Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Budi Baik Irma

Bab 11 Budi Baik Irma

Beeva mengamati seorang gadis kecil, tapi memikul karung sangat besar berisi botol bekas minuman, yang mendekatinya. Tampangnya yang kumuh (bertolak belakang dengan semangatnya ketika menggotong segala bawaannya) terlihat sedang menatapnya dengan binar tanda tanya.

“Sore Kak, Aku Irma. Kakak siapa?”

“Sore Irma. Panggil saja Bee.”

“Kak Bee kenapa bisa ada di sini?”

“Kakak sedang bingung. Dari tadi kakak lagi mencari dompet kakak yang hilang.”

“Oh... sudah ketemu?”

“Belum, makanya kakak duduk dulu sebentar.”

“Kakak rumahnya di mana?” gadis kecil itu ikut duduk di samping Beeva.

“Jauh dari sini. Masalahnya, kakak sudah tidak punya uang karena dompet kakak hilang. Jadi sekarang tidak bisa pulang.”

“Kalau begitu kakak ikut aku saja. Rumahku dekat kok dari sini. Bisa jalan kaki.”

“Benar? Tidak apa-apa Kakak ikut ke rumahmu?”

“Iya Kak. Aku tinggal sendiri saja. Ayo, sebelum terlalu malam,” ia bangkit lalu mengambil karungnya.

Beeva hendak membantu Irma membawa barangnya tapi gadis kecil tangguh itu mengatakan kalau bawaannya sangat ringan jadi tidak butuh bantuan. Beeva akhirnya menyandang ranselnya dan mengikuti gadis kecil bernama Irma itu ke sebuah kolong jembatan.

Mengerikan, itu kata pertama yang ada di benaknya. Mereka benar-benar berada di kolong jembatan. Tapi malam itu, Beeva terpaksa tidur di sana bersama si gadis kecil.

Mereka ternyata tidak sendirian, tapi ditemani oleh beberapa orang lainnya.

Irma menuntun Bee melewati sekitar lima tumpukan kardus, dengan jarak kurang lebihnya dua meter antara satu tumpukan kardus dengan tumpukan kardus lainnya. Mereka sampai ke tempat tinggal Irma yang letaknya hampir di ujung kolong jembatan.

“Di sini Irma tinggal Kak. Seadanya saja. Pasti sangat berbeda dengan rumah Kakak. Santai saja Kak. Irma mau siapin makan malam kita,” Irma meletakkan karungnya agak jauh dari kardus yang bertumpuk.

Lalu ia menggelar kardus di atas tanah yang mereka injak sambil berkata, “Kakak istirahat saja.”

Beeva mengamati sekeliling mereka dan berpikir sendiri. Ruang terbuka tanpa sekat apa pun ini sudah dianggap sebagai tempat yang layak untuk tinggal. Tidak ada satu perabotan pun yang terlihat sebagai penanda bahwa ini merupakan sebuah rumah tinggal. Hanya kardus kertas yang menjadi barang berharga sebagai alas duduk dan mungkin alas tidur setiap malam.

Bunyi kendaraan yang hilir mudik membuat Beeva butuh waktu untuk beradaptasi. Beda dengan gadis kecil itu yang langsung fokus pada kerjaan yang ingin ia lakukan.

Beeva termangu melihat kecekatan Irma mengatur tungku batu kecil yang terletak tidak jauh dari tempat Bee duduk di atas kardus bekas. Kurang dari dua menit, terlihat nyala api sudah menyambar ranting kayu dan tumpukan kertas yang menggunung di bagian tengah tungku.

Irma meraih sebuah periuk kecil lalu diletakkan di atas tungku. Lalu ia mengambil sebuah jerigen putih yang terletak tak jauh dari jangkauannya dan dituangkan ke dalam panci menghasilkan suara mendesis karena cairan bertemu dengan wadah panas.

Panci yang telah terisi air itu dibiarkan di atas tungku tentunya sampai mendidih.

“Kamu tinggal sendirian di sini?”

“Iya, Kak,” Irma memberi Beeva sepenggal senyum.

“Sudah berapa lama?”

“Irma lupa Kak. Tapi ini tempat tinggal Irma yang paling lama. Dulu, waktu Irma masih tinggal dengan Ibu, kami sering pindah-pindah.”

“Eh apa ini? Kenapa bergoyang seperti gempa?” seru Bee saat merasakan getaran agak keras sesaat lalu menghilang.

“Hihihi!” kekeh Irma melihat wajah Beeva yang terlihat berkerut.

“Biasa Kak, kalau ada kendaraan berat yang lewat, pasti akan ada getaran seperti tadi,” sambung Irma di ujung tawanya.

Bee mengurut-urut dadanya untuk mengilangkan kecemasannya. Ia menatap Irma yang sedang membuka sebuah lipatan koran di atas kardus dan mengambil sebuah wadah plastik. Dua bungkus mi instan terlihat sudah terbuka dengan bumbunya sudah bertebaran di atas koran.

“Terus ibu kamu sekarang di mana?”

“Sudah pergi dengan ayah yang baru,” sahut Irma sekarang memasukkkan dua bungkus mi tadi ke dalam panci yang masih di atas tungku.

“Kamu tidak takut tinggal sendirian di sini?” selidik Beeva mulai sedikit santai dengan meletakkan dagunya di atas kedua lututnya yang ia lipat.

“Aku tidak sendirian Kak. Ada sekitar tujuh orang lagi yang tinggal di sini. Biasanya kami hanya takut pada tukang razia gelandangan atau pemulung. Kami kan selalu disebut perusak keindahan kota.”

“Kamu tidak sekolah?”

“Waktu sama Ibu, sempat sekolah sampai kelas 3 SD. Tapi sekarang sudah tidak sekolah lagi.”

“Kamu pasti kecewa tidak bisa sekolah lagi. Lalu, kenapa kamu nggak ikut sama ibu kamu biar tetap lanjut sekolahnya?”

“Waktu itu kami pindah karena dirazia jadinya semakin jauh dari sekolahku. Pulang pergi jalan kaki lamanya hampir dua jam. Waktu aku mencari plastik bekas berkurang dan pemasukan untuk Ibu juga berkurang. Belum lagi Ayah yang baru itu jahat. Suka mabuk dan kalau sudah mabuk, aku suka dipukul, jadinya aku lari meninggalkan Ibu,” suaranya terdengar sedikit serak. Beeva menarik nafas.

“Hidup kamu sudah terlanjur keras. Tidak heran, membuatmu jadi tangguh seperti sekarang,” tangannya menggapai kepala gadis kecil itu.

“Irma kadang sedih kalau ingat bisa main dengan teman-teman di sekolah.”

“Iya, kamu memang harusnya punya banyak teman di usia sekarang. Kamu ambil air bersih untuk masak di mana?”

“Di ujung jembatan ini ada pipa air yang bocor. Kalau jerigennya sudah hampir kosong nanti antri menadah air di sana.”

“Kamu tidak ingin kembali ke sekolah?”

“Masih Kak. Tapi susah masuknya karena surat-surat penting juga masih sama Ibu. Lalu aku juga tidak punya seragam.”

“Tapi Kakak salut pada kamu. Kamu itu sangat pemberani. Kamu pernah bertemu orang jahat?”

“Paling sering orang mabuk. Kalau sudah begitu biasanya aku langsung lari sekencang-kencangnya. Akhirnya selesai juga. Ayo kita makan Kak. Kalau matahari sudah terbenam di sini akan sangat gelap dan kita tidak bisa melihat apa-apa.”

Beeva bersabar melihat bagaimana Irma mengajarinya makan tanpa peralatan makan yang layak. Mereka memakai sendok bergantian dan langsung di mangkuk plastik yang dipakai untuk mencampur mi dan semua bumbunya.

“Kamu makan mi seperti ini setiap hari?”

“Kadang-kadang nasi bungkus dengan lauk tempe tahu. Tapi itu kalau memang hasil penjualan plastik cukup banyak.

“Kalau kamu makan malamnya sesore ini, kamu sarapannya nanti kapan lagi?”

“Aku jarang sarapan Kak. Sehari aku makan dua kali. Siang kalau sudah sangat lapar, aku mampir di warteg langgananku. Biasanya bantu mencuci peralatan di sana nanti diberi nasi satu piring dengan satu jenis sayur. Saat cuci piring, kalau aku lihat ada sisa makanan yang masih layak, aku sisihkan untuk dibawa pulang atau langsung dimakan siang itu juga. Tidak selalu sama setiap hari. Tapi kalau makan mi seperti ini, setiap dapat uang lebih pasti aku beli. Tidak bisa beli banyak-banyak karena tidak ada tempat untuk menyimpan.”

Beeva tak tega untuk ikut menghabiskan mi dua bungkus yang dimasak oleh Irma, mereka bergantian makan. Satu suapan oleh Beeva lalu tiga suapan untuk Irma, baru kembali ke Beeva lagi.

“Kalau musim hujan, kamu bagaimana?”

“Di sini malah sangat aman kalau musim hujan Kak. Paling ada tetesan air dan udara yang dingin. Selama kami tinggal di sini tidak pernah ada luapan air yang kemudian menggenang. Tapi kalau keluar dari tembok jembatan maka akan berbeda. Kami seperti berada dalam benteng yang aman saat hujan dan angin keras menerpa.

Begitu adzan maghrib berkumandang, mereka juga menyelesaikan makan malam bersama tersebut. Seiring malam menjemput, Irma dan Beeva sudah selesai membereskan sisa alat makan mereka.

Benar seperti kata Irma, suasana gelap di jembatan. Kalau ingin ada cahaya maka butuh lampu sejenis lentera. Sayangnya, tetap membutuhkan minyak yang harus dibeli dengan uang. Lebih penting bagi Irma untuk membeli makanan dari pada minyak untuk penerang.

Beeva sulit untuk memejamkan mata. Walau pun ia pendaki gunung tapi tetap saja mereka selalu bepergian dengan peralatan kemping yang lengkap dan kini untuk pertama kalinya Beeva tidur beralaskan kardus dan berselimutkan juga kardus yang hanya dibolongkan pada sisi atas dan bawah saja.

Kepalanya ia sanggah dengan ransel. Masing-masing mereka masuk ke dalam kardus sejenis itu untuk melindungi tubuh dari dingin dan serangga atau binatang lainnya yang bebas berkeliaran dalam gelap seperti sekarang ini. Dalam hening, bersembunyi dalam kardus, Beeva teringat dengan sleeping bag dan tempat tidurnya yang hangat di Yogya.

Miris memang mengetahui di Ibu Kota negara yang begitu kaya raya, masih ada kelompok manusia seperti Irma dan tetangganya yang bertahan hidup seperti zaman purbakala.

Beeva akan selalu mengingat budi baik dari Irma. Andai Beeva punya kekayaan berlimpah, mungkin ia akan menyediakan tempat penampungan yang layak bagi para tunawisma. Biar bagaimana pun, mereka juga manusia yang punya hak untuk menikmati kehidupan yang terbaik. Seharusnya semua fasilitas umum yang disediakan oleh negara bisa dipakai oleh kaum tunawisma secara bebas dan tanpa pungutan.

Mendengar dengkuran halus Irma yang tertidur dengan damai, Beeva mensyukuri perjalanan hidupnya yang memang menyedihkan tapi tidak setragis Irma dan kaumnya. Karena lelah memikirkan kesenjangan yang terjadi di negeri tercintanya ini, Beeva akhirnya terlelap juga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel