tidak juga hilang, dan mata itu terus saja mengamati wajah dan tubuhnya. Tanu benar-benar merasa ditelanjangi saat itu juga.

“Tunggu! Saya belum terlalu tua hingga bisa dipanggil Bapak. Kamu boleh memanggil saya Mas, mungkin? Itu lebih cocok saya rasa.”

Tanu mencoba menetralkan perasaanya yang makin berkecamuk. Ini sungguh basa-basi yang menggelikan. Kesan ‘terhormat’ yang tadi sempat tertangkap oleh mata Tanu kini berubah drastis. Risi, satu kata yang kini Tanu rasakan setiap kali matanya bersirobok tanpa sengaja dengan mata laki-laki itu.

“Ini tentang rumah saya yang akan Bapak sita.” Tanu bukannya tidak menyadari dengusan kesal yang keluar dari bibir laki-laki itu, saat ia tetap kekeh memanggil Hendriawan ini dengan sebutan bapak.

“Apa yang ingin Anda negosiasikan dengan saya?” Senyuman itu masih terlihat, hanya kini berubah sedikit dingin.

“Jangan sita rumah saya, Pak,” ujar Tanu dengan sedikit bergetar menahan tangis. Setiap kali membayangkan rumahnya akan diambil, rasanya seluruh nyawa yang ia punya dicabut paksa dari raganya.

Dengusan sinis itu terdengar lagi, “Lalu, dengan apa kamu akan membayar semua hutang yang suami kamu tinggalkan?”

“Saya, saya, sa-saya bisa mencicilnya, mungkin?”

Terdengar gelak tawa meremehkan, namun Tanu berusaha untuk tidak terpancing. Wanita itu tetap duduk tenang di tempatnya.

“Kamu tahu berapa nilai hutang suami kamu?”

Tentu saja Tanu tahu, itu bukanlah nilai yang sedikit. Dan jika negosiasi ini berbuntut baik, mungkin ia akan menyicil hutang itu seumur hidupnya. Itu pun tidak tahu apakah akan lunas atau tidak.

Tawa geli syarat akan ejekan itu kembali menggema. “Jadi, sekarang ini kamu sedang melucu atau bagaimana?”

“Saya hanya ingin mempertahankan satu-satunya yang saya miliki.” Tanu tahu ini bukan cara yang benar. Menangis adalah cara paling lemah yang akhirnya ia pergunakan. Berharap dikasihani oleh orang seperti ini tentu saja bukanlah rencana bagus. Tapi air mata itu keluar begitu saja tanpa mau dikendalikan.

“Saya paling tidak bisa melihat wanita menangis,” ujar Hendriawan membuat Tanu segera mengangkat kepala. Matanya menatap penuh harap laki-laki yang kini tengah mengusap dagunya dengan ibu jari itu. Namun, saat seringai ganjil itu kembali muncul. Entah mengapa perasaan Tanu mengatakan, jika akhir dari negosiasi ini tidak akan mendapatkan hasil yang baik.

“Saya punya tawaran yang menarik, dan itu akan sangat menguntungkan kamu.” Tanu mengerjab waspada, apalagi saat laki-laki itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Ada senyum nakal yang keluar, dan mampu membuat Tanu bergidik ngeri.

“Menikahlah dengan saya, maka saya tidak akan mengambil rumah itu. Malah, rumah itu akan saya jadikan mahar untuk pernikahan kita nanti.”

Mata Tanu melebar saat ini juga. Bagaimana dia bisa tersanjung dengan tawaran ini? Sedangkan tepat di belakang punggung laki-laki itu, terpasang foto pernikahannya dengan wanita cantik yang Tanu tahu adalah istri sang Anggota Dewan Terhormat. Jadi, tawaran ini sama saja sedang menjatuhkan harga dirinya pada tempat yang paling menjijikkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel