Bab 3 Curahan Hati
Bab 3 Curahan Hati
Beeva membawa dulang minumannya menuju kumpulan bapak dimana Mamaknya berada dan menyuguhkan semua gelas kopi yang tersisa. Setelah semuanya terlayani barulah ia kembali ke dalam rumah dan berniat untuk berdiam diri di kamar ibunya. Namun di dapur ia berpapasan dengan Nisel sepupunya yang juga baru meletakkan dulang yang sudah kosong di atas meja.
"Bee, duduk dulu sebentar di sini," ajak Nisel menggamit lengan sepupunya lembut agar duduk di kursi meja makan. Suasana rumah cukup lengang karena semua orang duduk di ruang tamu dan di bawah tenda.
"Kamu serius tidak mengingat Riz?" selidik Nisel dengan dahi mengernyit.
"Ada apa Nisel? Apakah aku harus mengingatnya?" sambil menutup mata sejenak dan menggelengkan kepala. "Tapi sungguh aku tak bisa mengingatnya," ujarnya kemudian.
"Kalian itu dulu sangat dekat, karena Riz sering main ke sini bertemu dengan Abang,"
"Aku tahu, tadi juga Riz bilang kalau dia sekelas dengan Abang."
"Karena dulu Riz selalu bilang kalau suka sama kamu jadinya kita semua mengira kalian adalah sepasang kekasih," ujar Nisel hati-hati.
"Benarkah?" heran Beeva. "Jika yang kamu katakan adalah benar, seharusnya aku pasti mengingatkan, Nis. Tapi sungguh aku benar-benar tidak bisa mengingat dia. Apa mungkin aku bisa lupakan sesuatu yang menyentuh hatiku seperti pernyataan suka dari Riz untukku dulu kalau memang ia pernah katakan?" Beeva melontarkan pertanyaan balik pada Nisel.
"Aku tidak berbohong Bee. Untuk apa coba aku berbohong. Kalian sering mengobrol berdua dan kelihatan sangat dekat. Riz hampir setiap minggu mampir di sini bareng Abangmu. Sesekali bahkan menginap di sini dengan alasan mengerjakan tugas dan kalian memang dekat saat itu layaknya kekasih. Kurasa, Abang masih mengingatnya," sahut Nisel.
"Ah, entahlah Nisel, aku juga tidak mengerti. Mungkin juga karena rasa berduka ini membuatku tidak bisa memikirkan hal lain. Beri aku waktu untuk mengingat semuanya. Akan kucoba bertanya pada Abang nanti," Beeva menghela nafas panjang, menatap wajah heran sepupunya dengan senyum terpaksa.
"Mengapa tidak mencoba bicara lebih dalam dengannya? Dia menginap kan?" pertnyaan bernada permntaan itu terlontar lembut dari bibir Nisel.
"Tadi kami bicara sebentar saat mengantarkan kudapan," balas Beeva.
"Aku melihat kalian, kamu terlalu kaku padanya. Cobalah sekarang ke sana lagi, aku melihat dia sedang duduk sendirian karena yang lain sudah pada pulang. Mungkin dengan berbicara panjang, kenangan yang sempat kamu lupakan bisa kembali diingat lagi. Setidaknya biar kamu juga bisa terhibur dan tidak terlalu memikirkan Abak," rayu Nisel dengan nada lembut. Matanya berusaha menemukan Riz, tapi sepertinya pemuda itu sudah pindah. Mungkin bergabung dengan rombongan bapak-bapak yang masih bergerombol di bawah tenda.
"Sudah malam, Nis. Malu rasanya, lagi pula aku ingin menenami Ama. Dia pasti sedih sekali tidak ada Abak lagi di sampingnya. Kalau tidak ada lagi minuman yang mau diantar aku mau kembali ke kamar Ama," Beeva berdiri.
"Ayolah sebentar saja, aku temani," rayu Nisel lagi.
"Tidak Nis. Maaf ya. Aku ke kamar dulu," ujar Beeva tegas. Ia berjalan menjauh dari ruang makan di bawah tatapan tak mengerti Nisel.
"Ya sudah istirahatlah," ujar Nisel menjejeri langkahnya dan menyerah. Gadis itu turut keluar dari ruang makan dan melihat Riz masih duduk sendirian, belum beranjak dari tempat duduknya tadi bersama dengan Abrar. Nisel menghampirinya dan berkata, "Sendirian saja Riz, ke mana Abang Abrar?"
"Sepertinya sedang ada telepon penting," jawab Riz, memberikan kursi agar Nisel duduk di dekatnya.
"Aku bingung, bagaimana Beeva bisa melupakanmu dan maaf aku belum bisa membujuknya bicara denganmu. Nanti aku coba lagi," sahut Nisel. Riz mengangguk mengerti.
"Tidak apa-apa, Nis. Sekarang dia di mana?" selidik Riz.
"Menemani Ama, sepertinya di kamar." Riz mengangguk pelan, berusaha mengerti.
"Ama memang sedang membutuhkannya. Masih banyak waktu, Nisel. Terima kasih," ucap Riz dengan senyum
"Sama-sama. Aku tinggal dulu kalau begitu," Nisel beranjak meninggalkan tenda, menyisakan sepotong senyum untuk Riz.
"Iya Nis."
‘Aku memang harus bersabar dan mengulang kembali semuanya dari awal. Beeva benar-benar tidak mau mengingat kenangan kami lagi,’ batin Riz.
Di kamar Ama
"Bee, itu kamu?" Ama berusaha bangkit dari tidurnya, menatap Beeva yang menutup pintu dengan sangat pelan.
"Tidak usah Ama, tetaplah berbaring. Bee akan menemani Ama di sini," Beeva menahan pundak ibunya dan naik ke atas tempat tidur dan berbaring di samping Ibu Arsy.
"Tidurlah," Arsy mengelus lembut bahu dan kemudian rambut legam putrinya. "Kamu pasti sangat lelah."
"Nanti saja Ama, Bee tidak lelah. Ama yang harus istirahat, setelah hari yang sangat panjang," sahut Beeva, mengambil tangan ibunya dan membawa tangan halus itu ke pipinya. Memberi kecupan lembut di punggung tangan yang mulai keriput itu.
"Justru Ama yang sudah lelah merawat Abak selama ini," lirihnya sambil memeluk pinggang ibunya dan menyusupkan wajah dekat dengan lengan sang bunda.
"Abak mu adalah laki-laki yang paling pengertian. Dia tidak pernah rewel dan menyusahkan Ama selama sakit. Tapi memang satu bulan terakhir, Abak terlihat semakin kurus dan nafsu makannya berkurang. Tapi dia tidak mau terlihat lemah. Ia tetap berusaha untuk merawat kebunnya," suara Arsy bergetar mengutarakan itu. Air mata yang sedari kemarin berusaha ia tahan mulai turun satu-satu.
Beeva mendengarkan dengan air mata yang mulai berlinangan tetes demi tetes, semakin lama bahunya terguncang karena isak tangis.
"Abak begitu merindukan kepulanganmu," Arsy memeluknya erat dan membelai rambutnya lembut.
"Kenapa Ama tidak memberitahu Bee kalau Abak kurang nafsu makan biar Bee bisa pulang lebih awal?" tanya Beeva dengan suara yang lirih di antara isakan kecilnya.
"Ama dan Abak tidak mau kamu menghabiskan uang untuk pulang karena kamu juga harus menanggung biaya kuliahmu sendiri," Arsy mengelus lengan Beeva dengan lembut mengetahui puterinya menangis lagi.
"Bee tidak bisa bicara untuk terakhir kalinya dengan Abak. Bee sangat menyesal dan sedih Ama," suara isakan kecil mulai menjadi tergugu karena rasa sakit ditinggal itu bagaikan luka baru yang masih menganga dan belum ada penawarnya.
"Jangan berpikir untuk menyalahkan dirimu sendiri. Abak memang sudah sakit jadi ketika Allah memanggilnya kembali ke ribaan-Nya, Abak sudah sangat siap dan dia sudah bahagia sekarang karena tidak akan merasakan sakit di tubuhnya lagi."
"Apakah ada pesan dari Abak yang terakhir selain tentang kuliah Beeva?"
"Abak minta agar kalian bertiga saling mendukung satu dengan yang lain. Abrar juga sebagai anak laki-laki satu-satunya harus bisa menjaga Nona dan Bee. Juga Abrar Abangmu sebentar lagi sudah harus meminang seseorang orang sehingga harus serius kerja dan berhenti berhura-hura."
"Bee minta maaf Ama, untuk semua perilaku dan perkataan dari Bee yang membuat Ama dan Abak tidak tenang dan terus memikirkan masa depan Bee."
"Abak dan Ama sangat mencintai kalian bertiga. Walau pun kami tidak bisa menunjukkan semua rupa di bumi ini seperti yang diberikan oleh keluarga lain pada anak-anaknya, tapi memiliki kalian sudah merupakan anugerah terindah yang Abak dan Ama miliki," kalimat itu membuat Beeva semakin mempererat pelukannya sambil berusaha mengurangi tangisnya.
"Ama punya sesuatu yang akan membuktikan rasa cinta Ama dan Abak pada kalian semua sebagai anak-anak kami. Sebentar Ama ambil dulu," Ibu Arsy turun dari tempat tidur dan melangkah menuju lemari usang di sudut kamar, mengambil sesuatu dari dalamnya.
"Bee ke belakang sebentar Ama," Beeva pamit seraya turun dari ranjang dan keluar untuk ke toilet.
Bersamaan dengan itu Riz juga berjalan dari arah yang berlawanan sehingga mereka berpapasan di lorong menuju kamar mandi.
"Kamu masih belum tidur?" sapa Riz pada Beeva sambil menatap wajah manis yang begitu dirindukannya selama ini.
"Tadinya sudah, tapi harus memenuhi panggilan alam," balas Beeva tanpa menatap pemuda di sampingnya.
"Mimpikan aku ya, sama seperti kisah kita di SMA di mana hampir setiap minggu kamu selalu bercerita telah memimpikanku jika kita bertemu di sekolah keesokan paginya," ucapnya lembut serta berlalu meninggalkan Beeva yang masih mencerna maksud dari perkataan Riz barusan.
*Bersambung*