Bab 14 Perjuangan Dimulai
Bab 14 Perjuangan Dimulai
Seolah semesta sementara berhenti menghukumnya, akhirnya pada malam yang sama, Beeve mendapatkan kamar kos yang baru sesuai dengan keyakinannya, di belakang pasar Kebayoran Lama, tempat yang sama yang ia dan Riz datangi.
Kamar yang sederhana, dengan tempat tidur ukuran satu orang dan lemari plastik dengan empat laci kecil, menghiasi kamar Beeva yang baru. Ia beruntung karena kamar mandinya juga sudah di berada di dalam sehingga terhitung aman. Walau pun harganya dua kali lipat lebih mahal dari kamar kosnya di Yogya, tapi Beeva merasa akan betah karena sambutan ibu kosnya yang ramah dan lingkungan sekitar yang aman.
Riz membantu dengan memberikan pembayaran tanda jadi 50% dari harga kamar. Malam itu sepeninggal Riz, Beeva bisa menikmati kasur empuknya setelah malam sebelumnya tidur beratapkan bintang dan beralaskan bumi. Beeva terkenang akan Irma, gadis kecil yang telah mencuri hatinya.
Sebelum terlelap, Beeva mengingat kembali budi baik dari orang-orang yang telah hadir dalam kehidupannya akhir-akhir ini. Beeva bertekad untuk membalas kebaikan mereka satu demi satu, perlahan-lahan sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan untuknya.
Beeva mengurung diri di kosnya selama kurang lebih tiga hari sampai ia menerima kabar dari Sri tentang keberhasilan pengiriman uangnya. Selama itu pula Riz yang menjadi sandaran sementaranya, sambil Beeva juga berupaya mencari pekerjaan dengan mengirimkan lamaran ke berbagai tempat.
Berbekalkan sedikit rupiah yang ia punya hasil kiriman dari Sri sahabatnya, Beeva mengembalikan uang Riz namun ditolak oleh Riz. Akhirnya uang itu ia olah dengan penuh pertimbangan untuk bisa bertahan di Jakarta setidaknya selama dua bulan ke depan sampai ia mendapatkan pemasukan.
Beeva sangat beruntung karena ibu kosnya tidak menuntutnya untuk segera melunasi setengah harga kamar yang masih menjadi utang Beeva sampai ia mendapatkan pekerjaan. Setelah hampir sebulan di Jakarta, dengan isi dompet yang mulai menipis, mengharapkan bantuan dari Riz untuk mengantarnya kemana pun ia ingin pergi dan perhatian sekaligus pengertian dari ibu kos, akhirnya Beeva menerima kabar baik dari sebuah kantor surat kabar yang cukup terkenal.
Beeva memang pernah mengirimkan lamaran untuk mengisi posisi sebagai jurnalis berbekalkan kemampuan otodidaknya sebagai fotografer. Beeva yang selalu berdedikasi dan bertanggung jawab dalam mengerjakan segala hal, menjadi jurnalis baru yang cukup dikenal di kalangan teman kantornya. Beeve disukai karena keramahannya, keinginannya untuk belajar dengan membantu pekerjaan teman yang lain, seperti dalam hal mengetik berita atau menemani teman yang membutuhkan rekan untuk bisa membantu memotret saat pengambilan berita pada event besar.
Beeva mulai belajar bersama para rekan seniornya yang mau berbagi sebelum ia bisa mengumpulkan beritanya sendiri, menulisnya dan mengirimkannya ke pihak editor kantor sebelum dikatakan layak keluar untuk dipublikasi. Berita pertamanya mendapat pujian dari pimpinan langsungnya yang membuat Beeva semakin bersemangat untuk tekun bekerja.
Kariernya semakin melejit dan berita-berita Beeva selanjutnya menjadi berita utama terpampang di halaman satu, sesekali menjadi headline. Selain menekuni tugas jurnalismenya, Beeva masih sempat mengelola blognya dimana puisi Ibunya terdokumentasi dengan rapi.
Selain itu, Beeva juga membuat desain rumah untuk beberapa teman yang mengetahui kemampuan lainnya dari ilmunya sebagai sarjana teknik sipil. Di saat yang bersamaan, Beeva mulai menerima pertemanan dengan Riz. Beeva menolak untuk dianggap sebagai pacar Riz seperti permintaannya waktu di Yogya dan meminta Riz untuk menjadi sahabatnya.
Mereka mulai dekat dalam artian Riz lebih sering bertamu ke kosan Beeva dan mereka terlihat sering bepergian berdua. Riz juga baru saja membeli sebuah motor baru yang digunakan untuk kerja sekaligus mengantar dan menjemput Beeva jika memungkinkan.
Kalau pekerjaan Riz lebih stabil dalam pengelolaan waktu karena jam buka dan tutup toko sudah pasti dan jelas. Sementara pekerjaan Beeva cenderung lebih dinamis bahkan tidak mengenal waktu.
Pernah sekali Beeva harus pulang tengah malam karena ia mendapat tugas untuk meliput artis Ibu Kota yang menjalankan konser tunggalnya, menyebabkan Riz kesal karena Beeva membatalkan janji makan malam bersama mereka, yang sudah direncanakan jauh sebelum tugas kantor itu diberikan oleh Beeva.
Kekesalan Riz bertambah beberapa minggu kemudian saat menjemput Beeva di salah satu kafe dekat kantor Beeva. Saat itu menjelang malam saat Riz sampai di parkiran depan kafe. Suasana di dalam Kafe terlihat remang-remang karena hanya lampu-lampu kecil dan redup yang menyala.
Dari parkiran Riz bisa melihat Beeva dan rekan wartawannya yang lain sedang bersenda gurau.
Biasanya Riz akan menelepon ponselnya Beeva dan menyampaikan keberadaannya. Tapi malam itu Riz merasa perlu menghampiri Beeva di antara teman-temannya.
“Malam Bee. Rupanya seperti ini pekerjaan yang kamu bangga-banggakan itu?” sambil menatap tajam pada tiga teman kantor Beeva yang terlihat sedang santai dengan semua kamera mereka terletak di atas meja. Ada yang ditemani secangkir kopi tapi ada yang hanya menikmati rokoknya.
“Riz?”
“Setelah sibuk mengumpulkan berita di siang hari lalu menemani para lelaki di malam hari?” ucap Riz sinis.
Tiga orang teman pria Beeva tetap bergeming walau pun telinga mereka mulai panas mendengar perkataan Riz. Sang perokok menghembuskan asap rokoknya dengan kasar sedang yang sedang minum kopi mengetuk-ngetukkan sendok kecil yang dipakai untuk mengaduk gula. Teman yang lainnya sedang menunduk sibuk dengan sesuatu.
Beeva mulai merasakan ketegangan itu dan dengan segera mengemasi barang-barangnya dan pamit pada ketiga orang temannya, “Bro semua, aku pulang ya. Terima kasih sudah menemani.”
“Hati-hati Sis. Kalau ada apa-apa kabari kami besok,” teriak salah satu temannya yang sedang menunduk mengutak-atik kameranya.
Beeva melangkah setengah berlari mendahului Riz dengan kesal karena sikap Riz yang merendahkannya. Tidak ada pilihan lain, langkah panjang Riz pun mengekori di belakangnya. Setibanya di parkiran motor, Beeva tidak berhenti malah menuju taksi yang sedang berjejer menunggu giliran.
Tanpa menoleh ke belakang, Beeva langsung masuk ke salah satu taksi dan mengunci pintunya dari dalam. “Langsung jalan Pak, belakang pasar Kebayoran lama,” suara Beeva terdengar penuh kekesalan.
Taksi melaju sesuatu permintaan penumpangnya sedangkan Riz berlari kembali ke motornya karena gagal menghentikan Beeva. Riz mengambil jalur motor yang pastinya akan lebih cepat dibandingkan dengan mobil, agar bisa sampai ke kosan Beeva lebih dahulu dan menunggu di sana.
Untuk mengelabui Beeva agar tidak kabur kalau mengetahui Riz sudah menungguinya, motor Riz diparkir di tempat yang tidak bisa dilihat dari jauh oleh Beeva namun Riz bisa mengamati saat Beeva masuk ke kamar kosnya.
Langkah lebar Riz membuntuti Beeva tanpa suara begitu taksi meninggalkan kawasan kos Beeva. Gadis itu baru memutar kunci dan membuka pintu kamarnya ketika dengan sigap Riz sudah berada di belakangnya dan mendorong Beeva lembut ikut masuk ke dalam kamarnya tanpa bisa dicegah oleh Beeva.
Riz menutup pintu kamar Beeva dan menyandar di daun pintu menatap Beeva yang sedang melotot menatap Riz.
“Bee, tolong kamu pahami perasaanku. Aku tidak suka kamu selalu saja berada di antara laki-laki.”
“Aku capek Riz. Kamu selalu saja mempermalukan aku di depan orang lain. Mereka temanku Riz. Aku berhak untuk berteman dengan siapa saja,” balas Beeva dengan suara yang meninggi dan memilih untuk duduk di lantai kamarnya menyandar pada tempat tidurnya.
Ini bukan pertama kalinya mereka bertengkar karena Riz selalu saja cemburu dengan semua teman laki-laki Beeva.
“Sebaiknya kamu berhenti dari pekerjaanmu menjadi jurnalis. Aku tidak suka melihat kamu selalu berada di antara para lelaki!” cecar Riz dengan menyugar rambutnya dengan kedua tangannya.
“Kamu tidak punya hak untuk melarangku. Kamu bukan ayahku atau suamiku. Kamu hanya teman sama seperti semua laki-laki yang ada disekelilingku. Kalian cuma teman bagiku,” ucap Bee dengan suara putus asa. Bukan nada tinggi seperti sebelumnya.
“Tapi aku berbeda Bee. Aku bukan sekedar teman biasa. Aku selalu ada di sampingmu saat kamu belum mengenal mereka. Aku yang membantumu melewati masa krisis, saat kamu menginjakkan kakimu di Jakarta. Aku punya hak lebih dari mereka,” sahut Riz mulai mendekati Beeva.
Kalimat alasan yang selalu Riz gaungkan berulang kali dan membuat Beeva tidak mampu mengelak. Untuk yang satu ini, Riz memang tidak salah. Tapi Riz selalu memanipulasi Beeva untuk menuruti kemauan Riz dengan mengingatkan semua jasa baik yang pernah Beeva terima dari Riz.
Pertengkaran mereka selalu berakhir dengan bujukan dan rayuan dari Riz. Riz ikut duduk di samping Beeva dan merengkuh kedua bahu gadis itu ke dalam dekapannya.
“Aku telah lama menanti kepastian darimu Bee. Aku juga lelah selalu kau abaikan. Kalau saja kamu membuat keputusan mungkin caramu bersikap dan bertindak akan berbeda karena sudah ada seseorang yang perlu kamu pikirkan perasaannya. Aku cemburu karena ada alasannya. Karena aku menyukaimu Bee. Kamu adalah cinta pertama untukku,” ucap Riz lembut di telinga Beeva.
‘Mengapa aku begitu lemah ketika Riz mulai berbicara dengan penuh kelembutan. Sikapnya tadi di kafe begitu memuakkan tapi sekarang dia bersikap sangat lembut dan menyatakan perasaannya padaku. Aku harus jawab apa?’ batin Beeva.
*Bersambung*