Bab 7 Kenangan Masa Lalu
Bab 7 Kenangan Masa Lalu
Beeva dan Riz tiba di bandara dua jam sebelum penerbangan mereka. Masih dengan kecanggungan yang sama di mana Beeva mencoba menghindari Riz dan sebaliknya pemuda itu tidak lelah untuk mencari tahu lebih dalam tentang rutinitas Beeva.
"Mana tiketmu biar aku saja yang antri," kata Riz menawarkan bantuan, mengulurkan tangannya meminta tiket dan kartu identitas Beeva.
‘Sudahlah lebih baik mengalah dan anggap aja aku lagi beramal dengan lega memberikan kesempatan pada orang lain untuk melakukan kebaikan untuk kita,’ batin Beeva frustasi sambil menyodorkan semua dokumen penting yang dibutuhkan untuk syarat lolos terbang.
Sepeninggal Beeva, Ama termenung memikirkan putri bungsunya. Dalam renungannya ia berharap agar semua urusan studi Beeva berjalan dengan lancar. Ia takut berharap untuk bisa bersua dengan Beeva dalam waktu dekat karena selama berangkat ke tanah Jawa, puterinya itu baru bisa kembali justru di hari wafatnya Abak dan hanya bertahan satu minggu.
Doanya tidak lain agar ia masih bisa mengetahui dan merasakan kebahagiaan saat puterinya menggenggam ijazah sarjana di tangannya sebelum ia menutup mata berkalang tanah.
Sementara di atas pesawat, kembali Beeva dan Riz duduk berdampingan. Perjalanan dari kota Padang menuju Jakarta sebagai bandara transit, selama mengudara mereka lewati tanpa ada satu pun yang memulai percakapan.
Riz mencoba untuk menutup matanya agar bisa terlelap sebentar namun tidak berhasil apalagi Beeva yang tidak gampang tertidur malahan lebih fokus pada mengagumi fenomena di luar jendela pesawat dengan hamparan awan seputih kapas.
Riz sebagai laki-laki akhirnya melupakan egonya dan kembali mencoba menarik perhatian Beeva. Ia menelengkan kepalanya ke kanan dan mendapati Beeva yang tidak lelah memandang ke luar jendela. Riz mendekatkan wajahnya ke pipi Beeva berpura-pura mencari tahu apa sebenarnya yang dipandangi Beeva.
Kira-kira tinggal dua senti jarak antara bibirnya dan pipi sebelah kiri Beeva, Riz berkata, "Lihat apa?" otomatis Beeva menoleh dan ‘cup’ tanpa bersusah payah satu kecupan di pipi berhasil Riz dapatkan tepatnya di pipi sebelah kanan. Sementara Beeva menahan kesal dengan mengepalkan kedua telapak tangannya karena telah terjebak dalam permainan Riz.
"Terima kasih," sahut Riz sambil senyum menahan geli karena berhasil mengerjai Beeva.
Sebaliknya wajah Beeva berubah menjadi merah padam menahan malu, marah sekaligus merasa bodoh dengan dirinya sendiri yang tidak peka dengan keberadaan Riz yang sudah begitu dekat dengannya sehingga gerakan menoleh sepelan apa pun, gesekan kedua permukaan kulit mereka tetap tidak akan terelakkan. Riz meraih telapak tangan kiri Beeva yang sedang mengepal dan mengenggamnya lembut.
Entah apa yang Beeva pikirkan saat itu tapi yang pasti ia tidak punya kekuatan untuk berdebat dengan Riz apalagi di atas pesawat. Akan sangat memalukan bagi mereka berdua nantinya. Begitu pula keinginan untuk mengusir Riz dari sisinya akan sangat mustahil dalam situasi saat itu. Apakah itu pesona Riz atau memang Beeva dalam kondisi butuh dukungan penuh karena rasa duka yang merundungnya sehingga Beeva terkesan bertekuk lutut dan pasrah serta membiarkan Riz bersikap semaunya seperti yang sedang pemuda itu perankan.
Riz mengusap lembut punggung tangan Beeva yang ia pegang dengan membuka kepalannya terlebih dahulu, selama beberapa menit. Semuanya terjadi dalam hening untuk menyalurkan kehangatan pada Beeva sekaligus menenangkan amarah Beeva yang terlihat dari reaksi tubuhnya dan wajahnya. Sayangnya sekesal apa pun Beeva pada Riz tapi tidak dapat dipungkiri kalau tindakan Riz itu berhasil membuat Beeva sedikit santai dan wajahnya tidak semerah padam seperti beberapa menit yang lalu.
"Kamu sama sekali tidak ingat satu pun kenangan kita semasa di SMA?" suara Riz kembali menjembatani kesunyian dengan berbagai tanya di antara mereka.
"Tidak!" sembari menggelengkan kepalanya sekali.
"Aku tahu kamu tidak ingin dengar tapi sebaiknya aku ceritakan tentang hubungan kita. Pertama kali kita bertemu di sekolah. Tapi kita mulai ngobrol dan aku terus meminta perhatian dari kamu saat kita bertemu di rumah. Aku hampir setiap hari pulang bareng Abrar. Aku selalu membujuk Abrar agar bisa melihat kamu jadinya kalau butuh sesuatu, Abrar akan selalu minta bantuan kamu walau pun kenyataannya kami bisa melakukan semua hal sendiri."
"Lalu sedekat apa hubugan kita waktu itu?" tanya Beeva mulai mencoba untuk menghadapi kenyataan agar bisa menemukan jalan keluar secepatnya dari pada menghindar terus.
"Suatu malam di teras rumahmu, saat semua orang lagi pergi kecuali Amamu yang sedang berada di kamar, aku menyatakan suka padamu dan aku tandai dengan mengesun pipimu seperti yang barusan aku lakukan. Bedanya, waktu itu kamu tersenyum tidak seperti tadi ekpresinya. Malam itu kamu terima aku jadi pacarmu dan sejak itu kita selalu pergi bersama."
"Tapi kenapa aku bisa melupakan semua kenangan indah itu? Tak berbekas sedikit pun."
"Itu karena aku yang meninggalkanmu tanpa kabar sedikit pun. Aku tahu kamu pasti bingung mencariku dan pada saat yang sama aku bingung dan terlalu fokus dengan diriku sendiri sehingga mengabaikanmu. Aku memang sedang ada masalah keluarga waktu itu dan tidak fokus ke sekolah juga. Ayahku tertarik dengan wanita lain sedangkan Ibuku juga tidak mau Ayah berpoligami. Mereka bercerai dan aku ikut Ibu pulang ke kampungnya di Batu Sangkar dan melanjutkan sekolah di sana tanpa sempat mengabarimu sedikit pun," suara Riz sedikit tercekat.
"Aku yakin, rasa sakit hatimu ditinggal begitu saja pastilah sangat mendalam sehingga memaksamu dan mempermudah dirimu melupakan semua memori tentang kebersamaan kita," kalimat panjang Riz ditutup dengan satu helaan nafas, sangat berat.
Percakapan mereka terhenti karena pramugari mulai mengumumkan kalau sebentar lagi mereka akan tiba di tempat tujuan yaitu Bandara Internasional Adisutjipto.
Setelah keluar dari bandara Beeva langsung mencari taksi menuju kos-kosannya. Riz bersikeras untuk mengantar Beeva ke kosnya dan akhirnya Beeva mengalah.
Hanya saja Riz tidak bisa menginap di sana karena itu khusus kos-kosan untuk para putri jadinya Beeva meminta Riz untuk langsung pulang ke Sumatera karena tidak bisa menginap di kosnya walau pun di kamar yang berbeda.
Malam itu juga Beeva mengajak Riz ke warnetnya untuk mencari tiket balik untuk Riz secara daring sekaligus izin pada teman yang bertugas malam itu agar Riz bisa ikut tidur di kamar yang disediakan bagi petugas warnet untuk semalam saja. Mereka akhirnya memesan tiket pagi untuk Riz pada jam penerbangan yang sama seperti Beeve minggu sebelumnya agar Riz bisa tiba di kampung halamannya di Batu Sangkar sebelum malam menjemput.
Beeva tidak mengantar Riz ke bandara tapi pagi-pagi sebelum berangkat Beeva mengantarkan sarapan untuk Riz dan menunggu sampai mobil datang menjemput.
Sambil menunggu taksi yang akan mengantar Riz ke bandara, Beeva dihadapkan dengan pertanyaan yang cukup sulit dari Riz. "Bisakah kita kembali seperti dahulu? Kamu tidak perlu jawab sekarang, tapi aku tinggalkan nomor ponselku sehingga kamu bisa kontak aku kalau sudah membuat keputusan," sambil menyerahkan sebuah lipatan kertas yang tentunya berisi angka-angka seperti yang Riz katakan.
Beeva mengambil kertas yang disodorkan lalu diselipkan di saku celana jeansnya bertepatan dengan jemputan untuk Riz tiba. Beeva menatap kepergian Riz dengan hati yang kosong dan dingin masih belum merasakan apa pun selain rasa duka dan kecemasan akan nasib perkuliahannya.