Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Alice

Kedua bilah pedang melesat dengan cepat ke arah Alice dan mengitari tubuhnya. Walau nampak terkejut dan ketakutan, gadis itu tetap diam dan mengamati pedang yang tebang mengitarinya.

Brakk!

Tiba-tiba saja pedang terjatuh, jatuhnya kedua pedang kayu membuat Akara terbangun.

"Ahh Alice, ada apa?" Akara bangun dan mendekati adiknya yang masih mematung.

"Kok pedangku di situ?" Ia lalu mengambil pedang kayu miliknya yang berada di bawah kaki adiknya.

"Maaf kak," ujar Alice yang terlihat sedikit takut.

"Tidak apa-apa," jawab Akara sambil tersenyum lebar, agar adiknya tidak merasa bersalah lagi.

"Itu kak, mama sudah menunggu di ruang makan,"

"Oh ayo!" Ia langsung meraih tangan adiknya dan bergegas menuju ruang makan.

Sesampainya di sana, ia langsung melepaskan tangan adiknya dan berlari ke arah ayahnya. Dengan cepat ia ayunkan pedangnya ke arah tengkuk ayahnya yang sedang duduk.

Tass!!

dalam sekejap mata, mama Violet sudah ada di sampingnya dan menangkis pedangnya menggunakan jari. Ia sangat terkejut, namun yang lainnya tetap melakukan aktivitas seakan tidak terjadi apa-apa.

"Tuan Akara, jangan bermain pedang di dalam rumah." Mama Violet secara halus dan perlahan mengambil kedua pedang anaknya, lalu mendorongnya menuju tempat duduk di samping ayahnya.

"Masih terlambat seribu tahun untuk bisa menyerang ayahmu, Akara," ujar ayahnya sambil menengok sekilas ke arah anaknya.

"Tidak peduli! Akan aku lampaui ayah dan menjadi master bela diri terkuat di dunia!" teriaknya, membuat ketiga mamanya tersenyum, sedangkan ayahnya tertawa.

"Hahaha, coba saja keluarkan aura ranahmu," ujar ayah Al yang wajahnya melihat ke depan, namun matanya mengintip ke arah anaknya.

Merasa tertantang, anak itu langsung mengeluarkan aura ranahnya. Energi seperti aliran air di udara terserap dengan cepat ke dalam tubuhnya, lalu muncul bintang keemasan di belakang pundaknya.

"Hanya satu bintang!?" Ia sontak panik dan juga kesal begitu menyadari ranahnya turun.

"Kemarin 3 bintang!" serunya lagi.

"Sudah-sudah." Mama Lia menghentikannya sambil membawa mangkuk berisi makanan.

"Makan dulu, nanti mama latih," lanjutnya sambil meletakkan mangkuk di atas meja makan.

"Terima kasih mama Lia, tapi ayah yang harus melatihku!" ujar Akara sambil menunjuk ke arah ayahnya.

"Akara, mama Lia kalau mengajar sangat bagus lho, banyak teknik-teknik yang sangat menakjubkan," ujar mama Rani sembari meletakkan piring berisi nasi ke depan anaknya.

"Benarkah!?" Ia dengan semangat bertanya, namun kemudian menunjuk ke arah ayahnya lagi.

"Tapi ayah yang harus melatihku terlebih dahulu!"

"Iya-iya, nanti ayah latih." Ayah Al meraih jari telunjuk anaknya dan melipatnya, lalu meluruskan jari kelingkingnya dan dikaitkan dengan jarinya untuk membuat janji.

Setelah selesai sarapan bersama, Akara bersama ayahnya keluar menuju halaman depan rumah. Begitu keluar, ia merasakan udara dingin nan sejuk dengan kabut tipis. Di depan rumah sudah ada halaman dengan latar batu, halaman berbentuk lingkaran dengan diameter belasan meter. Di pinggir halaman itu, ada rumah yang berjejer mengitarinya.

Terlihat juga beberapa warga yang berlalu lalang, mereka langsung menyapa sambil menundukkan kepalanya.

"Tuan Al,"

"Permisi tuan Al,"

"Ayah?" Akara ingin bertanya kepada ayahnya, namun ia terkejut saat berbalik badan dan melihat ke bagian belakang rumah. Segera ia berlari menuju ke samping rumah.

Mereka ternyata berada di atas pegunungan, tepat di belakang rumahnya ternyata adalah lereng pegunungan. Hamparan hutan yang sangat luas terpampang begitu indah dari sana. Hutan tropis yang berada di lembah, diapit oleh dua pegunungan tinggi.

"Kerenn!" seru Akara karena kagum memandangi keindahan alamnya.

"Tentu saja, kamu belum melihatnya dari lantai dua rumah kita 'kan? Di sana jauh lebih indah," ujar ayah Al kepada Akara.

"Akara? Sayang? Di mana kalian?" Mama Lia keluar rumah, namun tidak menemukan keberadaan anak dan suaminya.

"Di sini," jawab ayah Al, lalu meraih tangan anaknya.

Di samping rumah dengan jarak beberapa meter saja, ada sebuah bangunan yang cukup besar. Mereka segera bergegas ke sana, disusul oleh Alice dan mama lainnya. Bangunan kosong untuk tempat latihan, juga terlihat sebuah altar dengan tungku pemurnian di atasnya.

Akara dan ayahnya saling berhadapan dengan jarak beberapa meter, sedangkan Alice dan keempat mamanya menonton dari atas altar pemurnian.

"Ayo maju!" ujar ayah Al sambil berposisi kuda-kuda bertahan.

Akara kemudian berlari, sambil menenteng kedua bilah pedang kayu miliknya. Diayunkan pedangnya dengan gerakan memutar, lalu disusul oleh tendangan. Semuanya dapat dihindari, bahkan kakinya dijegal setelah melakukan tendangan.

Brakk!!

Anak itu tersungkur, lalu melihat ke arah ayahnya dengan kesal, segera ia berdiri dan berlari lagi. Kini ia mengayunkan kedua pedangnya secara membabi-buta, namun selalu berhasil dihindari oleh ayahnya sambil melemparkan senyuman.

“Fokus pada lawan!" Ayah Al menghindar ke samping dan memukul lengan Akara, namun anaknya itu langsung menebas ke arahnya.

"Arahkan serangan dengan tepat!" Ayah Al hanya mundur satu langkah untuk menghindarinya. Membuat anaknya tambah kesal, sampai-sampai sepenuhnya dikendalikan oleh emosi.

"Akhhh!" Ia ayunkan kedua pedangnya dari atas menuju ke arah ayahnya.

Lagi-lagi ayah Al hanya bergeser satu langkah untuk menghindar, lalu menarik salah satu tangan anaknya dan memiting di belakang tubuhnya. Akara di dorong hingga tersungkur ke lantai dengan satu tangan terkunci.

"Akhh! Sakit! Lepaskan! Jangan gunakan cara pengecut!"

"Ingin menjadi master bela diri terkuat? Kamu saja tidak bisa mengendalikan emosi, masih ingin menjadi master bela diri terkuat!?" ujar ayah Al sambil mengunci tangan Akara karena selalu terbawa emosi.

"Memangnya apa yang harus aku lakukan!? Ranah ayah jauh lebih tinggi dariku!" teriaknya dengan sangat kesal.

"Terus saja emosi!" Ayah Al menaikkan kuncian di tangannya, hingga membuat anaknya mengerang kesakitan.

"Akhh!"

Di atas altar pemurnian, Alice menarik lengan baju mamanya, dan nampak begitu khawatir dengan keadaan kakaknya.

"Mama, kak Akara?"

"Tenang cantik, kakakmu tidak apa-apa," ujar mama Serin sambil mengusap kepala anaknya.

"Rani, sudah aku duga kalau ajaranmu asal-asalan, kasihan tuan muda Akara." Mama Violet yang hemat bicara, kini mengungkapkan pendapatnya.

"Akhh, sakit sekali mendengar ucapan itu darimu," jawab mama Rani penuh candaan.

"Kekuatan tidak selalu menjadi yang utama! Kendalikan emosimu, perhatikan lawan dengan baik, lalu pelajari. Jangan malah emosi dan menyerang sembarangan!" Ayah Al melepaskan kuncian tangannya, lalu berdiri. Akan tetapi, anaknya langsung berbalik badan dan menendang kaki ayahnya.

Tendangannya berhasil mengenainya, namun ayah Al tidak bergeming sama sekali.

"Siapa yang menggunakan cara licik?" ujar ayah Al sambil tersenyum.

"Memperhatikan lawan dan melakukan serangan dengan tepat," ujar Akara mengulangi nasihat ayahnya sambil berusaha berdiri.

"Sepertinya Akara memang harus bersamaku," ujar mama Lia kepada mama Rani.

"Ah, tentu! Tolong ajari anakku dengan baik! Hehehe." Mama Rani malah merasa senang akan hal itu.

Saat menghunuskan pedangnya, Akara dipukul menggunakan siku lengan pada punggungnya.

Buggh! Brakk!!

Akara kembali tersungkur, ia mengingat kembali kejadian saat melawan Cor Beton. Kebiasaannya merunduk sambil menghunuskan pedangnya malah menjadi kelemahannya.

Ia berdiri kembali, lalu menghunuskan pedangnya. Akan tetapi, ia hanya menghunuskan satu pedangnya, sedangkan pedang satunya bersiap mengayun dari arah belakang.

Slepp!!

Tangan Akara ditangkap oleh ayahnya, namun ia langsung mengayunkan pedang yang ada di belakang. Lagi-lagi pedangnya ditangkap, ia kini kebingungan karena kedua tangannya ditangkap. Tidak kehabisan akal, ia mengayunkan kakinya ke arah perut ayah Al, membuat ayahnya terdorong dan melepaskan tangannya.

"Sepertinya ayah harus mulai serius," ujar ayahnya yang langsung melesat ke arah anaknya dan memukul perutnya.

"Akhh!" Akara merintih kesakitan hingga membungkuk, namun malah memeluk lengan ayahnya.

"Bagian belakangmu." Ayah Al kini menggunakan tangan kirinya untuk memukul punggungnya.

"Akhh!" Akara hanya bisa berteriak kesakitan setelah terkena pukulan, lalu melepaskan pedangnya dan melancarkan pukulan. Dirinya kembali dikendalikan oleh amarah dan memukul dengan berantakan.

Ayah Al hanya menghindar, lalu memukul lengan anaknya. Kegiatan itu terus berulang karena Akara tidak kunjung jera.

"Mulai sudah," ujar mama Selen begitu mendengar teriakan anaknya yang emosi sekaligus kesakitan berkali-kali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel