Bab 1 Prolog
Bab 1 Prolog
“Belum tidur juga?” tanya Rizal, saat mendapati sang istri masih terjaga padahal jam telah menunjuk angka dua dini hari.
Wanita di sampingnya menggeleng, ada resah yang kini bergelayut di mata Tanu. Entah sebenarnya apa yang akan terjadi. Namun, perasaan tidak nyaman itu sudah menyerangnya sejak kemarin. Akibatnya selama dua hari ini ia kesulitan untuk sekadar menutup mata.
“Mendekatlah.” Rizal merentangkan satu lengannya, yang langsung disambut Tanu dengan beringsut mendekat.
“Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?” tanya Rizal sembari mengusap punggung sang istri, berharap apa yang ia lakukan mampu menenangkan keresahan yang kini dialami Tanu.
Wanita beriris cokelat itu menggeleng, matanya terpejam untuk menikmati rasa nyaman yang kini menyelimutinya. Meski keresahan itu tidak juga memudar, tapi setidaknya ia tahu jika dirinya kini tidak sendiri.
“Aku juga tidak tahu. Tapi firasatku mengatakan, akan terjadi hal buruk,” lirih wanita itu di ujung kalimat.
Rizal yang mendengar hal itu segera mengeratkan pelukannya, lalu mengecup kening Tanu dengan penuh rasa sayang. “Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin ini terjadi karena kita akan pergi besok. Kau hanya sedang terlalu khawatir dengan perjalanan itu.”
Tanu yang tidak yakin dengan kalimat itu hanya mengigit bibir. Besok rencananya mereka memang akan pergi bulan madu, hanya ke Bali, seharusnya tidak akan membuat perasaan Tanu menjadi secemas ini.
“Jangan menggigit bibir seperti itu,” ucap Rizal sembari mengecup cepat bibir sang istri. Lalu terkekeh saat wanita itu berdecak sembari mengerucutkan bibir. “Kau memang selalu berhasil membuatku gemas. Tapi lebih baik sekarang kita tidur. Aku tidak mau kau kelelahan dan akhirnya jatuh sakit.”
Tanu hanya mengangguk, lalu membenamkan kepalanya dalam dada Rizal. Dia mencoba mencari kenyamanan. Namun, saat berhasil memejamkan mata, mimpi buruk itu datang dan semakin membuatnya berpikir memang akan ada hal buruk yang terjadi.
*
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Itu hanya mimpi, Sayang.” Rizal mengusap kepala sang istri, lalu menciumnya lembut.
“Tapi, Mas, aku merasa itu seperti pertanda.” Tanu terlihat semakin gusar. Mimpi yang ia alami tadi malam itu seperti tampak nyata, dan mana mungkin ia bisa mengabaikannya begitu saja?
“Lalu, apa kita harus membatalkan rencana bulan madu ini, lagi?” Kernyitan halus tampak menghiasi wajah Rizal. Ada gurat kecewa yang siap hadir jika kepala Tanu mengangguk. Tapi saat tidak juga ada jawaban, diraihnya tubuh sang istri ke dalam dekapannya. “Apa pun yang terjadi nanti, aku akan selalu di sampingmu. Aku akan selalu melihatmu di mana pun aku berada.”
Tanu tersentak, lalu menarik tubuhnya dari dekapan sang suami. “Kanapa kau malah berbicara seperti itu?” hardiknya tidak suka.
Rizal yang seperti tidak menyadari ucapannya tadi, malah mengernyit bingung.
“Kata-katamu itu, Mas. Aku tidak suka mendengarnya.” Tanu benar-benar semakin ketakutan. Sementara Rizal yang seperti belum menyadari bagian mana dari kalimatnya yang terdengar salah, memilih untuk tidak memperpanjang obrolan ini. Apalagi saat keresahan itu semakin menguasai wajah istrinya.
“Maafkan aku.” Laki-laki itu kembali mendekap tubuh Tanu. “Lebih baik kita berangkat sekarang,” lanjutnya seraya mengurai pelukan, lalu mengenggam tangan Tanu untuk dituntun keluar. Jika saja tidak mengingat antusias suaminya yang sudah menyiapkan rencana bulan madu ini sejak lama, sebenarnya Tanu ingin sekali membatalkannya. Tapi— wanita itu menggeleng, mencoba menyingkirkan bayangan-bayangan mengerikan di mimpinya malam tadi.
*
Tanu masih mengingat jelas bagaimana saat sebuah truk menyambar mobil yang mereka tumpangi. Bagaimana saat dirinya terlempar ke luar, sementara Rizal terhimpit badan truk dan baju putihnya penuh dengan noda darah.
Wanita itu menoleh saat tangannya terasa digenggam, dan senyum tenang suaminya menyambut. Berulang kali ia mencoba melupakan mimpi itu, tapi kenapa bayangan mengerikan itu malah semakin terlihat nyata? Lihatlah sekarang, suaminya tidak memakai kemeja berwarna putih, dan mobil yang mereka tumpangi adalah taksi. Yah, dan semuanya tidak sama dengan ada yang di dalam mimpi. Wanita itu memilih untuk melempar pandang ke arah jendela taksi yang kini tengah mengantar mereka ke bandara. Namun, baru saja hatinya berangsur tenang, ketakutan yang ia rasakan sejak beberapa hari ini memang nyatanya adalah benar suatu pertanda jika peristiwa buruk akan terjadi.
Suara decit ban terdengar bersamaan dengan sebuah truk yang kini melaju cepat tanpa kendali. Menerobos pembatas, dan menghantam beberapa mobil tak terkecuali taksi yang kini Tanu tumpangi. Belum sempat kesadaran itu hadir, tubuhnya terlempar bersamaan dengan pintu taksi yang terbuka. Nyeri ia rasakan di bagian perut saat tanpa sengaja tubuhnya terpelangting dan menubruk sesuatu. Tapi segala nyeri itu seolah kebas saat matanya menangkap sosok suaminya yang masih terjebak di dalam taksi bersama sang supir yang sudah bersimbah darah.
Tanu ingin sekali berteriak, tapi tidak satu suara pun keluar dari bibirnya. Kepalanya mulai berdenging ribut saat wajah Rizal menoleh ke arahnya. Tanu ingin menjerit saat wajah itu sudah bersimbah darah. Namun, senyuman itu tetap muncul, seolah tengah mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Tanu menangis dalam diam. Tidak ada yang bisa ia lakukan, karena setiap inci tubunnya terasa sulit untuk digerakkan.
‘I love you’, gerak bibir sang suami yang sempat terbaca oleh Tanu, sebelum gelap merenggut segalanya.
*
Suara-suara berisik itu mengganggu sedikit ketenangan yang Tanu rasakan. Bau obat-obatan, serta obrolan dua orang membuatnya tergerak untuk membuka mata. Putih, hanya itu yang ia tangkap saat perlahan-lahan matanya terbuka. Kernyitan bingung tampak jelas, saat menyadari jika kini dirinya berada di tempat asing. Tanu kembali memejamkan mata, mungkinkah ia masih berada di alam mimpi? Bukankah, seharusnya ia sudah sampai di Bali saat ini?
Bali? Mata Tanu segera terbuka saat bayangan suaminya yang bersimbah darah seolah melemparnya pada kenyataan. Tapi tunggu, itu semua hanya mimpi, kan?
Tanu menoleh saat mendengar dua orang yang tadi tengah mengobrol tiba-tiba menghentikan suaranya. Senyum ramah seorang wanita berjas putih kini menyambutnya.
“Anda sudah sadar Nyonya? Ada yang Anda rasakan?”
Tanu ingin menjawab jika tubuhnya terasa remuk. Tapi, kenapa tubuhnya harus terasa seremuk ini? Tunggu! Wanita itu mencoba kembali memejamkan mata, berharap saat nanti matanya terbuka, ia sudah berada di Bali dan menyadarkannya jika semua ini mimpi. Tapi— mata Tanu kembali terbuka. Dan wanita berjas putih itu masih berdiri di sana, satu wanita lain dengan setelan berwarna hijau juga tengah menatapnya. Bau obat-obatan juga masih terhidu jelas di hidungnya. Jadi—
“Suami saya?” Pertanyaan itu segera meluncur saat bayangan suaminya yang tengah bersimbah darah mulai tercetak jelas di ingatannya. Suara decit ban, riuh teriakan manusia-manusia di sekelilingnya, ada jeritan, tangisan, suara minta tolong. Tanu memegangi kepalanya saat rasa sakit itu menyerangnya dan segalanya kembali menggelap.
*
Tolong katakan jika ia masih bermimpi! Jerit wanita itu dengan rintihan pilu. Andai saja waktu itu ia mengikuti kata hatinya. Andai saja waktu itu ia memiliki ketegasan untuk membatalkan rencana bulan madu mereka. Andai saja saat itu ia lebih peka, jika semua kecemasan yang ia rasakan itu memanglah sebuah pertanda. Andai— Tanu hanya bisa terisak sembari menyesalkan semua yang terjadi. Kata andai itu kini tidak lagi berguna, karena yang ia takutkan sudah terjadi. Mimpi itu bukan lagi sekadar mimpi, karena yang ia temui sekarang ini adalah kenyataan yang harus ia terima.
“Mas Rizal …,” rintihnya di atas gundukan tanah dengan bunga yang sudah mengering. Matanya sudah terasa sakit, namun belum juga meredakan kepiluan yang kini ia rasakan. Bahkan rintik hujan yang perlahan mengguyur, juga tidak mampu menyamarkan apa pun kesakitan yang kini ia rasakan.
“Suami Anda tidak tertolong, dan sudah dimakamkan oleh keluarga.” Entah siapa yang mengatakan itu padanya. Karena setelah itu ia memaksa untuk melihat sendiri kenyataan pahit yang kini hadir. Tanu masih menginginkan jika semua ini adalah mimpi. Tapi rasa sakit yang masih menjalari tubuhnya adalah bukti jika inilah kenyataannya. Ia telah kehilangan segalanya. Rizal adalah satu anugrah dari Tuhan yang terus ia syukuri. Di balik pelik hidup yang selama ini ia jalani, akhirnya ada seseorang yang mau memberinya kebahagiaan. Rizal adalah separuh napas yang ia punya. Jadi, setelah separuh kehidupannya kini pergi, apa yang bisa Tanu lakukan?
Wanita itu terus merintih dan menangis di pusara sang suami. Tempat tinggal terakhir, di mana di bawah sana suaminya tidak lagi menginginkan kehadirannya. Namun segala kesakitan itu nyatanya belum juga berakhir. Seolah Tuhan belum puas untuk menghukumnya. Entah dosa apa yang pernah ia perbuat di masa lalu. Hingga bukan hanya separuh nyawanya saja yang terenggut. Tapi juga keinginannya untuk menjadi seorang ibu nanti, tidak akan pernah terwujud. Dokter telah mengabarkan jika rahimnya terpaksa diangkat. Benturan hebat pada perutnya saat itu ternyata membawanya pada fakta menyakitkan ini.