Bab 2 Teman Lama
Bab 2 Teman Lama
Beeva sudah berada di dalam kamar orang tuanya untuk saling melepas kangen dan berbagi duka bersama malam itu. Namun ia masih menunggu kedatangan ibunya yang tertahan di pintu masuk kamar untuk berbicara dengan mamaknya, kakak dari ibunya. Dalam kesedihannya kehilangan ayah, kegalauannya akan nasib perkuliahannya, Beeva mengingat suasana saat pemakaman beberapa jam sebelumnya sambil berbaring dan memejamkan matanya.
Banyak orang yang datang menemani keluarganya menghantar kepergian ayah Anwar yang memang dipandang sebagai salah satu tokoh masyarakat karena usianya. Mereka menghantar jenazah ke pemakaman umum yang letaknya tidak terlalu jauh sehingga beramai-ramai ditempuh dengan berjalan kaki.
Acara pemakaman berjalan dengan lancar dan selesai menjelang pukul setengah enam sore. Kerumunan orang mulai menipis kembali ke rumah duka ketika Beeva sedang bersimpuh memandang gundukan tanah yang masih basah dengan taburan bunga di atasnya. Sesekali titik air mata masih menetes dari pipinya menunjukkan penyesalan akan keterlambatannya menemani hari-hari terakhir sang ayah sebelum berpulang kepada Sang Khalik.
Tanpa Beeva sadari sepupu perempuannya yang bernama Nisel mendekatinya dari arah belakang diikuti seorang pemuda.
"Va, sudahlah. Abak Anwar sudah tenang di alam baka. Kita perlu meratapinya tapi jangan terlalu berlarut-larut. Biarlah kita lapangkan perjalananya dengan mengikhlaskan kepergiannya." Nisel merengkuh bahu Beeva lembut membawanya berdiri dan berniat mengajaknya untuk meninggalkan kuburan mengikuti keluarga yang lain.
"Saya turut berbela sungkawa atas kepergian Abak Anwar," pemuda yang datang bersama dengan Nisel mengulurkan tangan pada Beeva.
"Terima kasih," balas Beeva seadanya dengan menatap sekilas pemuda tersebut lalu memalingkan pandangan ke bawah untuk melihat jalanan yang akan dilewatinya.
"Va, ini Riz. Teman satu sekolah kita di SMA 1 Batu Sangkar. Apa kamu sudah lupa?" ucap Nisel mencoba menyamai langkah Beeva.
"Maaf Sel. Aku tidak ingat," ucap Beeva memandang Nisel dan menggeleng sekali.
‘Kok bisa tidak ingat ya? Mereka dulu sangat dekat,’ batin Nisel bingung tapi memilih untuk diam dan menggandeng Beeva untuk berjalan beriringan.
Sementara pemuda yang sedang menjadi topik pembicaraan hanya terdiam dan mengekori langkah kedua perempuan di depannya. Mereka tiba di tenda duka menjelang maghrib dan para tamu serta keluarga sudah berkumpul kembali untuk melanjutkan dengan malam tahlilan.
"Beeva, Beeva, kau sudah tidur?" suara sendu ibunya membuyarkan lamunan Beeva memaksanya untuk membuka matanya dan bangkit dari rebahannya.
"Belum Ama. Beeva menunggu Ama dari tadi."
"Iya, Ama masih bicara dengan Mamakmu tadi."
"Ama mau istirahat sekarang?" tanya Beeva.
"Sebelum kita tidur, tolong Ama antarkan minum untuk para tamu yang masih ada di tenda. Beberapa orang masih belum mau pulang."
"Masih ada siapa saja yang di luar Ama?"
"Abang dan Kakak beserta teman-teman mereka, juga ada Mamak dengan beberapa pengurus RT/RW. Semuanya sudah ada di meja dapur, tinggal bantu Kakak untuk di ]antar saja bagi para tamu."
"Iya Beeva antarkan. Ama istirahat saja dulu nanti Beeva kembali untuk menemani Ama."
"Kalau kamu masih mau ngobrol juga tidak apa-apa. Ama bisa sendiri."
"Sebentar ya Ama," ujar Beeva diikuti dengan kakinya yang melangkah keluar dari kamar.
Sampai di dapur, Beeva bertemu dengan Nona, kakak perempuannya, yang selalu disapa Kakak.
"Syukurlah Beeva kau sudah datang. Kakak dan Nisel butuh bantuanmu."
"Iya Kak. Beeva harus antar ke mana ini?" tanyanya sambil menerima sebuah loyang aluminium besar berisi beberapa gelas kopi mengelilingi sebuah piring berisi dua jenis penganan yang diletakkan di tengah.
"Itu kopi semua minumannya. Antarkan ke tempat Abang dan teman-temannya saja di meja luar di bawah tenda."
"Baik Kak," sahut Beeva melangkah menuju tenda.
Beeva membawakan minuman dan penganan kecil yang masih tersisa dari acara tahlilan tadi ke meja depan untuk dicicipi oleh Abrar dan teman-teman pemudanya yang lain.
Tanpa Beeva sadari, jauh di hadapannya ada sepasang mata yang tak lepas menatap setiap pergerakannya sejak keluar dari dalam rumah dan melangkah mendekati tempat mereka duduk. Dia adalah Riz, pemuda yang sama yang Nisel sepupunya perkenalkan sebagai teman lama mereka saat di pemakaman tadi sore.
"Abang, ada kopi dan penganan yang bisa dicicipi," ucap Beeva begitu sampai di tempat di mana Abrar berada.
"Yah, telat Va. Baru dibawa. Beberapa teman Abang sudah mau pamit."
"Apa tidak bisa diminum dulu sebentar atau penganannya dibawa saja sambil makan di jalan?" ucap Beeva lirih sambil meletakkan loyangnya di atas meja.
"Iya, ide bagus juga. Dibawa saja sambil makan di jalan," timpal Abrar mengikuti perkataan adiknya.
"Satu-satu tapi ya dan sisakan buat kita yang tinggal," sela Riz begitu beberapa tangan mulai maju untuk mengambil bagiannya.
"Beeva tunggu di sini sebentar temani Riz, Abang antar dulu teman-teman yang lain ke depan."
"Baik Bang," Beeva lalu duduk di kursi yang ditempati Abrar sebelumnya yang berhadapan dengan gang masuk ke rumah mereka, di samping kiri dari kursi yang ditempati Riz.
"Silahkan dicicipi," tawar Beeva dengan sedikit senyum untuk memecah keheningan di antara mereka setelah ditinggal oleh teman Abangnya yang lain.
"Terima kasih. Saya coba kopinya. Semoga manis seperti yang mengantar," goda Riz sekedar untuk menghibur Beeva yang terlihat sangat muram mukanya.
"Jangan suka asal bicara," sahut Beeva datar menjurus ketus tanpa menatap wajah Riz.
"Bukan asal, tapi memang kenyataan. Niat saya hanya untuk menghibur tidak lebih."
"Siapa nama kamu?" tanya Beeva sambil berdehem, berusaha memperbaiki suasana dengan memberikan kesan sebagai tuan rumah yang baik karena sempat ketus sebelumnya.
"Riz," pemuda itu menjawab sambil menyeruput kopinya.
"Kita sekolah di SMA yang sama ya?" ia bertanya lagi sembari menatap wajah Riz sekilas.
‘Siapa dia ya? Kenapa aku sama sekali tidak ingat? Nisel juga terlihat tidak percaya kalau aku tidak mengenal dia.’ pikir Beeva dalam hening.
"Satu angkatan di atas kamu, satu kelas dengan Abrar," sahut Riz mencomot satu penganan yang tersedia di piring.
"Kamu tidak ikutan pulang?" lanjut Beeva tanpa merasa telah menunjukkan sikap ketus lagi dengan bertanya yang bisa diartikan seolah-olah mengusir tamunya dengan halus.
"Aku menginap untuk menemani Abangmu,"
"Oh, jadi mau menginap?"
"Kenapa? Tidak bolehkah?" ia menatap lekat Beeva tapi yang ditatap tidak menoleh sedikit pun.
"Boleh, boleh. Ini kan rumah Abang bukan aku."
"Abang sudah datang," ujar Beeva sambil berdiri begitu melihat Abrar sudah berjalan mendekati mereka. Beeva sekaligus menata kembali loyangnya dengan menyisakan minuman untuk Abrar sedang yang lainnya akan dibawa ke tamu di meja yang berbeda.
"Saya bisa minta nomor ponsel kamu?" tanya Riz di tengah menatap kesibukan Beeva.
"Abang, Beeva masuk ya!" berteriak pada Abangnya yang tinggal dua langkah lagi sudah sampai di kursinya semula. Beeva baru bergerak setelah melihat anggukan kepala dari kakak laki-lakinya.
"Permisi!" katanya menatap Riz sekilas mengabaikan permintaan pemuda itu dan memunggunginya untuk melayani tamu yang lain yang ingin minum kopi.
‘Apakah kenangan masa lalu itu benar-benar membuatnya tidak ingin mengenalku lagi? Aku tidak boleh menyerah,’ batin Riz sambil menyesap lagi kopinya yang sudah hampir dingin karena tersisa sedikit.