Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Awal Perjuangan

Bab 1 Awal Perjuangan

Senja itu warnet terlihat sepi dari pengunjung tapi penjaganya masih setia menunggui satu orang pelanggan dan berharap mungkin akan mampir lebih banyak orang lagi sambil ia berkutat dengan kameranya.

Beeva itulah sapaannya. Seorang gadis melayu tulen peranakan Jawa dan Minangkabau yang sedang menempuh studinya di kota pelajar Yogyakarta melalui jalur beasiswa. Tubuhnya ramping tapi sedikit berotot setinggi 165 cm. Rambutnya pendek potongan Demi Moore. Wajah oval dengan hidung mungil mancung dilengkapi bibir tipis yang murah senyum pada orang asing apalagi orang yang sudah dikenalnya.

Beeva awalnya bercita-cita untuk menjadi seorang arsitek namun akhirnya ia harus puas sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Sipil yang sudah berada di semester akhir. Selain mengandalkan uang beasiswa yang ia peroleh, Beeva juga harus bisa membiayai kuliahnya sendiri karena ia tidak mungkin meminta uang dari keluarganya mengingat ayahnya sedang sakit parah.

Selain menjadi penjaga warnet, keseharian Beeva juga disibukkan sebagai fotografer sehingga ada pemasukan lain yang membantunya bertahan hidup sambil membereskan kuliahnya. Seperti saat ini, ia sedang membersihkan lensa kamera setelah ia sempat pakai seminggu sebelumnya menemani kenalan temannya dari Jakarta yang ingin mengunjungi beberapa lokasi wisata di kota Yogya.

"Beeva, kamu itu ya, yang diurusi selalu kamera. Ini, dari tadi ponselmu berdering makanya aku bawa ke sini takutnya ada berita yang penting. Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali panggilan."

"Oh, ya ampun Sri, jadinya merepotkan kamu harus diantar ke sini. Ponselku memang lagi kehabisan daya makanya kutinggal tadi."

"Ya sudah, aku kembali ke kos ya."

"Sekali lagi terima kasih ya Sri. Maaf selalu merepotkan," Beeva membekali Sri dengan senyum super manisnya yang selalu membuat sang teman tak berdaya.

"Itulah gunanya teman Va," Sri balas tersenyum sembari bergegas memasuki gang menuju rumah kontrakan mereka yang berjarak lima puluh meter jauhnya dari warnet.

Sri adalah teman satu rumah Beeva. Mereka menyewa sebuah rumah dengan beberapa kamar sehingga saling berbagi pengeluaran biaya tinggal selama studi. Walau pun tidak dari jurusan yang sama tapi mereka cukup akrab dan saling membantu di daerah perantauan. Beeva termasuk beruntung bisa mendapatkan tempat kerja yang tidak jauh dari kosnya sehingga tidak ada lagi ongkos transportasi.

Ia sedang merapikan kameranya yang tadi dibersihkan kembali ke dalam sarungnya, ketika ponselnya kembali berdering.

"Halo, selamat sore."

"Bisa bicara dengan Beeva?"

"Iya, saya sendiri."

"Dari tadi Abang meneleponmu, kenapa tidak dijawab?"

"Sudah diganti lagi nomor ponsel Abang ini,"

"Dari tadi Abang meneleponmu, mengapa tidak dijawab?"

"Maaf, Bang, ponselnya sedang diisi daya di tempat kos, Bee sedang bekerja di warnet sekarang," Beeva menggaruk kepalanya sendiri, karena tahu kakaknya akan mengomel panjang.

"Kau pulanglah! Abak sudah bertanya terus. Ama juga selalu menangis melihat keadaan Abak semakin parah. Kau pulanglah dulu!"

"Iya Bang, Bee memesan tiket dulu."

"Benar kau pulang ya, kami manunggu di rumah!" suara Abrar terdengar tak bisa dibantah di ujung sana.

Lalu percakapan terputus. Memang sudah lama Beeva tidak pulang ke kampung halamannya selain karena jarak jempuh dan biaya juga karena Beeva punya hobi unik mengisi waktu luang yaitu berpindah dari satu gunung ke gunung yang lain sekaligus melancarkan kerjanya sebagai seorang fotografer, ibarat kata, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Dengan berat hati, Beeva fokus pada komputer di depannya dan mulai mengecek penerbangan murah rute Yogyakarta ke kota Padang. Setidaknya ia butuh tiba di Bandara Internasional Minangkabau sebelum malam karena ia harus melanjutkan perjalanan darat menuju Bukittinggi, kampung halamannya.

Malam itu Beeva meninggalkan warnet seperti biasa pada pukul sepuluh malam setelah temannya yang bertugas jaga setelahnya tiba karena pelayanan yang mereka sediakan selama dua puluh empat jam.

Sesampainya di kamar kosnya Beeva berbenah untuk mempersiapkan diri pulang ke kampung halamannya dengan penerbangan pukul sepuluh pagi keesokan harinya. Ia mengirim pesan untuk Sri tetangga kamarnya tentang rencana kepulangannya sebelum ia terlelap karena mereka pasti tidak akan berjumpa lagi. Sri selalu tahu dimana kunci kamar Beeva tersimpan sehingga mereka bisa saling membantu jika ada sesuatu yang perlu diambil saat salah satu dari mereka tidak menginap di kos.

Pagi menjemput dan Beeva baru terjaga di pukul delapan pagi membuatnya segera bergegas menuju Bandara Internasional Adisutjipto. Karena waktu kedatangannya yang begitu singkat, Beeva menjadi penumpang terakhir yang masuk ke dalam pesawat dan pintu di belakangnya langsung tertutup. Pesawatnya lepas landas meninggalkan kota Yogya tepat sesuai jadwal di pukul sepuluh. Sebelum turun dari taksi ia sudah mengirimkan pesan Abrar kalau ia dalam perjalanan pulang tapi akan transit di Jakarta lalu ponsel ia matikan dan dimasukkan dalam ranselnya karena akan melalui proses pemeriksaan.

Penerbangan ke Padang menempuh kurang lebih empat jam perjalanan dan akan melewati ibu kota negara yaitu Jakarta. Satu setengah jam di atas udara, pesawat yang Beeva tumpangi akhirnya transit selama tiga puluh menit di Bandara Soekarno Hatta.

Selama menjemput penumpang dari Jakarta, mereka tidak turun dari pesawat. Beeva menggunakan kesempatan untuk menyalakan ponselnya sebentar meski ia sadari seharusnya tidak boleh dilakukan selama proses pengisian bahan bakar pesawat. Tetapi ia perlu mengetahui kabar dari Abrar.

Saat itulah jantung Beeva hampir berhenti berdetak membaca pesan balasan Udanya yang masuk bertubi-tubi menyampaikan kalau ayah tercinta telah dipanggil Yang Kuasa sejak pukul setengah sembilan pagi. Dalam diam dan jantung yang berdegup lebih cepat, Beeva menonaktifkan ponselnya lalu merenung dalam kesendiriannya. Menghela nafas dan mengisi paru-parunya dengan udara penuh-penuh, ia tergugu kala semua kenangan kebersamaan dengan Anwar, ayahnya menguak tanpa dibendung seiring dengan tetesan dari matanya.

Dadanya begitu sesak menahan agar suara isakannya tidak terdengar oleh penumpang di sekilingnya. Ia beruntung posisi duduknya dekat jendela sehingga tak akan ada yang tahu derasnya airmata yang membasahi kedua pipinya. Sebelum turun dari pesawat, Beeva mampir membasuh wajahnya di kamar mandi untuk menyembunyikan kesedihannya selama dua jam lebih meratap dalam diam selama mengudara.

Dengan berusaha tegar menekan segala rasa perih berduka, Beeva melangkah keluar dari Bandara Internasional Minangkabau menuju parkiran angkutan umum yang bisa membawanya pulang ke kampung halaman. Indahnya pemandangan alam selama tiga jam perjalanan darat yang harus ia tempuh termasuk melewati air terjun Lembah Anai yang terkenal sebagai tujuan wisata satu nusantara, tidak mampu mengobati rasa sakit dan pilu ditinggal oleh orang yang sangat dicintai dan diseganinya. Ada lubang besar yang menganga di dalam lubuk hatinya.

Beeva tiba di rumahnya menjelang pemakaman sehingga ia tidak sempat lagi mendengar suara dari ayahnya bahkan untuk yang terakhir kalinya. Tergugu, gadis itu bersimpuh di hadapan jenazah ayahnya.

"Menangislah, tapi sekedarnya saja. Jangan sampai air matamu memberatkan Abak di sana," bisik Abrar. Beberapa mata menatap keduanya dengan haru, karena mereka tahu Beeva sudah lama tak bertemu ayahnya.

Pada malam hari setelah acara pemakaman digelar, ketika semua tamu sudah pamit undur diri, hanya tersisa keluarga yang berkumpul bersama, saling menguatkan. Beeva duduk di samping ibunya dan menggenggam erat tangannya untuk berbagi kesedihan dan saling menguatkan. Kakaknya Abrar yang biasa di panggil Abang juga duduk tak jauh dari mereka dengan beberapa sahabatnya yang masih belum pulang.

"Ama, maaf, Bee tidak pulang selama ini untuk membantu merawat Abak".

"Tidak apa-apa nak. Abak kau sudah bahagia sekarang, ia tidak sakit lagi," lirih ibunya.

"Beeva, sebelum pergi, Apak mengatakan banyak hal tentang kau, tapi ada pesan terakhir dari Abak yang Abang rasa sangat penting untuk kau segerakan," ucap Abrar mendekati kedua wanita yang menjadi tanggung jawabnya sekarang.

"Iya Bang," menatap abangnya tanpa melepas tangannya dari ibunya.

"Abak ingin agar kau fokus menyelesaikan kuliahmu dan berhenti keluyuran. Seperti yang selalu Mamak katakan kau terlalu banyak mendaki gunung sehingga kuliahmu terbengkalai."

"Iya, Bang. Ini sudah di tahun terakhir dan sedang berusaha menyelesaikan skripsi."

"Kito indak mau tahu. Kau harus secepatnya selesaikan kuliahmu secepat mungkin seperti pesan Abak."

"Kau dengarkan kata Abangmu. Ama juga sudah tidak bisa membantu biaya kuliahmu lagi. Kamu harus berusaha sendiri."

"Iya Ama."

Malam itu, Beeva naik ke tempat tidur dengan pikiran yang penuh dengan kekhawatiran akan nasibnya ke depan. Tabungannya hanya cukup untuk penerbangan kembali ke Jogya dan ia harus hidup lebih hemat lagi untuk bisa bertahan dan menyelesaikan kuliahnya seperti permintaan terakhir sang ayah.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel