9. Pertemuan Tak Disengaja
Anak-anak mandi lebih awal, selesai adzan asar kami bersiap ke Mall sesuai permintaanku. Kedua anakku sangat bersemangat, Hilda anak ke tigaku juga sepertinya tau kalau mau diajak jalan, dari bangun tidur terus berceloteh.
"Kakek, ikut kami ya?" rengek Daffa mengajak kakeknya.
Kakeknya paham, tidak ikut bukan karena tidak sayang dengan mereka namun memberi kesempatan untuk kebersamaan kami lebih dekat setelah lama tidak pernah jalan-jalan. Kakek memberi ruang untuk kebersamaan cucu-cucu dengan kedua orang tuanya.
"Kakek sama Nenek dirumah saja, Kakek tunggu oleh-oleh ya, Dek. Kakek sudah tua, capek kalau ikut jalan-jalan sama kalian," ucap Bapak sambil tertawa lebar.
"Kami jalannya pelan, Kek, Nek. Ikut saja, Kakak juga penginnya kita semua ikut," ujar Syifa membenarkan ajakan Daffa.
"Bersenang-senanglah kalian, biar nenek jaga rumah," ucap Nenek tertawa renyah, sambil berjalan mengantar kami ke halaman.
"Nenek, rumahnya tidak akan pergi. Tidak perlu di jaga. Seperti rumah Daffa kan? Tidak perlu ada yang menjaga," kata Daffa sontak membuat Neneknya tertawa.
"Kami berangkat dulu ya Pak, Bu," aku pamit sama mertuaku yang sudah seperti orang tuaku sendiri.
"Iya, Sayang. Hati-hati, jangan lengah sama Hilda. Dia sudah pandai jalan, jangan biarkan dia jalan tanpa digandeng," ucap Ibu khawatir.
"Tenang Bu, ada Akram yang menjaga InsyaAllah," jawab Akram.
Kami memasuki mobil, sangat menikmati perjalanan disertai dengan canda tawa anak-anak. Bang Akram tidak mau kalah, terus meledek anak-anak membuat mereka semakin bahagia. Inilah yang ku inginkan, aku nggak mau mereka kehilangan momentum seperti ini. Bang Akram makin seger karena tadi sempat sudah mendapat servis yang memuaskan.
Yang di tuju pertama adalah membeli keperluan dapur dan kamar mandi, seperti orang mau pindahan aku takut nantinya Bang Akram akan membagi waktu dengan Indah di akhir pekan seperti biasa jadi, tak ada waktu buat kami berbelanja. Selesai urusan dapur dan kamar mandi kami menuju tempat fashion anak-anak.
Aku memilih banyak baju, masing-masing anak beli 5 pcs. Baju mereka kebanyakan sudah mengecil tidak layak pakai. Pertumbuhan anak-anak terasa sangat cepat, belum lama beli baju sekarang sudah mengecil.
Ketika memilih baju buat Hilda tanpa sengaja bertabrakan dengan wanita cantik dengan pakaian modis dengan jilbab pasmina menggandeng seorang anak perempuan berusia 4 tahun.
"Maaf, ...."
"Mbak Fitri?" tanya dia.
"Maaf, siapa ya?" aku balik tanya.
"Aku Indah, Mbak," ucap dia. Deg ... betulkah ini indah. Cantik ... pantas Bang Akram mau menikahinya. Bang Akram berjalan mendekati kami sambil menggendong Hilda.
"Indah, sama siapa?" ucapku lembut.
"Jadi ini ya, Mas. Alasan kamu nggak mau pulang kerumah. Padahal jelas-jelas tadi aku meminta di temani jalan-jalan sama kamu!" ucap dia sewot.
Ya Allah begini sikap Indah, dia merajuk didepan umum bahkan dihadapan istri pertama yang baru dikenalnya. Bahkan dia tidak menjawab pertanyaan ku. Aku tersenyum puas melihat sikap Indah, sikapnya yang posesif justru akan lemah jika berhadapan dengan Bang Akram.
"Bang, sini biar Hilda bersamaku," ucapku.
Aku melihat tatapan anak-anak tidak suka dengan wanita di depannya yang sangat akrab dengan ayahnya. Anak-anak mengandeng tangan Bang Akram masing-masing di lengan kanan dan kirinya setelah Hilda berada di gendongan ku, tak memberi ruang sedikitpun untuk Indah.
Aku sengaja diam saja, akan menonton pertunjukan seperti apa yang akan ditampilkan mereka.
"Sayang, Ayah mau bicara dulu sama Tante ini ya?" tanya Bang Akram.
"Nggak boleh, ayahku nggak boleh dekat-dekat sama orang asing!" ucap Daffa.
"Aku bukan orang, asing. Aku ...." ucap Indah mematung. Melihat kode dariku, aku melotot ke arahnya menatap tajam memberi peringatan agar tidak mengatakan kepada mereka.
"Sayang, kalian duluan sama Bunda ya. Ayah ada keperluan sebentar," ucap Bang Akram sangat lembut.
"Tidak! Aku mau ikut Ayah!" protes Syifa. Akram melirik ke arahku meminta pertolongan membujuk mereka.
"Sayang, kita makan dulu yuk. Biarkan ayah kalian berbicara sama Tante itu dulu ya, Bunda mengenalnya kok, bukan orang asing. Tapi itu teman bunda, oke," ucapku lembut agar mereka mengerti.
Palingan Indah mau marah-marah, biar saja. Awalnya aku sudah bersimpati akan menjadi partner, tapi melihat pertemuan pertama kesannya seperti ini aku tidak terima. Lihat saja, kamu bakalan menyerah. Pantas saja selama tiga bulan ini sikap Bang Akram sangat jauh berubah, rupanya wanita seperti ini yang dinikahinya.
"Kalau itu kemauan bunda, oke akan kami ijinkan. Iya kan Kak? Ingat ayah hanya 10 menit, kami tunggu di restoran langganan kita. Ayah ingat 10 menit, Adek tau siapa ayah. Ayah hebat, contoh terbaik bagiku!" ucap Daffa sambil mengajukan jari kelingking sebagai bentuk kesepakatan.
"Iya, Sayang. Ayah janji," ucap Bang Akram sambil menautkan jari kelingkingnya dengan Daffa.
Kami meninggalkan mereka menuju restoran yang tak jauh dari tempat mereka berbicara.
Seperti dugaan ku, Indah sepertinya sedang marah kepada suamiku. Ah ... pertunjukan yang sangat menarik. Anak-anak masih sibuk dengan membuka buku menu, syukurlah mereka tidak memperhatikan ayahnya.
"Bunda, sama ayah pesankan sekalian ya, Kak," ucapku.
"Siap, Bunda."ujar Syifa semangat.
Aku melihat suamiku mengusap wajah sendiri dengan kasar, sangat terlihat Bang Akram menahan kemarahannya. Aku tak tau pasti apa yang mereka perdebatkan. Aku melihat anaknya sampai menangis. Hah ... seheboh apa pertengkaran mereka. Ditempat umum bagaimana dengan harga diri mereka, sudahlah cukup tau saja kelakuan mereka.
"Bunda, kenapa Ayah belum kesini?" tanya Daffa. Tempat duduk mereka memunggungi posisi keberadaan ayahnya. Jadi mereka tak tau kalau ayahnya tak jauh dari tempat mereka berada.
"Tunggulah, Sayang. Bukannya Ayah janji 10 menit. Ini baru 5 menit loh," ucapku menenangkan mereka.
"Awas saja kalau ayah seperti ayah temanku! Ayah temanku meninggalkan ibunya, dan sekarang tinggal sama perempuan lain, Bun. Aku nggak mau seperti temanku," ucap Syifa tampak murung.
"Ayah sayang sama kalian kok," ucapku lembut kepada mereka. Tepatnya aku akan membuat ayahmu menyayangi kalian sepenuhnya.
"Tuh, ayah kesini. Nanti kalau Tante itu ikut duduk bersama kita jaga sikap ya, Sayang. Hormati Tante Indah, hormati orang yang lebih tua. Jaga sikap agar tidak ada keributan ditempat umum. Mengerti kalian? Jangan mudah percaya terhadap orang lain, selain bunda. Oke!" ucapku takut mereka akan terprovokasi ucapan Indah. Mengingat sikap Indah sangat jauh dari kata sopan.
"Mengerti, Bun," ucap Daffa.
Aku berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Aku melihat Indah terus membuntuti suamiku sambil mengomel. Urat malunya kemana? tidak mencerminkan wanita dewasa sama sekali.
"Lihat saja nanti," jawab Syifa enteng, aku termangu mendengar jawaban anak gadisku.