8. Permintaan Fitri
"Cinta? Aku sendiri sekarang bingung, apa arti dari cinta?"
Aku tarik nafas panjang kembali, "Aku sama seperti wanita pada umumnya, Bang. Sakit ketika ada penghianatan, kecewa jika dibohongi, marah jika dikecewakan, lemah jika dihina, rapuh jika ditinggalkan. Namun aku sadar, selama ini aku terlalu berharap kepada manusia jadi hasilnya adalah kekecewaan, berharap dengan Abang yang akan menjadi sosok imam yang setia pada kehidupan rumah tanggaku, berharap kepada Abang yang menjadi pemimpin sempurna, mencintaiku dengan apa adanya tanpa melibatkan wanita lain dalam hidup Abang. Sekarang aku sadar, berharap pada manusia hanya akan mendapat kecewa. Aku sekarang pasrah kepada sang pemilik hati ini untuk senantiasa bisa ikhlas, dan berharap hanya kepada Allah. Aku sudah ikhlas sekali pun Abang meninggalkanku kemudian memilih hidup bersama Indah nantinya. Aku akan berusaha menjalani kehidupan ini dengan normal, apalagi hidup di dunia hanya sebentar, sudah disebutkan bahwa rata-rata umat Rasulullah berumur 60 an, seperti beliau meninggal pada saat itu. Saat ini usiaku sudah 33 tahun itu artinya ... artinya jatah hidupku di dunia ini hanya tinggal sedikit. Sudah lebih dari separuh hidupku telah aku jalani. Bukan saatnya lagi aku harus merengek, menangis karena sesuatu miliki ku diambil orang lain."
Mendengar ucapanku yang sangat panjang, suamiku langsung merapatkan duduknya di sampingku.
"Maaf, ... aku sungguh malu dengan sikapku, aku tidak akan meninggalkan kamu kecuali maut yang memisahkan," ucap Bang Akram memelukku erat, kami masih di kamar untuk menidurkan Hilda tadinya.
"Bang, aku hanya meminta tolong jangan jauhi anak-anak. Kamu boleh menjauhiku, kamu boleh meninggalkanku tapi tolong jangan jauhi mereka, jangan tinggalkan mereka jika nantinya kamu lebih memilih Indah. Aku sadar aku sudah terlalu tua jika dibandingkan dengan Indah. Maaf ya Bang, aku tak seasyik istri barumu," kalimat demi kalimat terlontar begitu saja.
"Jangan ngomong seperti itu, Sayang. Kamu sangat baik, akulah yang terlalu serakah. Akulah yang kurang ajar tidak bisa bersyukur dengan karunia Allah yang begitu sempurna," Bang Akram memujiku.
Andaikan kalimat pujian itu keluar dari bibirmu sebelum hadirnya Indah, tentu hatiku sedang berbunga-bunga.
"Jangan berlebihan, aku tidak akan tersanjung dipuji seperti itu. Karena itu sangat jauh dari kenyataan. Manusia sempurna hanya ada pada diri Rasulullah, aku sangat jauh dari kata baik, apalagi sempurna," aku mencoba mengurai pelukan dari Bang Akram.
"Biarkan seperti ini dulu, Sayang. Aku ingin menenangkan diri atas rasa bersalahku sama kamu, maaf," Bang Akram terus memelukku dengan posesif.
"Jangan seperti ini, Bang. Aku tidak nyaman, sesak. Rasa bersalah muncul setelah ketahuan bukan? Jika itu memang betul rasa bersalah maka, kamu tidak menunggu ketahuan baru meminta maaf," ucapku pada suamiku.
"Sayang, jangan begitu. Aku sangat mencintai kamu, aku tak bisa pisah. Jangan pernah berfikir untuk menjauh dari suamimu ini ya, Sayang."
"Jadi kan, nanti kita belanja?" aku mengalihkan pembicaraan yang sudah mulai ngelantur.
Aku takut jika anak-anak akan kecewa jika tidak jadi jalan-jalan. Meskipun rasa ini tidak bisa aku bohongi, kalau aku itu sakit hati, cemburu, kecewa dan marah. Tapi lagi-lagi semua demi anak, mudah-mudahan Allah memberi kekuatan.
"Maaf, uang kamu masih pegang kan? Uang Abang habis," ucap Bang Akram terlihat sangat malu.
"Masih, Bang. Uang dari Abang 3 bulan ini sangat hemat kita di rumah terus, tidak pernah kemana-mana. Nanti sekalian aku mau beli baju buat anak-anak, kasihan sudah pada kekecilan."
"Memang uangnya ada, Dek?" tanya Bang Akram penasaran.
"Ada, Bang. Tenang saja, Abang tinggal antar kami dan temani kami, bendahara sudah siap dengan keuangannya," ucapku terkekeh.
"Kamu bisa aja, Sayang," ucap Bang Akram sambil tertawa lepas.
"Bang, jangan keras-keras. Hilda tidur," ucapku menegur Bang Akram.
"Ups ... maaf," kali ini hanya menyunggingkan senyum terbaiknya, sosok seperti inilah yang ku kenal.
"Iya kamu pimpinannya, aku bendahara," aku terkekeh.
Aku sudah berjanji kepada diri sendiri, Bang Akram akan menyesal dengan menduakanku. Aku akan bertekad akan meredam emosi, menjadi sosok yang mampu bertahan di tengah badai kehidupan. Menghadapi badai kehidupan kuncinya adalah dengan kelembutan, dengan kebaikan. Aku akan bertahan demi anak-anak, mereka tidak boleh kehilangan sosok Ayah.
Begitu juga menghadapi sikap Bang Akram, aku hanya perlu mengalah di awal. Setelah simpul cintanya kepadaku tidak lagi bisa lepas, baru aku akan bertindak.
Biarlah aku yang menahan sakit, tapi tidak dengan anak-anakku. Semalam terlintas dalam pikiran untuk mengakhiri hubungan dengan Bang Akram, insyaallah aku mampu menghidupi mereka dengan penghasilanku dari hasil tanam saham di tempat suamiku bekerja.
Sengaja aku tidak mengatakan perihal aku yang memiliki saham karena ada satu alasan yaitu aku tidak mau menjadi wanita lemah. Jika suatu saat pasangan berpaling, aku tidak akan gila karena punya uang untuk menyenangkan diri sendiri seperti shopping, nyalon, menyambangi anak yatim, dan juga jalan-jalan dengan anak-anak. Menyembunyikan hal itu bukan perkara yang dilarang dalam Islam, harta istri maka tidak ada hak suami untuk tau. Bahkan, mobil aku juga punya, masih terparkir rapi di rumah orang tuaku. Mobil itu hanya sesekali dipakai sama kakakku, karena mereka juga punya mobil masing-masing.
Meskipun aku berduit, tapi aku tidak boleh egois, kebahagiaan anak-anak adalah prioritas. Jadi, sudah aku putuskan aku akan menjadi istri yang baik. Istri yang solehah dan yang jelas servis di ranjang akan selalu aku jaga.
Kebutuhan utama seorang suami dari seorang istri adalah urusan ranjang. Jika urusan ranjang terpenuhi maka hatinya akan sulit berpaling, aku akan tetap agresif seperti sebelumnya.
"Bang, aku rebahan dulu ya? Pengin meluruskan badan," ucapku dengan senyum tulus ku.
"Ikut ya, Sayang. Lumayan bisa sambil peluk istriku," ucap suamiku. Ah ... apakah dia bersikap manis seperti ini juga dengan istri keduanya?
"Manis banget sih Abang, jadi tidak rela kalau Abang jauh dariku," ucapku memancing.
"Sayang, begitu juga dengan Abang. Kamu jelas menyangka kalau aku lagi mabuk cinta dengan Indah, tapi ... "
"Cukup ... jangan kamu sebut nama dia dulu saat ini. Aku tidak rela bibirmu menyebut nama wanita lain, Bang," ucapku sedih. Nah kan?
Kenapa mesti mancing-mancing, paling ujungnya aku juga yang meradang? Hihi ... mencoba tegar tapi tetap saja merasa tercubit, apakah itu artinya aku masih plin plan dengan kata-kataku sendiri? Ya Allah aku bimbang dengan solusi yang aku pikirkan.
Langkah apa yang mesti akan aku ambil, semua masih berkecamuk di dalam otak.
Akankah aku menerima seterusnya?
Menerima dengan mengatur strategi?
Atau menjauh dari kehiidupan suamiku?