Bab 6 Pink Noise
Bab 6 Pink Noise
Jam dinding yang berbentuk SpongeBobs itu tergantung sempurna pada dinding kamar bercat putih gading mereka. Benda penanda waktu tersebut sudah menunjukkan pukul dua pagi, dan Margo terlihat terjaga di sana, dengan sesosok pria di sampingnya sudah tertidur lelap sekali. Lengkungan senyum yang lebar menghiasi wajah Margo, dia mulai membelai pelipis Garda.
"Kamu adalah lelakiku!" ujarnya lembut.
Dengan sangat hati-hati, Margo menyingkirkan tangan besar Garda yang menumpu pada perut ratanya. Perempuan bersurai pirang itu menganggap suaminya adalah makhluk spesial ciptaan Tuhannya. Dia seakan takut membuat suaminya terbangun, pun mengusik tidur lelap itu. Jika ada nyamuk-nyamuk yang nakal tersebab mengganggu Garda, sudah pasti akan Margo bunuh tanpa ampun. Margo bahkan tak rela, jika ada binatang yang merasakan nikmatnya seinci tubuh atau setetes darah Garda, mungkin inilah yang kata orang dinamakan cinta buta.
"Aku merasa sedikit baikan, apa karena efek dari bercinta yang rasanya seindah ini? Atau aroma dan bunyi pink noise?" desahnya pelan dengan membuang napas dari mulut.
Pink noice memang cukup populer dan ditengarai sebagai terapi tidur mujarab bagi seseorang yang mengalami gangguan kecemasan.
"Ah, aku ingin tidur lagi, tapi aku merasa haus!" gumam Margo.
Pusat tubuhnya masih terasa nyeri, namun dia haus. Mau tidak mau, akhirnya perempuan bermata hezel itu beringsut dari ranjang king size mereka.
Margo pun berjalan dengan hati-hati setelah susah payah turun dari ranjang, perempuan berhidung bangir itu hendak mengambil air putih dari dispenser. Dia menyukai minum air putih hangat saat turun hujan begini.
"Alhamdulillah!" seru Margo setelah menandaskan satu gelas besar air putih hangat.
Merasa sangat puas, Margo ingin segera tidur kembali, tapi sesuatu mendesaknya untuk segara dia keluarkan. Margo ingin pipis!
Seusai buang air kecil, Margo beringsut kembali untuk berada di ranjang empuk mereka. "Pink noise kata orang memberikan efek tenang yang mengantukkan. Aku jadi ingat, sebuah penelitian yang menyebutkan kalau pink noise membantu seseorang terlelap dengan cepat, akibat pengurangan kompleksitas pada gelombang otak. Ah, kurasa setelah tertidur malam ini, aku akan bangun dengan keadaan yang lebih baik besok pagi. Dan wangi hujan ini ... sungguh seperti aroma terapi dari alam yang melegakan. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan? Eh, apa bener gini arinya, ya? Entahlah," gumam Margo setelah berpikir arti dari kitab sucinya beberapa saat, "terima kasih, Tuhan!" seru Margo kemudian, dengan merentangkan kedua tangannya sambil menghirup aroma hujan dalam-dalam, sekaligus oksigen sebanyak-banyaknya.
Kini Margo telah berusaha memejamkan matanya dengan sangat rapat namun, seakan semuanya sia-sia, karena pikirannya yang masih berkeliaran kemana-mana.
"Hmmm, kini aku mengerti kenapa Garda begitu sangat menginginkanku. Garda yang selalu bilang kalau aku selalu menarik untuknya, ya ... meskipun aku belum memberinya anak. Aku kira awalnya aku yang begitu santai, karena toh Garda tak menuntut anak secepatnya, tapi setelah capai mendengar celoteh-celoteh Ibu, kurasa aku sudah harus memikirkan hal itu!" tekad Margo meyakinkan dirinya kalau dia akan mampu memberi keturunan untik Garda suatu saat nanti.
"Seingatku, Garda pernah bilang, aku sudah memberikan yang terbaik untuknya. Dan kabar baik yang kutahu setelah bertemu Garda adalah aku tahu makna dari seks!
Kukira pergaulan bebas di Perancis sudah membuatku tahu, jika seks hanya berupa penyerahan diri seutuhnya pada lelaki. Aku pernah mencoba melakukannya, tapi kekasihku itu malah meninggalkanku. Jadi, aku sampai tak percaya pada lelaki yang hanya mencari seks untuk kepuasan mereka.
Selama ini aku mengira kalau titik tertinggi dalam sex adalah membiarkan lelaki orgasme, aku ingat sewaktu aku sampai frustasi melihat fenomena dimana teman-temanku begitu kecanduan seks itu.
Kenapa aku dulu tidak begitu? Meski pun aku hanya melakukannya dengan satu orang pria yang kukira baik, hiks!" gumam Margo diiringi luruhan air mata yang buru-buru dia hapus dengan bahunya.
"Aku seharusnya sudah mampu melupakan pria brengsek itu!Pria yang meninggalkanku itu! Namun ketika aku bertemu dengan Garda dan melakukan seks dengannya ... ehem, melakukan seks dengan Garda, semuanya berbeda. Garda mengubah semua pikiran bodohku itu.
Mungkin Tuhan memang sudah memasungku untuk Garda. Aku bahkan mencintainya sejak pertama dan rasa ini masih saja sama, sama seperti pertama kali bertemu. Ah, seks!
Aku ingat ketika aku ketakutan saat malam pertama dengan Garda, meskipun dia membuka semua yang membalut tubuhku dengan sangat lembut, ketika aku meronta dan Garda dengan sikap maskulinnya membuka kedua kakiku untuk dirinya. Aku bahkan tidak bisa mengira dan berpikir lagi saat itu. Entah aku yang menariknya atau Garda yang menarikku atau mungkin kami berdua saling menarik serupa maghnet? Yang kuingat adalah seakan-akan aku sudah tersesat sebelum penyatuan itu terjadi."
Margo tertawa dan tawa itu sangat renyah.
"Aku tahu rasa lezat, gurih, nikmat, pokoknya sesuatu yang menyenangkan dan kini aku jadi candu. Seks terasa begitu membahagiakan, di atas semua cita rasa itu semua."
Margo tidak sedang berbohong, dia hanya tengah bermonolog untuk mengenang kembali rasa yang indah itu. Saat melakukannya dengan Garda, Margo seperti roket yang meledak dan dilemparkan berkali-kali ke angkasa. Tersebab saat selesai bercinta itu, Margo yang memejamkam mata, selalu melihat senyum Garda setelah membuka mata hazelnya.
"Ah, aku bahkan mengira, saat itu aku sudah berada di dimensi lain atau tempat yang sangat indah, lalu Garda melemparkan ku lagi ke angkasa, dia melakukannya lagi, melempar ku jauh di atas bintang-bintang. Hmm ... Garda!" gumam Margo mengusap rambut Garda yang sedikit ikal dan berbau shampo beraroma lemon.
Saat malam pertama itu Margo tidak mempedulikan lagi siapa dirinya atau siapa Garda atau sekat yang membatasi mereka; warna kulit, warna rambut, hingga sesuatu yang mungkin saja menjadi penghalang di antara mereka. Tersebab saat melakukannya dengan Garda, Margo merasa bahagia. Margo merasa seperti saling memberi, saling merampok dan mencari sesuatu yang bukan hanya kesenangan semata.
Hanya dengan suaminya itu, Margo bisa merasa saling mencari sesuatu kebahagiaan. Hingga Garda mendapatkan miliknya dan Margo merasa tidak memiliki tulang belulangnya lagi, tersebab Garda serupa mesin penghancur saat melakukan seni berhubungan suami istri tersebut.
"Aku sayang kamu, Margo!" bisik Garda lembut setiap kali selesai melakukannya.
Kini Margo tersipu sendiri, wajahnya merona hanya dengan memikirkan tentang sensasi yang kerap dia cecap bersama dengan Garda tersebut.
Margo terkekeh pelan saat membayangkan kata-kata Garda yang selalu terngiang apik dalam telinganya.
"Jangan biarkan yang telah kusiram keluar dari milikmu, Sayang. Aku suka sekali membayangkan milikku berada di dalam sana!"bisik Garda lagi saat membalut kain segitiga pada pusat tubuh Margo.
Setelah menertawai keadaan dirinya dan menjelajahi sel kelabu otaknya, Margo sadar, kalau pusat dari dirinya terasa dingin. Ya, dia menginginkannya lagi, menginginkan ronde kedua di malam yang dihiasi Tuhan oleh air langit yang bertalu kecil-kecil.