Bab 10 Kekejaman Ibu Kota
Bab 10 Kekejaman Ibu Kota
Beeva duduk di pinggir jalan, di samping beberapa pengamen kecil yang memandangnya heran. Dari tadi para bocah itu penasaran dengan tampang Beeva yang berubah-ubah. Mereka mereka-reka pastilah wajah kakak perempuan di dekat mereka itu berubah sesuai suasana hatinya. Sementara yang sedang diperhatikan tidak menyadari sama sekali. Pikiran Beeva sebenarnya sedang melayang ke masa tiga minggu sebelumnya.
Beeva tetap berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Dengan sabar ia mengikuti semua perkataan dosen pembimbing untuk merevisi skripsinya. Ia tetap tekun berdoa, bekerja sampingan dan hidup hemat karena ia masih berhutang uang kuliah pada Nisel. Akhirnya, dua puluh hari menjelang semester berakhir, skripsi Beeva dinyatakan siap untuk maju ke meja ujian.
Beeva begitu gembira dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan sungguh-sungguh agar ia tidak mengalami kegagalan. Pada hari yang bersejarah dalam hidupnya itu, Beeva sudah berpakaian sangat rapi dan melupakan celana denimnya. Sebagai gantinya, ia memakai celana kulot bahan kain untuk bisa dipadankan dengan atasan semi jas. Ia berdandan seperti seorang wanita karier.
Ia tiba di ruang ujian empat puluh lima menit sebelum jadwal dan menyiapkan ruangan ujiannya. Ia meletakkan salinan skripsinya dengan kotak kudapan ringan, kotak makan siang dan air mineral botol untuk lima orang penguji. Di setiap meja, juga ia siapkan salinan skripsi melengkapi kebutuhan jasmani yang disediakan, kalau-kalau ada yang lupa membawa skripsi yang telah ia bagikan seminggu sebelum tanggal ujian.
Ujian dimulai tepat pukul sepuluh pagi. Beeva di uji oleh tiga dosen tamu dan dua dosen pembimbingnya. Tepat jam satu, Beeva keluar dari ruang ujian setelah berada di dalam selama hampir tiga jam. Tapi, Beeva menjadi lega karena perjuangannya sudah mencapai garis akhir.
“Ama, Abak, akhirnya Beeva selesai kuliah juga. Terima kasih untuk semua doa kalian,” batin Beeva sambil menyantap kue yang tersisa satu kotak. Ia memang memesan makan siang khusus untuk para penguji saja.
Beeva juga tidak punya selera makan. Ia sedang menunggu dalam cemas sampai para dosen menguji menyelesaikan makan siang mereka dan berembuk untuk menentukan nilai baginya. Setelah tiga puluh menit menunggu, akhirnya Beeva kembali dipanggil untuk mendengarkan hasilnya.
Mata Beeva berkaca-kaca saat ia akhirnya dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar Sarjana Teknik Sipil. Semua catatan perbaikan untuk skripsinya ia kumpulkan. Ia hanya punya waktu tiga hari untuk memperbaiki dokumen tersebut. Lalu ia harus melengkapi lembar pengesahan dari ke lima dosen pengujinya dan menjilid skripsinya. Setelah semuanya beres barulah Beeva boleh mendaftar untuk ikut wisuda.
Sesampainya di kosan, Beeva menelepon abangnya untuk bisa berbicara dengan Amanya.
Beeva menyampaikan keberhasilannya dan mereka ngobrol sebentar untuk saling melepas rindu.
“Assalamualaikum! Ama, Bee harap Ama selalu sehat di sana.”
“Waalaikumsalam! Kamu apa kabar Nak?” balas Amanya.
“Bee mau bilang kalau baru saja pulang dari kampus. Tadi Bee ujian skripsi dan Bee sudah lulus Ama. Bee hanya perlu melakukan sedikit perbaikan di dokumennya berdasarkan masukan dosen penguji, lalu Bee akan minta tanda tangan mereka barulah dijilid. Setelah itu baru bisa daftar wisuda”
“Alhamdulillah. Ama senang dengarnya. Pasti Abakmu juga sangat bangga mendengar kabar ini.”
“Terima kasih Ama, semuanya karena doa Ama dan Abak untuk Bee.”
“Tapi, Ama tidak akan mungkin bisa hadir di acara wisudamu. Bagaiman perasaanmu kalau Ama tidak bisa menemanimu?”
“Tentu saja kecewa Ama. Tapi, Bee tidak mau egois. Sudah ada Nisel juga yang menemani Bee, jadi Ama jangan kuatir.
“Kamu memang anak yang sangat pengertian Bee. Ama sudah sangat sering mengumbar janji untuk menghadiri wisudamu tapi apa daya, tubuh Ama sudah tidak bisa bertahan untuk melakukan perjalanan jauh.”
“Tidak apa-apa Ama. Oh iya, satu lagi yang Bee mau bilang kalau, semua puisi Ama sudah Bee unggah di internet. Sehingga kalau kangen dengan Ama, maka Bee akan membaca puisinya satu persatu. Nanti Bee bisa kirim tautannya melalui Abang Abrar atau Uni Nona. Mereka bisa membukanya dan menunjukkan hasil rekaman pada Ama.”
“Syukurlah kamu bisa menyimpan kenangan Ama dengan baik.”
“Bagi Bee yang terpenting adalah Ama selalu sehat dan umur panjang. Nanti kalau Bee sudah berhasil mendapat kerja yang lebih baik, Bee bisa menjemput Ama untuk jalan-jalan ke luar dari tanah Minang.”
“Amin! Amin! Kalau begitu kamu juga istirahat yang cukup dan jaga kesehatan ya. Juga Ama doakan agar semuanya lancar sampai acara wisuda. Kamu bisa dapat kerja dan jodoh yang sepadan. Sekarang Ama mau sembahyang dulu.”
“Iya Ama. Terima kasih untuk doanya. Ama juga jaga kesehatan. Bee tutup teleponnya.”
Beeva meletakkan ponselnya. Terngiang-ngiang kembali akhir percakapan bersama, doa Ama agar Beeva bisa cepat mendapatkan kerja dan jodoh. Beeva menangis tersedu-sedu sendirian di kamarnya karena lega beban kuliahnya sudah hampir selesai. Ia juga memiliki rasa kangen yang membuncah ingin berjumpa dengan Amanya. Beeva memutuskan untuk sujud syukur agar Allah SWT melindungi Ama dan semua keluarganya dan juga melapangkan jalan menuju masa depannya.
Setelah melewati perjuangan panjang, dengan bercucuran air mata haru karena Amanya tidak bisa mendampinginya, Beeva memakai toga dan masuk dalam rombongan para wisudawan. Ada Nisel dan Sri temannya yang menungguinya di kursi undangan bagi keluarga.
Mereka merayakan acara bahagia Beeva dengan menyantap nasi ayam lalapan porsi jumbo yang menjadi makanan langka bagi mahasiswa. Tahu, tempe dan telur adalah menu wajib yang disantap hampir selama lima tahun berstatus murid di perguruan tinggi. Kebahagiaan yang dinikmati dengan sederhana itu menjadi kenangan manis bagi Sri, Nisel dan Beeva.
Setelah tamat kuliah, maka lembaran kehidupan yang baru Beeva harus jalani. Ia masih tetap bekerja di warnet sembari mencoba melamar ke beberapa tempat. Beeva sekalian menyicil utangnya pada Nisel.
Sri yang di semester akhir kuliahnya, juga masih membantu Beeva merampungkan blognya untuk mengunggah foto dari setiap lembar puisi yang ditulis Amanya. Semuanya seratus lima lembar puisi yang mereka sudah simpan di tempat yang aman.
Di suatu malam, Beeva pulang dari warnet dengan wajah riang gembira karena salah satu lamaran kerjanya di perusahaan konstruksi berhasil. Permasalahannya, ia harus pindah ke Jakarta dan perusahaan itu memberikan waktu berpikir tidak lebih dari tiga hari.
Beeva berembuk dengan Nisel dan Sri dan mereka mendorong Beeva untuk menerima tantangan itu. Salah satu alasan Nisel karena ada Riz yang akan menemani Beeva di Jakarta. Maka di sinilah Beeva sekarang, mengadu nasib di ibukota Jakarta yang terbukti memang lebih kejam dari Ibu tiri.
Ia sudah ditelepon sejak dua hari yang lalu agar bisa mengikuti tes wawancara. Sialnya, ia naik bis yang berakhir mogok di jalan bahkan belum setengah jarak tempuhnya dari kosan ke alamat perusahaan yang akan mempekerjakannya. Karena takut terlambat maka Beeva langsung mencegat taksi. Tapi setelah sampai di alamat yang dituju, memaksakan diri berlari menuju ruang wawancara Beeva harus menelan rasa kecewanya dengan penolakan karena dianggap tidak serius dan sikap tidak disiplin akibat tidak hadir tepat waktu.
Beeva berjalan gontai keluar dari gedung bertingkat tiga itu. Ia merasakan tenggorokannya kering maka ia menuju toko terdekat untuk membeli air mineral. Sayangnya, dompetnya tidak bisa ia temukan di mana pun. Harinya yang sudah buruk itu menjadi lebih sempurna oleh karena dompetnya hilang entah di mana. Alhasil ia tidak bisa membeli air untuk memuaskan dahaganya.
Begitulah nasibnya yang sekarang sedang duduk termenung di pinggir jalan memikirkan kemungkinan kalau dompetnya jatuh saat ia berlarian mengejar waktu wawancara.
Lamunannya buyar ketika seorang gadis kecil yang menyandang karung super besar berisi botol bekas minuman tiba-tiba mendekati Beeva, dan bertanya, “Apa yang Kakak sedang lakukan di sini?”
Beeva terpana mendengar pertanyaan dari gadis cilik tersebut begitu pula, para bocah pengamen yang duduk tidak jauh dari posisi Beeva.