Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Kejutan Pagi

Bab 7 Kejutan Pagi

Sulur-sulur cahaya matahari pagi menerangi kamar mereka, menyusup di antara tirai merah blewah kamar bercat putih gading itu. Di sisi ranjang, Margo duduk menekuk kakinya dengan mata yang menyipit. Ketika bangun tidur memang sebaiknya seseorang tidak terburu-buru bergegas lari, karena kata orang hal tersebut merupakan salah satu pemicu terjadinya vertigo. Perempuan bersurai pirang itu tahu, hingga dia menikmati sesi bangun tidurnya laksana beruang kutub yang baru saja melakukan hibernasi.

Seluruh tubuhnya terasa lenguh. Margo masih merasakan pusat tubuhnya yang nyeri tersebab nikmat yang membelahnya semalam. Lengkungan senyuman pun tak ayal menghiasi wajahnya, begitu indah dan cantik. Wajah berfrekles itu dikerutkan dan dibingkai dengan kedua tangan dengan masih menekukkan kakinya. Ya, seolah-olah Margo masih membayangkan rasa nikmat menggelayar dari hujaman sang suami.

Margo masih mengingat kegilaan Garda yang mengajaknya bermain begitu hebat. Perempuan berbibir tipis itu tidak memungkiri sensasi nikmat tersebut namun, dia juga menyadari kalau permainan bersama suaminya semalam begitu sangat menguras energinya.

Bercinta memang kata orang berjuta rasanya, mungkin seperti manyecap permen nano yang dalam satu kuluman terdapat rasa asin, pedas, manis, gurih, kecut, dan pahit. Margo seakan masih berusaha sadar dari desahan demi desahan yang keluar dari mulutnya, setiap sentuhan, kecupan dan cumbuan dari Garda telah mengirim rasa nikmat tak terhingga bagi tubuh juga jiwanya yang terasa bahagia sekarang. Dan Margo menyukai kenyataan ini, perasaan lapang yang entah.

Margo mulai beringsut dari ranjang king size mereka dan berjalan malas menahan nyeri pada pusat tubuhnya menuju kamar mandi. Dia tak mendapati keberadaan Garda, suaminya telah pergi sedari pagi buta untuk menekuni hobi barunya bersama rekan bisnis dan hal tersebut telah dikatakan lelaki bertubuh liat itu semalam.

Lima belas menit kemudian, Margo sudah selesai melakukan ritual pembersihan diri. Dia mendendangkan lagu sambil memilih baju untuk dikenakannya hari ini.

"Kowe ra iso mlayu, soko kenyataan. Ajine diri ono ing lathi ...."

Kepala Margo bergoyang-goyang, suaranya melengking kecil dimirip-miripkan sinden Jawa. Kini matanya sudah melihat pakaian yang dia putuskan untuk segera dibalutkan pada tubuhnya yang ramping dan sejurus kemudian tangan kurus itu mengambil sepotong kaos pas tubuh lengan pendek berwarna cokelat tua, juga sebuah celana kolor pendek mirip seorang pesepak bola, tentu saja Margo masih tetap cantik, meski hanya mengenakan pakaian tersebut.

Seusai menyisir rambut pirangnya yang basah dan beraroma strawberry itu, menggunakan roll on pada lekuk yang dihimpit lengan, juga semprotan minyak wangi segar–tanpa menyentuh peralatan make up yang terjejer sempurna di atas meja rias, Margo menelengkan kepalanya sebentar, lalu memutuskan sesuatu. Dia bergegas untuk segera keluar dari kamar.

Sesaat Margo melirik jam dinding saat hendak melangkahkan kaki putih jenjangnya untuk menuruni anak tangga menuju lantai dasar, "Ah, pagi yang siang!" desahnya ketika melihat jarum pendek sudah berada di angka setengah sepuluh.

Margo masuk ke dapur untuk mencari sesuatu yang dapat mengisi perutnya saat ini, tersebab energinya sudah terkuras habis akibat permainan panasnya dengan Garda semalam. Paling tidak, dia harus bertenaga agar bisa total membersihkan rumah besar mereka.

Kelebatan adegan ranjang yang dipenuhi gejolak hasrat itu melintas pada benak Margo dan sesaat pusat dirinya berdenyut. Wajah dan tubuhnya bergetar, terasa panas dan sesuatu di bawah sana melembab tanpa permisi.

"Hanya Garda yang membuatku seperti ini, kurasa aku benar-benar menikmati aktivitas itu!" gumamnya setelah menenggak habis segelas besar susu cair murni yang tadi dia tuang pada gelas kaca besar.

Margo terduduk pada kursi bundar kayu berkaki besi serupa tabung memanjang dengan bahagia membuncah, seolah-olah dia telah melupakan kebohongan yang dilakukan Garda kemarin. Baru mengingat sesi bercinta saja, sudah membuat sel-sel tubuhnya berteriak mendamba dan seluruh kulitnya berharap sentuhan-sentuhan nan sensual itu lagi.

'Tok-tok-tok ..." irama ketukan pintu yang terkesan tegas dan terburu-buru itu akhirnya sampai juga pada telinga Margo. Dia pun bergegas menuju pintu utama untuk melihat siapa yang melakukannya dan mengetahui sosok yang tengah berdiri di depan benda menjulang tinggi dengan daun atau pegangan berwarna emas serupa tambang melilit.

"Di mana, Garda? Kenapa kamu yang membukakan pintunya?" ujar Lasmini dengan nada ketusnya.

Belum sempat menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya, seorang perempuan menyahut, "Selamat Pagi. Margo, ya? Saya Karina!" serunya ramah sekali dengan mengulurkan satu tangan putih yang mengenakan tiga cincin emas pada ketiga jemarinya, agak canggung namun, Margo menyambutnya dengan sesi berjabat singkat dan menarik seulas senyum.

Sesaat Margo terkejut, tidak menyangka kalau pagi ini akan ada sang ibu mertua yang bertandang ke rumahnya bersama seorang wanita muda berjilbab dan terlihat masih sangat ranum itu.

Sepuluh detik kemudian, setelah menyadari sikap canggungnya, Margo tersenyum ramah dengan gaya santainya dia menyilakan Lasmini juga perempuan bernama Karina itu untuk masuk ke dalam dan duduk di atas kursi tamu yang berupa kursi sofa bersarung lembut leter L di ruang tamunya.

"Saya buatkan minum dulu ya, Bu! Nanti biar kutelpon Garda," kata Margo kepada Lasmini dengan bersusah payah mengeluarkan suara itu tanpa irama yang bergetar.

"Hmmm," jawab Lasmini malas. Dia memicingkan mata saat melihat penampilan Margo yang baginya terkesan urakan, berbanding terbalik dengan gadis di sampingnya yang begitu anggun dalam balutan gamis berwarna peach.

Tak lama, dua gelas teh sudah tersaji di atas meja kaca hitam itu. "Silakan di minum, Bu!" pinta Margo tulus dan bernada ramah.

"Kenapa kamu hanya menyilakan minum aku, kamu tidak menganggap gadis cantik dan anggun di samping ku ini?" sambar Lasmini ketus.

"Eh iya ... silakan diminum, Nona!" ujar Margo, samar, sesaat jantungnya berdegup kencang.

Lasmini dengan gaya elegannya, meminum teh buatan Margo, kemudian menyemprotkan percikan air dari mulut bergincu merah kecokelatannya. "Sepanas ini kamu menyuruhnya untuk diminum? Kamu sengaja mau membuat lidahku lecet, ya?" kata Lasmini sengit.

"Eh, bukan begitu kok, Bu! Maaf ..." balas Margo lalu mengambil beberapa tisue secara asal di kolong meja dan membantu Lasmini mengelap air-air itu pada sebagian baju kurung berpayet yang dikenakan ibu mertuanya tersebut.

Margo sangat panik dan tingkahnya itu malah membuat segelas teh milik Lasmini tumpah mengenai pahanya, meski ingin menjerit, sekuat mungkin perempuan yang merupakan istri sah Garda itu berusaha menahannya, dia sangat ketakutan, hingga yang keluar hanya pekikan bernada teramat lirih.

Lasmini yang mengetahui hal itu tersenyum miring dan mencibir, "Hanya perkara sepele seperti ini saja kamu ceroboh dan sangat jauh dari kata lihai. Bagaimana mau memberikan anak untuk, Garda?"

Sesaat Margo memejamkan mata hazelnya, berusaha menetralkan api amarahnya. Dia teringat nasihat dari ibunya untuk tetap bersikap baik terhadap Lasmini, meskipun itu sangat susah dilakukannya.

"Kamu bisu, ya? Kenapa diam saja?" maki Lasmini yang merasa jengkel terhadap menantunya tersebut.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel