Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Mencari Kos Baru

Bab 13 Mencari Kos Baru

Bis terus melaju dan keduanya masih tetap hening.

“Bee, perjalanan kita masih cukup jauh. Apa kamu tidak ingin mulai cerita bagaimana bisa tiba di sini?” tanya Riz memecah keheningan di antara mereka.

‘Kamu masih menunjukkan sikap menolakku. Sampai kapan pun, tetap kau akan ku kejar Bee,’ batin Riz tidak bosan-bosannya menatap mantan kekasih yang telah melupakannya.

“Tapi kamu jangan menatapku seperti itu. Aku merasa tidak nyaman, seperti sedang ditelanjangi,” balas Beeva lirih, malu kalau didengar oleh penumpang yang ada di samping kiri kanan mereka.

“Oke. Aku hanya perlu mendekatkan telingaku karena suaramu terlalu pelan,” ucap Riz diikuti dengan mendekatkan telinga kirinya pada Beeva dan menatap ke tempat lain selain wajahnya Beeva.

“Aku sudah dua malam di sini. Pertama kali menginap di rumah teman perempuan yang bertemu di pesawat. Keesokan paginya aku berangkat untuk mengikuti undangan wawancara kerja di sebuah perusahaan konstruksi. Aku sudah mengirim lamaran kerja dari Yogya dan diterima. Mereka memintaku untuk tes lisan di Jakarta, kemarin pagi jam sepuluh. Namun, bis yang aku tumpangi mogok. Aku pindah naik taksi tapi sampai di kantor itu mereka sudah tidak mau memberikan kesempatan lagi karena aku telah terlambat datang. Akhirnya dengan kecewa aku keluar dari gedung tempat perusahaan itu berada. Karena haus, aku mampir di warung kecil untuk membeli air. Saat hendak membayar, aku baru sadar kalau dompetku sudah tidak ada lagi di dalam ransel. Aku memang terburu-buru dan sempat berlari saat turun dari taksi sehingga kemungkinan jatuh di jalan atau di dalam taksi.”

“Ponsel kamu juga ikut hilang?” selidik Riz menatap mata Bee lalu memandang ke tempat lain karena Bee langsung menunduk.

‘Kenapa dia tidak mau memandang mataku lama-lama? Apa mungkin dia bisa rasakan keinginanku yang telah terpendam sejak jumpa kembali dengannya, setelah sekian tahun tidak saling memberi kabar?’ batin Riz.

“Ada di dalam tas tapi tidak bisa kupakai karena kehabisan daya.”

“Lalu semalam kamu menginap di mana?” tapi pertanyaan Riz tertunda jawabannya, kondektur bis kotanya mulai menjerit ala demonstran.

“Tanah Abang! Tanah Abang! Tanah Abang!”

“Kita harus turun di sini. Ayo!” Riz memegang pergelangan tangan kiri Beeva erat agar tidak terlepas, namun dengan penuh perasaan agar tidak menyakiti gadis itu. Ya, Riz masih bekerja di pusat grosir Tanah Abang bersama sepupunya yang memiliki beberapa stand di sana.

“Jadi, kamu semalam tidur di mana?” tanya Riz begitu mereka sudah masuk ke kawasan Tanah Abang dan melangkah menuju toko yang akan dia jaga, masih memegang tangan Beeva.

“Dengan seorang anak pemulung botol plastik bekas di bawah kolong jembatan,” jawab Bee pelan.

Riz menghentikan langkah dan menatap Beeva tak percaya. Tanpa izin ia langsung merangkul Beeva masuk dalam dekapannya.

“Kenapa kamu tidak mencari cara untuk menghidupkan ponselmu untuk bisa mengontak aku?” ucapnya dengan dagu bertumpu di puncak kepala Beeva.

Beeva yang tidak bisa mengelak dari aksi sigap Riz hanya diam terpaku mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Sekilas kenangan melesat di kepalanya, halaman belakang sekolah, di bawah pohon evergreen, ia juga pernah dipeluk seperti sekarang, mereka masih berseragam SMA.

Karena tidak ada reaksi atau pun jawaban dari Beeva, pria itu merenggangkan pelukannya. “Kamu sudah sarapan?” lanjut Riz dengan wajah sedikit cemas.

Beeva menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Riz.

“Aku antar kamu ke warung langgananku. Makan apa pun yang kamu mau. Kamu tunggu aku di sana sambil mengecas ponselmu. Aku kenal baik dengan pemiliknya,” menggamit jemari Beeva dan menariknya untuk berjalan sedikit lebih cepat.

Riz tidak bisa membayangkan seperti apa pengalaman tidur di bawah kolong jembatan. Membayangkannya saja ia sudah tidak tega apalagi melihatnya sendiri. Riz merasa telah gagal melindungi Beeva.

Mereka tiba di warung seperti perkataan Riz. Riz mengajak Beeva duduk di salah satu sudut yang ada colokan listrik.

“Aku bilang ke pemilik warung dulu.”

“Riz, boleh aku pinjam ponselmu, sebentar saja, untuk bicara dengan Sri,” pinta Beeva dengan wajah penuh harap.

Riz mengeluarkan ponselnya dan tak lupa membuka kunci layarnya. Beeva dengan segera membuka ranselnya dan mengecas ponselnya lalu mencari nomor kontak Sri.

Beeva mengirimkan pesan ke Sri agar sahabatnya itu bisa menghubungi ponselnya lagi kalau ia sudah senggang. Tadinya ia ingin menelepon Sri, tapi ia tidak mungkin meminjam ponsel Riz untuk waktu yang lama karena pria itu harus kerja.

Tak lupa Beeva mengatakan kalau nomor ponsel yang ia pakai milik Riz sehingga Sri bisa langsung hubungi nomornya saja tanpa mengganggu Riz. Tanpa Beeva sadari, Riz sudah ada di belakangnya.

“Sarapan dulu. Jam makan siang aku menyusul ke sini. Jangan kemana-mana dan jangan bicara dengan orang asing,” tegas Riz mengacak rambut Beeva lembut.

Kembali sekelebat memori melintas di kepala Beeva, seorang anak laki-laki berseragam SMA mengusap kepalanya saat mereka sedang duduk di dalam bis yang melaju.

“Oke. Selamat bekerja,” sahut Beeva menatap punggung Riz yang sudah menghilang dari pandangannya.

Beeva mengusap wajahnya tidak percaya dengan semua yang barusan terjadi. Ia bersyukur untuk kesempatan tak terduganya bertemu dengan Riz. Namun, ia juga merasakan kalau ia tidak akan dengan mudah mempercayai semua perkataan Riz. Tak lama kemudian seorang pelayan menghampirinya dengan menu yang sudah dipesankan oleh Riz.

Beeva menanyakan letak toilet untuk ia bisa mencuci tangannya. Beeva menitipkan ponselnya pada pelayan untuk pamit ke belakang sebentar dengan membawa ranselnya. Selain mencuci tangan, Beeva juga membilas ulang wajahnya sehingga tidak terkesan kuyu. Lalu ia kembali dan mulai menyantap sarapannya.

Riz menepati janjinya dan kembali menemui Beeva tepat jam dua belas. Karena Beeva baru selesai sarapan dua jam menjelang makan siang sehingga ia tidak bisa menemani Riz makan siang.

“Aku butuh mencari kos hari ini Riz, kamu punya kenalan?” tanya Beeva, mengamati Riz yang tengah makan.

“Kenapa kamu tidak mau tinggal bersama aku saja? Uangnya bisa kamu gunakan untuk yang lain.”

“Astagfirullah Riz. Kita ini lagi di tanah rantau, jaga nama baik keluarga. Apa kata orang, perempuan dan laki-laki tanpa status jelas tinggal sekamar kos,” protes Beeva.

“Kalau begitu kita halalkan. Persoalan beres,” balas Riz memasukkan suapannya yang terakhir.

“Aku malas sama kamu kalau begini sikap kamu,” kata Beeva merengutkan wajahnya. Riz tertawa melihat reaksinya.

“Dilipat bibirnya,” ia terkekeh. “Aku sudah selesai. Ayo, aku temani mencari kos,” sambungnya, berdiri dari kursinya.

Beeva memasukkan kembali ponsel dan casnya lalu mengekori langkah Riz yang melakukan pembayaran terlebih dahulu sebelum mereka pergi. Beeva menanti Riz yang masih ngobrol serius dengan pemilik warung. Rupanya Riz sedang meminta pendapat soal tempat kos puteri yang dekat dengan fasilitas umum dan harga terjangkau.

Riz mengajak Beeva ke tempat parkir taksi yang biasanya terletak di beberapa titik dari kawasan Tanah Abang.

“Kita akan coba cari ke daerah Kebayoran Lama, dekat pasarnya,” ucap Riz. Mereka lalu naik salah satu taksi dan Riz menyebutkan tujuan mereka.

“Tidak usah yang terlalu besar kamarnya. Seluas yang di Yogya atau lebih kecil sedikit juga tidak apa-apa. Tapi kalau bisa sudah ada kasurnya biar bisa langsung tidur malam ini,” ucap Beeva membuka percakapan mereka saat sudah di atas taksi. Mereka berdua duduk di jok belakang.

“Biasanya mereka minta bayar di depan. Kamu bisa pakai uangku,” balas Riz.

“Ya ampun sampai lupa,” seru Beeva sambil menepuk dahinya. Setelah mengecas ponselnya tadi Beeva belum menyalakannya lagi. Pasti Sri sudah menghubunginya berulang kali dan ia tidak meresponnya.

Beeva menunggu sampai ponselnya aktif sambil berkata, “Terima kasih Riz. Nanti aku ganti setelah transferan uangku masuk ke rekening.”

“Kalau kamu mau terima tawaranku untuk menginap sementara di kosku, kita kan punya lebih banyak waktu untuk mencari kos yang dekat dengan tempat kerjamu setelah kamu dapat pekerjaan yang sesuai,” kata Riz masih mencoba membujuk Beeva.

“Aku yakin kita akan dapat kos malam ini. Kamu juga harus yakin biar pekerjaan kita cepat beres.”

Suara Eric Martin mengalun dari ponselnya, mendendangnya Where the Wind Blows. “Halo Sri, maaf, ponselku baru dinyalakan,” ucap Beeva begitu mendengar suara temannya.

“Tidak apa-apa. Aku sudah terima pesanmu untuk mengirimkan uangmu yang masih tersisa di sini,” balas Sri.

“Tolong dikirim secepatnya ya Sri. Lalu barang-barangku bagaimana?”

“Aku titip ke tempat Nisel dulu. Nanti kalian bisa atur kemudian untuk pengiriman ke Jakarta.”

“Baiklah. Aku tunggu kabar soal pengiriman tadi. Maaf selalu merepotkanmu. Terima kasih banyak Sri.”

“Hmm, seperti sama orang lain saja,” tutup Sri.

Perjalanan mereka akhirnya sampai di tujuan. Riz menuntun Beeva untuk mencari kos baru yang bisa Beeva tempati malam itu juga.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel