Ringkasan
Perubahan sikap suami yang mendadak, membuat Fitri curiga. Namun, suaminya terus berdalih, sampai akhirnya fakta baru muncul: suaminya telah menikah lagi. Fitri tak tahu harus berbuat apa, haruskah dia membuat suaminya menyesal?
1. Perubahan Akram
[Kamu belakangan ini beda Bang, tiap akhir pekan justru tidak pernah pulang. Kemana sosok penyayang yang selama ini selalu bersamaku. Anak-anak mencarinya, apalagi si kecil selalu menyebut-nyebut namamu. Menangis terus menerus hingga akhirnya tidur karena kelelahan] pesan terkirim ke ponsel suamiku.
[Maaf, Sayang. Abang pekerjaan dari kantor banyak, harus lembur lagi] balas suamiku.
Aku menitipkan anak-anak di tempat mertua setelah mendapat balasan dari suami. Aku bergegas menyetop taxi untuk menuju kantor, 30 menit kemudian sampailah di kantor Bang Akram yang megah. Aku mengenal Bang Akram, melalui perkenalan singkat melalui seorang Ustadzah dengan proses ta'aruf. Hanya dalam waktu 3 bulan aku sudah berstatus menjadi istri Akram. Laki-laki penuh tanggungjawab, berkharisma, berwawasan agama luas. Ya, Bang Akram terkenal laki-laki alim diantara teman-temannya.
Seorang laki-laki berpakaian scurity menghampiriku
"Maaf, cari siapa, Bu?" tanya scurity dengan sopan.
"Mau menemui Pak Akram, Pak,"
"Maaf, ini akhir pekan sudah tidak ada orang di dalam, sudah pulang semua, Bu. Hanya saya dan beberapa teman yang masih tertinggal sebagai petugas keamanan," jelas scurity tersebut.
"Apa tidak ada yang lembur, Pak?" tanyaku lagi.
"Tidak pernah, Bu. Sesekali memang lembur tapi bukan akhir pekan."
Aku terpaku mendengar penjelasan scurity tersebut, lalu kemana suamiku tiga bulan belakangan setiap akhir pekan. Aku tak habis pikir ternyata sudah lama suami membohongiku.
Ku ambil handphone yang di tas, aku segera menghubungi suamiku.
"Assalamualaikum, Dek," terdengar suara dari seberang.
"Wa'alaikumussallam, Abang dimana?" tanyaku.
"Bukannya Abang sudah memberi kabar, Dek. Jika Abang hari ini lembur. Maaf, akhir-akhir ini sering ninggalin keluarga, Dek," jawab suamiku dengan nada penuh sesal.
"Tak apa, semua yang Abang lakukan juga demi keluarga, semoga akhir pekan besok nggak lembur, Bang. Aku lelah, Hilda nggak mau tidur jika Abang nggak dirumah, dia terus menangis sampai kelelahan baru tidur, Bang," aku merajuk sampai menangis.
"Mudah-mudahan, aku matikan mau kerja dulu. Baik-baik dirumah salam buat anak-anak," telpon mati sepihak tanpa menunggu jawabanku. Ya Allah apa yang sedang terjadi, apakah suami sedang membohongiku.
Suamiku sempat ijin untuk poligami namun aku tak mengijinkan, bukan karena menentang syari'at tapi keadaan ekonomi kami bukan kelas atas, gaji suamiku baru cukup buat mencukupi satu keluarga dan tiap bulan memberi sedikit buat mertua, iya ibunya Bang Akram. Aku sering mengatakan boleh poligami, jika kehidupan kita sudah lebih baik. Cemburu jelas ketika berucap seperti itu, namun itu adalah syari'at jadi aku nggak mungkin menentang. Tapi terkadang ada yang hanya mengambil dalil dengan dalih ibadah namun hanya mementingkan syahwat.
Seperti hari-hari sebelumnya ketika suamiku ijin lembur, maka aku dirumah juga lembur begadang dengan tangisan Hilda. Kalimat istighfar berkali-kali keluar dari bibirku, kedua anakku yang besar sudah tidur tinggal kami berdua yang masih terjaga. Digendong, di bopong, dan di ayun. Berbagai cara kulakukan. Mungkin orang lain tidak akan percaya jika tidak melihat langsung, seorang anak kecil usia 2 tahun tidak bisa tidur tanpa kehadiran ayahnya.
Anakku yang besar usia 9 th, yang ke-dua 7 th dan yang ke-tiga 2 tahun. Cukup repot namun ini adalah ladang pahala, sejak hamil aku resign dari pekerjaan. Fokus mengurus keluarga, menikah adalah ladang pahala terpanjang dalam kehidupan ini.
Aku menelpon suami berkali-kali, dengan harapan diangkat dan Hilda mendengar suara Ayahnya menjadi tenang.
"Ada apa, sudah tau aku lembur kenapa telpon!" ucap Bang Arkan marah. "Siapa, Beb?" Terdengar suara seorang wanita manja memanggil. Siapa disana, dimana suaminya sekarang? Aku disini kelelahan, sementara disana sedang berduaan. Bulir-bulir keluar dengan sendirinya dari kedua mataku, sambil terus menimang Hilda yang semakin histeris. Aku yakin Bang Akram mendengar tangis Hilda. Ditutupnya kembali panggilan, tanpa aku menjawab ucapan Bang Akram. Ternyata dugaan ku tidak meleset, suamiku sudah menikah lagi.
Sesakit ini, meski tanpa ijin istri pertama pernikahan tetap sah, aku tau itu. Aku menunggu itikad baik suami untuk cerita, aku mencoba ikhlas dengan ketentuan Allah. Bismillah kamu bisa, rasa sakit ini akan sebanding dengan surga menantimu kelak. Setelah Hilda kelelahan jam menujukan pukul 02.00 dini hari. Aku menutup mata sebentar untuk mengobati lelahku, satu jam kemudian sudah bangun lagi. Aku wudhu untuk melakukan sholat dan lanjut membaca Al-Qur'an sebagai obat gundah.
Aku yakin ibu mertuaku sangat terpukul dengan keputusan Bang Akram, seperti halnya hatiku ini.
Kucoba merenungi nikmat yang telah ku peroleh setiap harinya, ternyata rasa sakit ini hanya sebagian kecil, lebih banyak nikmat dan kebahagiaan yang sudah aku peroleh.
Sebuah kata ikhlas ringan diucapkan tapi kenyataannya begitu berat dijalankan.
Adzan subuh berkumandang, aku melanjutkan sholat subuh kupanjatkan doa agar aku diberikan bahu yang kuat, hati yang lapang, dan sabar dengan ketentuan Allah.
Sebelum Hilda terbangun aku harus segera mengurus keperluan mereka, sejak menjalani peran menjadi seorang ibu aku harus kerja serba cepat, mandi cepat, makan cepat, dan pokoknya serba cepat.
Menunggu hari esok rasanya begitu lambat, aku ingin mendengar penjelasan langsung dari suamiku. Aku membangunkan Syifa dan Daffa untuk melaksanakan sholat subuh, meskipun belum baligh namun sudah dibiasakan sholat lima waktu. Pertama yang ditanyakan anakku seperti biasa, "Dimana Ayah, Bun?" tanya Syifa.
"Ayah masih kerja, Sayang," jawabku tanpa melihat kearahnya.
"Kerja terus, Daffa kangen sama Ayah," ucap Daffa merengek.
"Anak-anak bunda, baca doa bangun dulu, habis itu ambil wudhu," titah ku lembut mengalihkan perhatian mereka dari Ayahnya.
"Iya bunda, Sayang," ucap keduanya, mereka melipat selimut masing-masing lalu mencium ku satu persatu. MasyaAllah bahagia dititipi amanah Soleh Solehah, kadang aku berfikir apa yang dicari Suamiku begitu menggebu ingin poligami. Meskipun anakku tiga cukup ribet namun soal penampilan dirumah selalu ku perhatikan.
Lamunanku membawaku pada obrolan 4 tahun lalu dengan Bang Akram.
"Kamu tidak kurang suatu apapun, Dek. Abang hanya ingin mendapat pahala lebih dengan menjalankan Sunnah menikah lagi. Bisa membahagiakan 2 wanita adalah pahala melimpah," jelas Bang Akram.
"Aku tau, Bang. Tapi apa nantinya bisa adil?"
"Jangan menentang syari'at dosa loh. Kamu harus percaya sama suamimu InsyaAllah bisa adil, Sayang," Bang Akram berusaha meyakinkan.
Aku kehilangan kata-kata. Dimana suami yang ku kenal selama ini? Apakah dia yakin mampu adil untuk dua keluarganya? Belum lagi, dia masih hangat-hangatnya sebagai pengantin baru. Ya Allah, kuatkanlah aku.
Dengan tercekat akupun bertanya padanya, "Apakah seyakin itu, Bang? Kewajibanmu bertambah besar. Anak kita sudah sekolah. Bagaimana kebutuhan Ibu dan Hilda? Apakah Abang benar-benar mampu berbuat adil?"
Bang Akram terdiam, namun rahangnya menegang. Aku begitu menanti jawabannya.