Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Malaikat Berupa Riz

Bab 12 Malaikat Berupa Riz

Dinginnya cuaca dini hari membangunkan Beeva. Samar-samar di antara cahaya pagi yang belum terang benar, Beeva tidak lagi mendapati Irma di sampingnya. Kardus yang dipakai Irma semalam juga sudah tidak terlihat lagi. Pasti sudah dilipat kembali pikir Beeva.

Dengan malu hati, Beeva juga ikut bangun dan merapikan kardusnya. Tapi ia tidak ingin merusak barang berharga itu sehingga saat ia bingung cara melipatnya kembali tanpa membuat kardus itu robek, Beeva meletakkannya dengan rapi dan akan minta Irma untuk mengajarinya nanti kalau sudah lebih terang.

Beeva bangkit berdiri dan mulai berjalan dengan bersedekap untuk mencari keberadaan Irma.

Ia tidak menemukan gadis itu di sekitarnya. Ia melewati beberapa tumpukan kardus dengan para penghuninya yang masih bersembunyi dengan nyaman meraih mimpi mereka masing-masing.

Beeva kembali ke tempat Irma dan mengambil ranselnya untuk didekap di bagian depan tubuhnya untuk menghalau udara pagi yang menusuk. Beeva mencoba mencari Irma di ujung jembatan karena ia tidak melihat jerigen putih saat ia mengambil ranselnya tadi. Ia menduga Irma sedang mengambil air bersih.

Setelah berjalan sekian langkah akhirnya Beeva melihat bayangan seseorang sedang duduk melakukan sesuatu.

“Irma, kamukah itu?” teriak Beeva saat ia mulai mendekati sosok yang hanya terlihat punggungnya saja.

“Pagi Kak. Sudah bangun? Masih belum pagi lho, adzan pagi saja belum berkumandang Kak.”

“Kamu kenapa tidak membangunkan Kakak? Kakak bisa membantumu,” Beeva duduk di samping Irma.

“Tidak apa-apa Kak, ini sudah jadi rutinitas aku.”

“Kalau kita mau mengeluarkan sisa kotoran dari tubuh kemana?” tanya Beeva lagi.

“Di balik tembok jembatan itu ada hutan kecil Kak. Ada bilik darurat berdindingkan karung plastik setinggi leher yang dipakai sebagai kamar mandi sekaligus WC. Kalau mau ke sana, hati-hati ya Kak karena lubang pembuangannya tidak ada penutup.”

“Nanti saja kalau begitu, Kalau sudah lebih terang cahayanya. Dari pada Kakak celaka. Masih bisa dikendalikan,” kilah Beeva.

‘Sebaiknya aku tidak usah makan atau minum lagi. Setelah dari sini aku bisa berjalan mencari tempat pengisian bahan bakar. Semoga tidak ada petugas pemungut bayaran pagi-pagi begini,’ batin Beeva.

“Sudah penuh Kak. Ayo kita buat teh untuk Kakak,” ucap Irma menenteng jerigen putih ukuran lima liter tersebut.

“Sebenarnya Kakak sudah mau pamit untuk mencari alamat rumah sepupu Kakak yang juga tinggal di Jakarta. Kamu mau kemana pagi ini?”

“Memulung, Kak. Ini aku sudah kesiangan. Biasanya aku keluar dari jembatan itu masih gelap dan saat cahaya pagi seperti sekarang, aku sudah tiba di jalan raya.

‘Syukurlah. Dengan begitu aku juga bisa lebih cepat menemukan kamar mandi,’ batin Beeva.

“Ya ampun. Kalau begitu ayo kita berangkat. Kakak masih kenyang dan tidak biasa minum pagi juga. Yang paling sering itu langsung mencari nasi kuning, tidak biasa sarapan minuman panas atau makanan ringan seperti kue,” ujar Beeva.

“Baiklah kalau begitu Kak. Kita simpan jerigen dan aku ambil karung yang baru dulu.

Beeva menyempatkan diri untuk bertanya pada Irma, cara melipat kardusnya agar ringkas tempat sekaligus tidak robek. Setelah itu mereka berjalan menuju jalan utama. Beeva dan Irma akhirnya berpisah di tempat mereka bertemu kemarin.

Irma mengarahkan Beeva untuk menyusuri jalan yang menuju tempat pengisian bahan bakar terdekat. Beeva mencoba menghafal letak tempat dan arah ke jembatan di mana ia baru saja menghabiskan satu malam bersama seorang malaikat kecil yang dikirimkan Allah untuknya.

Di dalam hatinya Beeva berjanji untuk kembali ke sana untuk menemui Irma suatu saat nanti.

Beeva setengah berlari menyusuri jalan raya seperti pertunjuk dari Irma. Ia sudah harus memenuhi panggilan biologisnya dan masih belum terlihat gedung apa pun di depannya.

Untunglah ia punya pengalaman mendaki gunung sehingga ia mengatur napasnya dengan baik. Tak lama kemudian ia menemukan gedung pertamina yang dicarinya dari tadi. Lisa langsung menyelesaikan niatnya dan merasa lebih lega sekarang.

Dengan berbekalkan ingatannya saja, Beeva berusaha mencari alamat dari sepupunya. Ia benar-benar frustasi karena tidak mempunyai uang sepeser pun untuk membantunya menjangkau tempat yang ia inginkan dengan lebih cepat.

Karena ia mulai berjalan dari pagi hari sehingga jalanan masih belum terlalu padat dan udara yang ia hirup masih terasa segar. Begitu matahari mulai muncul menjelang pukul sembilan atau sepuluh pagi, Beeva mulai merasakan lelah.

Ia terus melangkah untuk mencari tempat umum yang bisa dijadikan tempat berteduh tanpa harus diteriaki aneh-aneh oleh pemilik gedung. Beeva akhirnya berhenti di sebuah halte. Ia memilih untuk duduk di bangku paling ujung sehingga tidak menganggu penghuni halte lainnya.

Belum lagi bau badannya yang sudah tidak karuan karena sudah berkeringat. Saat ke kamar mandi pagi tadi, Beeva sekalian mandi karena sebagai pendaki ia tidak pernah alpa untuk membawa kantong peralatan pribadi di ranselnya. Walau pun sudah mandi tapi tetap saja badannya berkeringat karena telah menempuh perjalanan lumayan jauh.

Saat nafasnya sudah kembali teratur, Beeva mulai berpikir untuk melakukan sesuatu untuk bisa mendatangkan uang. Ia sudah terlanjur sampai di Jakarta sehingga pantang untuk mundur. Sudah terlanjur basah, maka kepalang mandi sekalian. Ia bertekad untuk mencari kerja di ibu kota negara ini.

Sedang merenung sendiri, tak dinyana, dari samping ia melihat sosok seseorang yang mirip dengan seseorang yang ia kenal. Sosok laki-laki tersebut baru tiba, dan berdiri membelakanginya.

‘Itu seperti Riz. Tapi bagaimana kalau bukan, pasti sangat memalukan. Tapi kalau dia memang Riz maka ini memang jalan Allah berikutnya untuk membantuku yang sedang dalam kesulitan besar,” batin Beeva.

“Riz! Riz!” teriak Beeva tanpa malu-malu. Ia tidak punya pilihan lain saat itu. Lebih baik malu dari pada jadi gembel yang sesungguhnya dan terlunta-lunta di kota besar itu untuk satu malam lagi.

Pria yang merasa namanya dipanggil seseorang sontak menoleh dan terkesiap melihat sosok perempuan yang sudah berdiri di depannya.

“Beeva?”

“Benar kamu Riz. Terima kasih ya Allah,” ujar Beeva dengan ekspresi lega.

Beeva menyembunyikan rasa harunya agar matanya tidak berkaca-kaca. Ia memejamkan matanya dan menengadah ke langit sambil tersenyum memohon syukur tak terhingga untuk Sang Pencipta. Secepatnya Beeva menyadarkan diri dan menatap Riz yang masih juga menatap lekat pada Beeva tidak percaya kalau mereka akan dipertemukan secara acak seperti pagi ini.

“Kamu dari mana dan mau kemana?” tanya Riz tidak sabar sambil meraih bahu Beeva lembut untuk mereka menepi agar bisa berbicara lebih leluasa.

Dengan berdiri, saling berhadapan Beeva mencoba merangkai kata yang masuk akal bagi Riz.

“Ceritanya panjang dan tidak akan selesai jika aku katakan sekarang. Kamu sendiri, sekarang mau ke mana?”

“Aku harus ke tempat kerja sekarang. Bisnya sebentar lagi datang,” ucap Riz melirik jam tangannya.

“Boleh aku ikut denganmu? Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu. Aku hanya akan diam dan menantimu sampai selesai bekerja,” ujar Beeva.

Di saat yang bersamaan bis yang Riz tunggu sudah tiba. Pria itu akhirnya mengangguk dan menggamit tangan Beeva untuk ikut bersamanya melompat naik ke atas bis sebelum mereka ditinggal.

Karena tidak ada tempat duduk yang kosong, Riz menggiring Beeva untuk bersandar di dinding bis antara palang pintu dan tempat duduk paling ujung. Riz mengunci pergerakan Beeva sekaligus melindunginya agar tidak bersentuhan dengan penumpang lainnya yang juga sama-sama sedang berdiri, termasuk menjauhkan Beeva dari para kaum adam.

“Jangan terlalu rapat, Riz. Aku berkeringat dan bau,” lirih Beeva mendapati Riz begitu posesif pada dirinya. Mereka berdiri berhadapan. Tangan kiri Riz menggenggam erat gantungan plastik pada besi palang di bagian atas sedang tangan kanannya menekan dinding bis di belakang Beeva sehingga tubuh mereka benar-benar dekat.

“Kamu selalu cantik untukku, dalam keadaan apa pun,” balas Riz lembut.

Wajah Beeva memanas mendengar rayuan Riz dan untuk menyembunyikan rasa malunya, Beeva menarik ranselnya dan memasangnya di bagian depan untuk memberikan sekat di antara mereka.

Apa pun cara yang Beeva pakai, kalau ada goncangan sedikit saja maka Riz akan dengan mudah mendekap Beeva untuk alasan keselamatan. Sedangkan Beeva tidak perlu bertumpu pada apa pun karena punggungnya menempel erat ke dinding bis. Apabila bisa direm tiba-tiba, maka ia akan terjungkal ke dalam dekapan Riz, karena sisi kiri dan kanannya sudah dipalang rapat oleh tubuh Riz.

“Sepulang dari kerja, kamu ikut ke kosan ku ya?” bisik Riz di telinga Beeva.

“Kita bicarakan nanti,” balas Beeva setelah sebelumnya menggeleng-gelengkan kepalanya.

‘Aku tidak bisa Riz. Aku ikut kamu kali ini juga karena aku terdesak. Entah mengapa, aku takut berduaan denganmu dalam waktu yang lama,’ batin Beeva.

Riz menghembuskan nafas panjang lalu membelai pipi Beeva sekali dengan jemari tangan kanannya sambil berkata lembut, “Oke, kita bicarakan nanti!” lalu kembali bertumpu pada dinding bisa seperti posisinya semula.

Mata keduanya masih saling menatap dan Beeva akhirnya memutuskan untuk memandang ke tempat lain.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel