Bab 8 Lubang Hati
Bab 8 Lubang Hati
Saat mendengar perkataan sangar dari Lasmini, Margo hanya diam, dia menekuk wajahnya, perempuan berhidung bangir itu tengah menyembunyikan air muka sendunya, meski hatinya amat nelangsa. Biar bagaimanapun, dia sudah berusaha keras menjadi anak yang baik bagi Lasmini. Bukankah menantu itu juga anak?
"Margo ... Margo, kamu punya telinga atau tidak?" tanya Lasmini dengan nada ketus. Perempuan di sampingnya, mengusap lembut lengan Lasmini, berharap untuk tidak membentak Margo sambil memamerkan senyum paling manis yang dia punya.
Margo mengangkat wajahnya, dia melihat dengan tatapan mengiris pada kelakuan perempuan berjilbab yang tengah tersenyum getir disamping Lasmini, dengan susah payah akhirnya istri Garda itu mampu menarik lengkung pada bibirnya. Ya, dia tersenyum. Berusaha tetap tegar, meski sebenarnya terdapat sakit yang tak berdarah di dalam lubang hatinya.
"Kamu jangan menghentikanku, Karina! Aku ingin memarahi Margo. Jangan berusaha baik padanya, ingatlah bahwa kamu ini adalah calon istri Garda dan aku akan memastikan agar Margo segera bercerai dari Garda," sambungnya.
Margo tetap diam, meski merasakan hujaman teramat dahsyat pada relung hatinya, bergeming dengan kaki yang mulai melemas, sorot mata sendu itu memanjang, menatap kedua perempuan yang terlihat sangat akrab di hadapannya.
"Ibu ... ibu, jangan seperti itu biar bagaimanapun aku rela dimadu. Jadi tidak perlu Margo bercerai dengan bang Garda!" elak Karina meski hatinya bertalu senang.
Margo tersenyum samar, dia merasa tidak habis pikir dengan perempuan yang rela dipoligami seperti itu, padahal dia masih muda. Sejenak, dalam hati Margo berbicara, 'apa memang perempuan cantik seperti itu suka menari-nari diatas penderitaan orang lain?' batinnya mencemooh. 'Apa dia tidak mampu untuk bahagia dengan tanpa merusak kebahagiaan orang lain?' imbuhnya.
Lasmini menafsirkan kalau Margo menatapnya dengan tatapan marah, tersebab kedua mata hazel itu membesar. Lasmini lalu menjentikkan kepalanya kebelakang, melirik sekilas kepada Karina kemudian mengedipkan matanya.
"Apa kamu marah, Margo? Apa kamu sakit hati dengan kata-kataku, meski itu sebenarnya adalah kenyataan?" tantang Lasmini tak gentar.
Margo hanya membalasnya dengan seulas senyum. Dia berusaha untuk bersikap cuek terhadap apapun yang dikatakan Lasmini.
Margo berprinsip bahwa, 'apapun yang diucapkan oleh Lasmini Garda akan tetap mendukungnya, Garda akan tetap disisinya,' tapi sayang Lasmini masih hendak melanjutkan ucapannya tadi.
"Apa kamu akan menolak, jika Ibu mencarikan madu untukmu? Cobalah kamu berpikir Margo! Bukankah Garda berhak mendapatkan keadilan itu? Sekali lagi ... Garda berhak untuk memiliki anak. Dan aku yakin Garda tidak akan menolaknya, jika kamu tidak bersikeras untuk bercerai jika Garda berpoligami, atau mungkin sebaiknya memang kamu bercerai saja dengan Garda? Aku rasa itu adalah solusi yang terbaik untuk hubungan kalian. Kalau kamu tidak mau, aku akan melakukannya agar hal itu dapat segera terjadi!" ancam Lasmini.
Dengan susah payah Margo tetap menarik senyumnya, menampilkan sebuah topeng yang begitu manis dan indah. "Silakan, Bu!" jawab Margo yang suaranya terdengar sangat lembut, tetapi mata hazelnya seakan hendak menusuk sesuatu.
Kini dengan entengnya, Lasmini berjalan mengelilingi Margo. Dia seperti seorang dukun yang mengelilingi rumah untuk membuat rumah itu aman. Sejenak Margo merasa khawatir.
"Apa kamu juga tahu rumor yang beredar tentang kamu dan Garda, Margo?" tanya Lasmini.
"Hmmm, itu ... Bu, mungkin itu hanya rumor. Kata-kata yang beredar belum tentu benar," balas Margo berusaha sesantai mungkin namun, sebenarnya suara yang biasa terdengar bening itu bergetar.
Karina yang mendengar perkataan demi perkataan Lasmini, lalu disusul jawaban Margo, mengerutkan alisnya yang ramping. Ya, dia seakan tengah melihat drama keluarga yang heroik.
"Kamu bilang itu rumor, Margo? Jika sembilan tahun yang lalu, itu mungkin saja masih bisa menjadi rumor, tapi sekarang sudah berlangsung selama ini! Kamu dan Garda pasti sudah ke dokter berkali-kali, kan?" tebak Lasmini.
Margo hanya menunduk, lalu mengangkat wajahnya kembali sambil menarik senyuman, berusaha tak membalas perkataan brutal dari ibu mertuanya itu. Biar bagaimanapun dia ingin hubungannya dengan Lasmini tidak semakin kusut.
"Ibu tidak akan rela, jika Garda tidak memiliki keturunan, meski rumor kamu mandul itu beredar, tapi kenyataannya memang begitu, kan? Ibu harus mengatakan ini berulang kali, agar kamu sadar Margo, bahwa kamu itu mandul!" seru Lasmini.
Margo masih berdiri di tempatnya. Dia sangat berharap jika bumi menyedotnya sekarang, dan dia bisa lenyap dari tempat itu. Kata-kata yang terlontar dari mulut Lasmini, membuatnya begitu merasakan sesak di dadanya, bahkan ketika Lasmini mengatakan cercaan terakhirnya, air mata Margo menetes, lalu buru-buru dia hapus secepat mungkin.
"Bukankah kamu menghianati pernikahanmu sendiri, Margo? Bukankah dulu itu kamu pernah berjanji pada ibu untuk segera memberikanku cucu?" cerca Lasmini.
Karina yang merasa simpati dengan peristiwa itu, menutupi wajahnya dengan tangan. Kini Margo mengangkat wajahnya, menatap ibu mertuanya dengan tatapan yang nanar.
"Jika Garda berada di sini, apa mungkin Ibu berani melakukan ini? Apa mungkin Ibu akan memaksanya untuk menikahi gadis berkerudung itu?" tanya Margo sangat miris.
"Heh, Margo! Kamu belum tahu siapa gadis itu. Dia adalah perempuan baik-baik yang sangat sopan dan anggun. Dia bahkan anak tunggal dari seorang jenderal yang tinggal di Bukittinggi ini. Kamu dengannya itu seperti bumi dan langit. Kamu tidak ada apa-apanya Margo! Ibu lebih menyukai perempuan Indonesia dari pada perempuan blasteran sepertimu, yang jauh dari kata ideal untuk menjadi istri!" sambar Lasmini lagi.
"Bu, sudah!" ujar Karina memperingatkan Lasmini dengan nada ramah yang di telinga Margo terdengar sangat menggelikan.
"Aduh, Karina ... kamu memang baik! Rasanya tidak salah, kalau ibu memilihmu sebagai calon istri Garda. Seandainya dulu Garda tidak menikah dengan Margo, pasti dia akan nurut untuk nikah dengan kamu. Ah, gerah juga di sini, karena tidak ada Garda. Ok, sebaiknya kita pulang saja!" ajak Lasmini menggandeng tangan Karina.
Margo menundukkan kepalanya sebagai bentuk sikap sopannya terhadap Lasmini, saat kedua wanita itu berjalan di hadapannya untuk segera keluar dari rumah mewah bercat putih gading tersebut.
Sepanjang perjalanan, Lasmini masih saja berbicara.
"Kamu lihat 'kan, Karina? Itu si Margo, dia berpakaian saja seperti itu. Aku sampai heran apa yang disukai Garda dari perempuan yang jauh dari kata anggun seperti Margo itu!" serunya dengan gaya bicara mirip bu Tejo yang sempat trending di canal merah.
"Sudahlah, Bu. Jangan seperti itu!" kata Karina takut perkataan Lasmini didengar oleh Margo.
"Kenapa, Karina? Biar saja, biar sekalian Margo itu mendengar. Biar dia sadar seperti apa sebenarnya pandanganku tentang dirinya. Dari awal pun, Ibu sudah sangat tidak setuju dengan pernikahan Garda dan Margo itu. Tapi ya mau bagaimana lagi, saat itu Garda bahkan mengancam akan kawin lari jika tidak dinikahkan dengan Margo. Apa mungkin ... kalau Margo menggunakan pelet, ya?" tawar Lasmini pada Karina. Sesaat keduanya menghentikan perjalanan.
"Ah, masa, Bu? Apa bule seperti Margo juga mengenal pelet, Bu?" kelakar Karina.
"Ah, ibu merasa kesal, bisa-bisa ibu cepat tua dan keriput memikirkan Garda yang tidak kunjung mempunyai anak!" tukasnya melemah.
Sayup-sayup Margo masih mendengar percakapan antara Karina dan Lasmini itu. Dia berusaha keras untuk tetap tegak berdiri mengabaikan lututnya yang gemetar.
"Mau sampai kapan Ibu membenciku?" gumam Margo setelah melihat punggung Lasmini dan Karina yang mulai menjauh dan sebuah mobil Jazz berwarna merah membawa kedua perempuan beda usia itu menghilang dari sana.
Margo memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Merasa gundah, dia buru-buru mengambil gagang telepon berwarna silver. Margo hendak menelpon Garda.
'Bip-bip!'
Saat meligat handphone-nya bergetar, Garda langsung mengangkatnya sejak panggilan pertama.
"Halo," jawab Garda.
"Halo, Garda!" ucap Margo dengan nada yang sendu.
"Hai, tidak biasanya kamu menelponku, Sayang! Apa kamu sudah makan?" tanya Garda dengan penuh perhatian.
"Hmm, lebih dari pada itu, Garda. Pagi ini aku bahkan makan cercaan dari Ibu!" sambar Margo dengan nada suara sedikit tegas dan ketus.
"Oh, ya ... kamu tidak apa-apa, kan?" ucap Garda khawatir, mengabaikan ketidakpercayaan dan detak jantungnya yang berdenyut cepat sesaat itu. Garda merasa sangat kaget.
"Apakah Ibu berkunjung ke rumah sendirian, Sayang?" tanya Garda lagi.
"Kamu tahu ... tadi Ibu berkata, kalau kemarin, dia sudah ke sini?" ejek Margo, lalu mematikan sambungan telepon itu tanpa memberitahukan dengan siapa Lasmini datang.