Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Menyusul Beeva

Bab 8 Menyusul Beeva

Sepeninggal Riz, Beeva kembali ke kosnya dan langsung menuju kamarnya Sri. Sri adalah sahabat terbaik Beeva dari tahun pertama kuliah, asli berasal dari Gunung Kidul. Teman Beeva ini adalah gadis yang penuh semangat dan pantang menyerah. Kebetulan mereka tinggal di kos yang sama walau pun Sri belajar di Fakultas Sastra.

"Bee, aku turut berduka atas kepulangan ayah tercinta," kata Sri memeluk erat sahabatnya sesaat.

"Iya Sri, terima kasih. Aku merasa sebagai anak durhaka karena tidak sempat merawat Abak selama masa sakitnya," mengekori langkah Sri ke dalam kamarnya.

"Jangan sedih lagi. Ikhlas ya biar ayahmu bisa tenang di sana."

"Iya Sri. Aku juga mau bilang kalau aku juga bawa kumpulan puisi dari orang tuaku. Abakku suka sekali bercerita dan Ama, Ibuku yang menuliskannya jadilah satu bundelan puisi yang mereka berdua tulis. Ada kusimpan di kamar. Nanti kalau sudah ada waktu senggang, baru kubawa agar bisa kamu lihat. Kalian kan anak sastra pasti lebih mengerti dari aku."

"Iya, tidak masalah. Bisa kok nanti kita buat blog yang gratis terus kita unggah semua puisinya. Kalau menggunakan foto juga bisa, tapi nanti agak berat jadi bisa diakali dengan mengetik ulang lembar demi lembar. Terserah kamu formatnya akan seperti apa?"

"Kalau bisa difoto Sri. Biar tersimpan buah tangan Amaku karena semuanya dalam torehan hasil kerja tangan tuanya."

"Bisalah! Itu hal teknis. Nanti aku ajak temanku yang jago untuk membantu kita."

"Terima kasih banyak ya. Kamu memang selalu mengerti aku. Aku balik ke kamar dulu beres-beres. Lumayan berdebu setelah ditinggal seminggu."

"Oke. Sampai ketemu nanti."

Beeva mengunci pintu kamarnya lalu rebahan sambil menggenggam ponselnya. Ia mencari kertas yang disodorkan oleh Riz tadi lalu disimpannya nomor itu dalam ponselnya.

Beeva merapikan kembali ranselnya termasuk buku kumpulan puisi yang mengingatkan pada Abak dan Amanya. Tak terasa air mata menetes sambil meletakkan buku puisi itu di dalam laci lemari.

Dengan menyeka tetesan air mata yang tidak terbendung, Bee melantunkan doa singkat dalam hening, ‘Terima kasih untuk cobaan ini Ya Allah. Bantu Bee untuk lewati semuanya dengan tabah. Apalagi Bee sekarang harus berjuang sendiri untuk bekerja dan menyelesaikan skripsi di saat yang bersamaan’ sambil lanjut merapikan kamarnya yag berdebu karena ditinggal seminggu lebih.

Tak terasa sebulan telah berlalu dan Beeva sudah disibukkan dengan janji temu dengan dosen pembibing untuk menyelesaikan skripsinya. Memang segala sesuatu tidaklah mudah bagi Beeva. Ia harus berjuang untuk menjinakkan dosen pembimbingnya yang selalu saja lupa dengan perkataannya sehingga butuh tiga sampai lima kali pertemuan konsultasi, baru bisa menyelesaikan beberapa paragraf sedangkan setiap bab ada lebih dari lima puluh paragraf.

Siang itu Beeva pulang dengan wajah pucat pasi karena ia tidak sempat sarapan karena takut terlambat memenuhi jadwal konsultasinya di jam delapan pagi. Ia baru saja bertemu dengan dosen pembimbing pertamanya yang meminta untuk merombak total enam puluh persen dari bab 1-3 dari skripsinya sebelum menghadapi ujian proposal dua minggu lagi. Syok dengan komentar dosennya ditambah melewatkan makan pagi membuat tubuhnya lemas.

Untunglah ia hanya butuh berjalan kaki sebentar dan sudah sampai ke kosannya sehingga ia bisa langsung mengalasi lambungnya dengan teh panas sambil menggoreng telur untuk menjadi lauk dengan nasi yang ia sudah masak sebelum berangkat kuliah tadi pagi.

Baru saja Beeva membilas piring bekas makannya, ponselnya berdering dan nama sepupunya tertera di sana.

"Bee, aku kabur dari rumah. Aku sudah tidak tinggal di rumah lagi."

"Ada apa Nis? Jadinya kamu sekarang tinggal di mana?"

"Aku bertengkar dengan Abakku. Dia mau menjodohkan aku dengan saudagar kaya di kampung. Aku jelas tidak mau jadi Siti Nurbaya modern. Aku mau merantau saja. Sekarang aku ada di rumah Riz sudah hampir seminggu. Kita mau menyusulmu ke Yogya."

"Kamu yakin mau meninggalkan keluargamu?"

"Nanti baru aku pikirkan masa depanku. Tapi aku mau minta tolong ke kamu untuk tampung aku dulu selama di Yogya."

"Kapan kalian berangkat?"

"Tiketnya untuk lusa. Aku tinggal sama kau ya untuk sementara sampai aku dapat kerja dan bisa bayar kos sendiri."

"Iya boleh. Sampai kau di sini baru kita bicarakan lagi. Hati-hati nanti penerbangannya."

Percakapan mereka berhenti dan Beeva bersiap untuk kerja. Hari ini dia mulai dengan jadwal siang sehingga ia akan punya waktu sambil mengedit skripsinya. Ia beruntung berkerja di warnet sehingga tidak perlu biaya lagi untuk menggunakan komputer dalam menyelesaikan tugas perkuliahannya.

Dua hari kemudian di pulau Sumatera, Nisel dan Riz terlihat turun dari bis dan memasuki pelataran bandara. Ini merupakan pengalaman pertama bagi Nisel untuk naik pesawat sehingga ia bergantung penuh pada Riz.

Riz melakukan semuanya untuk Nisel mulai dengan lapor tiket dan pengurusan bagasi sampai mereka mendapatkan pass masuk ke ruang tunggu. Setelah mereka tidak lagi menenteng koper masing-masing, Riz dengan santainya menggenggam tangan Nisel menunjukkan kepemilikannya.

"Jangan begitu Riz. Nanti orang-orang akan salah sangka," ucap Nisel ingin menarik tangannya namun kekuatan pria pastinya lebih kuat dari perempuan sehingga usaha Nisel tidak berhasil.

Riz bahkan dengan beraninya mengecup jemari dalam genggamannya sambil berucap, "Dengan kehadiran aku, orang tidak akan memandangmu dengan banyak prasangka karena mereka melihat aku adalah pelindungmu. Apalagi kalau mereka mengira bahwa kita adalah pasangan suami isteri pastilah semuanya akan dimudahkan. Kita hanya perlu sabar dan bersandiwara dengan penuh penjiwaan," lalu menggamit tangan Nisel dan menuju pintu masuk ke ruang tunggu.

Sepanjang perjalanan mengudara menuju Yogya, Riz terus menggoda Nisel karena mereka memang duduk berdampingan.

"Kamu sabar sekali mendukung aku kembali dengan Beeva? Apa kamu tidak cemburu?" Riz membuka percakapan setelah pesawat lepas landas.

"Kamu kenapa jadi melantur bicaranya?" balas Nisel mulai tidak karuan hatinya dan disamarkan dengan memperbaiki cara duduknya.

Jauh di dalam lubuk hati Nisel, memang ada sedikit rasa yang ia pupuk untuk Riz tapi sejak SMA, ia mengamati mata Riz tidak pernah lepas memandang Beeva setiap kali mereka ada di tempat yang sama, membuatnya memutuskan untuk mendukung sepupunya itu diam-diam sehingga dia selalu memantau perkembangan hubungan antara Riz dan Beeva.

"Kata orang, dalam sebuah hubungan jika ada orang ketiga yang terkesan sangat mendukung sebenarnya motivasi orang tersebut hanya dua, tulus mendukung atau ada niat lain di balik sikap itu yang biasanya muncul belakangan," balas Riz.

"Beeva itu saudara aku Riz. Aku ingin dia bahagia dan kalian memang pernah bersama jadi aku dukung kalian agar Beeva bahagia. Tidak ada motivasi lain," sahut Nisel.

"Kalau kamu mau coba-coba jadikan aku pacar pertamamu juga aku mau. Tapi kamu harus tahu kalau hatiku memang untuk Beeva dari awal aku sudah suka berat sama dia," balas Riz.

"Kamu bilangnya suka sama sepupuku tapi malah masih merayuku. Tidak takut aku bilang ke Beeva apa?" sambar Nisel dengan menggelengkan kepalanya.

"Selama salah satu dari kita tidak ada yang bicara, tentunya tidak akan ada yang tahu termasuk Beeva. Hubungan kita bisa hanya saling menguntungkan saja, teman tapi mesra, sekedar saling mengisi kebutuhan fisik. Aku tergiur dengan bodimu," bisik Riz membuat Nisel agak bergidik.

"Cukup Riz. Malu didengar orang," elak Nisel tapi wajahnya sudah merah padam.

"Ayolah Nis. Kita bermain aman tanpa diketahui orang lain dan menggunakan pengaman juga yang bisa kita cari di apotik. Sampai di Yogya kita cari motel ya. Tidak harus bermalam tapi cukup di sewa untuk beberapa jam. Hanya butuh empat sampai enam jam jika kamu memenuhi seleraku," sambil mulai mengusap punggung tangan Nisel yang tadi digenggamnya selama perjalanan sebelum masuk ke badan pesawat.

"Astaghfirullah Riz. Jangan kau ulang lagi perkataanmu itu. Aku sudah anggap kau sebagai kakakku sendiri," sahut Nisel dengan wajah memohon menatap Riz yang sedang tersenyum genit menatap Nisel.

"Kamu terlalu kaku Nisel. Diajak senang-senang nggak mau. Kamu belum tahu saja nikmatnya surga duniawi. Sekali kau tahu, aku yakin kau akan ketagihan."

"Masya Allah Riz. Sekali lagi kau bicara begitu aku pindah tempat duduk," balas Nisel.

Riz melepas genggamannya dan pura-pura memejamkan matanya karena fantasinya sudah kemana-mana saat berbincang dengan Nisel.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel