Bab 2 Kabar Tidak Menyenangkan
Bab 2 Kabar Tidak Menyenangkan
Mendung yang berarak perlahan menghilang tersapu angin. Rintik hujan pun telah berubah menjadi gerimis. Andai saja tinggal di pedesaan, mungkin akan terdengar kicauan burung yang berdendang merdu menyambut matahari yang mulai mengintip malu-malu dari atas langit.
Tanu, wanita yang beberapa hari lalu harus menerima takdir menyakitkan itu tampak berdiri seorang diri di balkon kamarnya. Netra lentik yang masih terlihat sembab itu kini menatap hamparan langit luas yang perlahan tampak membiru. Tidak ada senyum, karena segala kebahagiaannya telah terenggut bersama hilangnya banyak harapan.
Andai saja memungkinkan, rasanya ia ingin terus berdiam diri untuk menangisi nasibnya yang bisa dibilang tragis. Kehilangan suami, dan tidak lagi menjadi perempuan utuh. Adakah hal yang lebih mengerikan dari itu semua?
Tapi sekejam apa pun takdir telah bermain dalam hidupnya, hidup harus terus berlanjut. Ia memang tidak lagi memiliki alasan atau pun tujuan untuk hidup. Segala alasan itu telah lenyap, tergantikan kekosongan yang sungguh membuatnya nyaris memilih untuk menyerah. Mengakhiri hidup sempat terlintas dibenaknya hari itu, tapi bayangan Rizal yang menatapnya penuh kekecewaan, menghentikan pisau yang nyaris saja menyayat pergelangan tangannya.
Notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya, menyentakkan wanita berkulit langsat itu dari lamunan. Tanu pun segera melangkah masuk, lalu duduk di tepian tempat tidur.
‘Bu, kapan saya bisa datang ke rumah?’
Tanu mengembus napas perlahan, mencoba berpikir dan menimbang waktu yang tepat. Sebenarnya ini pesan kelima yang masuk sejak dua bulan lalu suaminya meninggal. Namun, tidak sekalipun Tanu mengindahkan pertanyaan Dimas, tangan kanan sekaligus sekretaris Rizal di perusahaan yang suaminya itu kelola. Bukannya tanpa alasan, Tanu tahu apa yang akan Dimas bicarakan padanya bukanlah sekadar ucapan bela sungkawa. Beberapa hari yang lalu, sebenarnya laki-laki itu juga sudah sedikit membeberkan apa yang akan ia bicarakan padanya.
Setelah mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan, Tanu pun segera menghubungi Dimas untuk datang ke rumah hari ini. Percuma saja ditunda-tunda, karena masalah yang akan Dimas bawa, tidak akan pernah selesai hanya dengan berdiam diri.
*
“Satu-satunya cara hanya itu, Bu,” imbuh Dimas saat wanita di depannya tidak juga memberi keputusan.
Laki-laki itu baru saja menjelaskan apa yang kini terjadi pada perusahaan milik Rizal. Semenjak terdengar kabar jika pemiliknya meninggal, kondisi perusahaan memburuk. Banyak pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk berbuat curang. Menyabotase segala hal untuk keuntungan mereka. Uang yang keluar dan masuk selama dua bulan terakhir ini tidak lagi bisa dikatakan stabil. Dan yah, perusahaan sudah berada di ujung tanduk, dan akan segera dinyatakan bangkrut.
“Jujur saja saya sudah mulai pusing mendengar teror dari para karyawan dan juga pemegang saham.” Dimas memang sudah bekerja keras selama ini. Namun yang menjadi masalah, ia tidak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuan Tanu, karena wanita itulah yang kini memiliki wewenang. Dan beberapa waktu belakangan ini, istri Rizal itu sangat susah dihubungi.
“Jadi, bagaimana, Bu?” desak Dimas saat wanita yang kini menunduk lesu di depannya tidak juga memberikan reaksi yang berarti.
Tanu sebenarnya bukannya tidak mau langsung menjawab ‘iya’, karena yang Dimas butuhkan memang hanya itu. Tapi apa yang baru saja Dimas kabarkan, bukan hal remeh yang bisa ia putuskan dalam satu tarikan napas. Ini menyangkut nasib banyak orang, dan terutama adalah nasib Tanu sendiri ke depannya.
. Satu-satunya jalan yang Danu berikan tadi adalah menjual perusahaan, itu pun dengan harga murah karena kondisi perusahaan yang sudah berada di ujung tanduk. Belum lagi laki-laki itu menambahkan, jika penjualan perusahaan kemungkinan hanya bisa menutup untuk gaji karyawan dan pembayaran tetek bengek lainnya. Untuk para pemegang saham, kemungkinan hanya bisa terbayar yang nilainya kecil. Dan yang menjadi masalah bukan hanya itu. Tanu merasa menjadi istri yang tidak berguna karena tidak bisa mempertahankan hal yang sudah dibangun mati-matian oleh Rizal. Perusahaan ini adalah hasil dari kerja keras Rizal selama ini, dan rasanya, Tanu telah gagal menjadi seorang yang laki-laki itu cintai. Tapi, bukankah tidak lagi ada gunannya memikirkan hal seperti itu?
“Bu,” desak Dimas lagi, dan kali ini Tanu mendongakkan wajahnya. Dengan senyuman yang dipaksakan, wanita itu mengangguk perlahan.
Senyum lega langsung terpatri di wajah Dimas. “Baiklah, Bu, saya akan mengurus semuanya,” ujar laki-laki itu sebelum bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pergi.
Selepas kepergian Dimas, wanita itu kembali merenungkan yang terjadi. Apa, yang telah ia miliki perlahan akan benar-benar terenggut? Setelah suami, rahim, kini satu-satunya sumber pemasukan yang selama ini menopang hidupnya pun telah hilang. Lalu, apa yang akan ia lakukan setelah ini? Kembali ke gubuk reyotnya yang sudah tidak layak huni?
*
Tanu terpaksa memberhentikan tiga asistan rumah tangga yang selama ini bekerja di rumahnya. Ia hanya bisa mampu membayar orang-orang itu hingga bulan ini. Tabungannya mulai menipis, karena memang tidak lagi ada pemasukan. Mencari pekerjaan, juga bukan hal yang mudah, mengingat usianya kini nyaris memasuki kepala tiga. Dan juga ijazah yang ia miliki sama sekali tidak akan mendukung.
Tinggal satu security yang ia pertahankan, itu pun mungkin hanya akan bertahan sampai dua bulan ke depan. Belum lagi tagihan listrik, air, dan banyak tetek bengek lainnya belum terpikirkan. Tanu benar-benar dihadapkan pada permasalahan ekonomi, membuatnya seperti terlempar ke masa lalu. Sebelum Rizal menyelamatkannya dari pelik hidup yang saat itu hanya memusingkan urusan perut.
Suara-suara ribut di depan membuat wanita itu beranjak dari tempatnya. Ia sedang membaca pesan dari Dimas, tentang perkembangan penyelesaian masalah akibat perusahaan milik Rizal yang bangkrut. Carut marut di kepalanya makin terasa berdenyut saat dari kejauhan, ia melihat beberapa orang dengan pakaian serba hitam tengah bersitegang dengan security rumahnya.
Tanu memilih untuk tetap diam. Dia tidak bisa menebak siapakah orang-orang yang berpenampilan seperti pengawal pribadi itu. Tanu berharap security rumahnya mampu mengahadpi tiga orang berbadan besar itu. Namun, beberapa saat kemudian, Pak Anton, security yang menjaga di pintu gerbang rumahnya tanpak tergopoh mendekat ke arahnya. Kali ini Tanu tidak bisa terus diam, maka ia memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.
“Ada apa, Pak? Siapa orang-orang itu?” tanya Tanu sembari melongokkan sedikit kepalanya ke arah pos satpam.
“Itu Nyonya, katanya mereka utusannya Pak Hardiawan,” jawab Pak Anton sembari sesekali ikut melongokan kepalanya ke arah gerbang. Takut jika tiga pengawal tadi tiba-tiba mendekat dan membuat kegaduhan.
“Pak Hardiawan?” Kening Tanu mengernyit untuk sekadar mengingat nama itu. Seperti tidak asing, tapi ia lupa pernah bertemu di mana.
Pak Anton baru ingin membuka mulut untuk menanggapi ucapan sang majikan, saat tiga pengawal pribadi tadi sudah berjalan mendekat.
“Dengan Ibu Tanu?” tanya salah satu pengawal yang paling menyeramkan di mata Tanu. Ada bekas luka di alis dan juga sudit bibir bagian kanan laki-laki itu.
“I-iya, saya sendiri. Ini, ada apa, ya, Pak?” Tanu berusaha untuk tetap terlihat tenang, padahal sebenarnya ia nyaris terduduk lemas karena ketakutan.
“Saya diutus Pak Hendriawan untuk menyita rumah ini beserta isinya.”
Mata Tanu melebar saat itu juga. Apa ini? Belum juga ia sempat membuka suara, salah satu dari tiga orang lainnya melanjutkan penjelasan yang hanya membuat tubuh Tanu makin gemetar.
“Bos kami adalah salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan suami Anda. Saya rasa tidak perlu dijelaskan secara rinci mengapa pihak Pak Hendri harus menyita rumah ini. Anda pasti tahu bagaimana kondisi perusahaan saat ini, bukan?”
Kepala Tanu seakan berputar saat itu juga. Ia nyaris roboh jika saja Pak Anton tidak memegangi lengannya. Jika rumah ini disita? Maka di mana lagi ia harus tinggal? Bahkan satu-satunya keluarga yang ia miliki pun tidak lagi menganggapnya ada. Tuhan! Kenapa begitu berat cobaan yang Kau hadirkan?