Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Perjalanan Bersamamu

Bab 6 Perjalanan Bersamamu

Waktu berlalu begitu cepat dan tanpa terasa sudah seminggu Beeva menghabiskan waktunya di tanah kelahiran, kota Bukittinggi. Ada begitu banyak kenangan yang ia tinggalkan. Tidak hanya rasa duka atas kepulangan Ayahanda tercinta tapi juga perpisahan dengan Ibunda dan saudara kandungnya. Kini dirinya harus merelakan itu semua demi masa depannya.

Kepergiannya kali ini terasa lebih berat dari sebelumnya karena mereka seperti tidak akan mempunyai ikatan apa pun dengan Beeva selain hubungan darah karena Beeva dituntut untuk mandiri, hidup di atas kedua kakinya sendiri tanpa sokongan dari pihak keluarga. Kehidupan baru itu harus benar-benar Beeva jalani dengan sepenuh hati.

Beeva tidak mungkin menuntut dan berkeluh kesah karena ia satu-satunya anak yang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar pulau Sumatera dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain sehingga semua pengorbanan orang tuanya sudah cukup baginya selama hampir empat tahun ia merantau.

Beeva pamit kepada keluarganya dan diantar Abangnya ke terminal pemberhentian bis untuk menuju kota Padang dan mengejar penerbangan siang hari ke Pulau Jawa. Beberapa hari sebelumnya, saat Beeva sedang mengunjungi keluarga mendampingi Amanya, Nisel mengadakan percakapan dengan Riz melalui telepon.

“Malam Riz. Kuharap aku tidak mengganggumu.”

“Malam Nis. Ada apa kau menelpon?”

“Kau siapkan tiket untuk mengantar Bee. Dia akan berangkat dua hari lagi ke Yogya. Temanilah dia. Kasihan dia sendirian. Selama perjalanan kalian bisa ngobrol dan mengingatkan Bee akan masa lalu kalian,” kata Nisel dengan lancar tapi agak berdiri di pojokan agar tidak ketahuan oleh anggota keluarga yang lain karena pasti Beeva akan tidak setuju mengetahui rencana Nisel.

“Aku akan mencari tiket, kabari nama bis dan nomor penerbangan Bee agar bisa berada di kendaraan dan pesawat yang sama,” pinta Riz,

“Nanti kukirim. Sudah ya, aku tutup dulu.

“Terima kasih, Nis.”

Setelah Beeva dan Amanya pulang malam itu, Nisel dengan segala cara merayu Beeva agar menyampaikan jenis kendaraan yang ia tumpangi sehingga bisa ia sampaikan kepada Riz.

Di hari kepulangannya Beeva tidak lupa membawa kumpulan puisi milik Ama dan Abaknya. Ia sudah memiliki rencana untuk berbicara dengan Sri nanti setibanya di Yogya.

Abangnya tidak menungguinya tapi langsung pulang ke rumah setelah mengantarnya ke terminal.

Bis yang ditumpangi Beeva keluar dari parkiran tepat waktu dan meluncur mulus melewati deretan panjang kaki gunung Marapi. Hijaunya perkebunan yang membentang membuat suasana pagi itu begitu sejuk menuju dingin dan Beeva hanya bisa merapatkan sweater sambil memeluk ranselnya.

Setiap tiket bis sudah diberi nomor sehingga tak bisa memilih tempat semaunya dan dari awal membeli tiket Beeva memang memilih untuk dekat dengan jendela sehingga bisa melihat pemandangan alam tanah kelahirannya tanpa halangan apa pun.

Tiga puluh menit dari total tiga jam yang harus ia tempuh telah berlalu dan matanya tidak bisa terpejam. Riz memang jarang memejamkan mata dalam perjalanan darat seperti ini.

Penumpang yang duduk di sebelah kanan Riz, seorang ibu berjilbab tiba-tiba berdiri dan membawa semua barangnya dan meninggalkan kursinya kosong menuju kursi bagian depan dekat dengan supir. Riz tidak bertanya dan teman seperjalanannya itu pun juga tidak meminta permisi saat ingin pindah.

Selang beberapa menit kemudian seseorang sudah menempati kursi yang kosong tadi dan berucap, “Pagi Bee. Kita ketemu lagi.”

“Riz, kamu ngapain di sini?” tanya Beeva kaget melihat pemuda itu sudah duduk di sampingnya.

“Aku mau mengantar kamu,” balas Riz dengan pandangan datar ke depan tanpa menoleh ke Beeva.

‘Pasti Nisel,’ gerutu Beeva dalam diam.

Beeva memilih untuk mengatur duduknya membelakangi Riz dengan memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela setelah menghembuskan nafasnya kasar. Lima menit berlalu, sepuluh menit, dua puluh menit dan terdengar ujaran lembut persis di telinga kanan Beeva, “Awas lehernya nggak bisa balik kalau lihatnya cuma satu arah.”

Hembusan nafas dari Riz bisa Beeva rasakan karena cukup dekat membuat jantung Beeva bertalu lebih kencang. Degupannya bukan disebabkan oleh getaran karena rasa tertentu namun karena kaget saat Riz tanpa diduga bisa berbicara sedekat itu dengannya.

Beeva akhirnya memilih untuk duduk tegak, memeluk ransel dan memejamkan matanya berupaya untuk tertidur sebentar, walau pun ia tahu mustahil terlelap saat kendaraan sedang melaju seperti saat ini.

Dia hanya ingin mengabaikan Riz dan berharap pemuda itu juga tertidur dan tidak mengusiknya.

“Apakah kita bisa kenalan lebih dalam lagi? Saya sudah tahu nama kamu tapi belum tahu tentang kebiasaan dan kegiatan kamu selama ini,” ujar Riz tiba-tiba membuyarkan semua harapan Beeva.

Hening masih ada di antara mereka.

“Saya tahu, kamu tidak suka saya tapi anggaplah itu karena kita belum saling mendalami kehidupan masing-masing. Mumpung kita akan melakukan perjalanan jauh, ada baiknya kita saling mengenal barulah kamu putuskan akan mengabaikan saya atau tidak.”

Beeva akhirnya menyerah. Ia sangat lelah untuk meladeni Riz tapi kalau ia mendiamkannya, pemuda itu akan tetap dominan dan memaksa untuk mengetahui semua tentang dirinya jadi Beeva memilih untuk menanggapi Riz.

Ia membuka matanya dan merapikan cara duduk dan membuang pandangannya jauh ke depan menghindari bertatapan langsung dengan Riz.

“Aku Riz. Salam kenal.”

“Aku Beeva.”

“Kamu kuliah di mana?”

“UGM Jurusan Teknik Sipil.”

“Wah, mantap ya. Aku tamat gelar D3 Administrasi dan Perkantoran dan itu pun di hanya di kota Padang. Sudah semester berapa?”

“Tingkat akhir.”

“Lalu rencana setelah kuliah?”

“Kerja.”

‘Kenapa jawabnya pendek-pendek ya? Apa aku butuh ganti cara bertanyanya?’ batin Riz.

Mengira tidak ada pertanyaan lainnya lagi, Beeva kembali memejamkan matanya.

“Mengapa memilih Yogyakarta bukan tempat lain seperti Makasar, Jakarta atau Denpasar?”

“Karena julukan kota pelajar dan biaya makan anak kos yang relatif rendah di banding kota yang lain.”

“Apa hobi kamu?”

“Fotografi dan tidur.”

“Tapi aku tidak lihat kamu tenteng kamera selama di rumah Ama.”

“Aku simpan di tempat yang aman di Yogya.”

“Apa kamu sekarang juga lagi bekerja sambil kuliah?”

“Harus! Karena aku biayai kuliahku sendiri dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa sokongan dari orang tua jadi aku butuh bekerja.”

“Apa perasaanmu ketika tahu keluarga tidak lagi membantu membiayai kuliahmu?”

“Kecewa dan bangga di saat yang bersamaan.

“Bagaimana mungkin?”

“Aku bangga bisa menceritakan pada anak cucuku nanti bahwa aku menyelesaikan studiku dengan biaya sendiri di tahun terakhir kuliah.”

“Aku akan temani kamu terus sampai di Yogya. Aku sudah beli tiket pesawat juga. Semoga kita dalam penerbangan yang sama,” ujar Riz pura-pura menunjukkan kalau pertemuan mereka tidak direncanakan sejak awal.

“Kamu mau tahu bagaimana kita bertemu pada awalnya?”

“Nanti saja. Perjalanan kita masih panjang. Aku tidak mau dengar hal-hal yang membuatku berpikir keras.”

“Kalau begitu kamu boleh istirahat. Masih satu setengah jam lagi baru sampai di bandara.”

Beeva lalu memejamkan kembali matanya dan berharap bisa terlelap agar tidak harus berbicara dengan Riz.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel