Ringkasan
Akara, seorang anak yang memiliki ambisi kuat untuk menjadi master aura terkuat menemui titik tumpulnya. Saat pembukaan aura ranah, ia tidak dapat memadatkan energinya, bahkan satu bintang energipun. Pemadatan aura ranah yang seharusnya dapat dilakukan setiap orang, namun tidak dengan dirinya. Ejekan dan tatapan yang mengasihaninya, membuat Akara kesal dan malah tambah memantapkan dirinya. Persetan dengan bakat, persetan dengan takdir! Gelar master aura terkuat akan aku miliki bagaimanapun caranya! Semua itu bukan karena bakat, tapi dengan kerja keras dan strategi yang matang.. Kalian yang dianggap jenius yang berbakat, akan aku buat tidak berkutik melawanku! Akan aku buat takdirku sendiri! Walaupun harus melawan Dewa sekalipun, pasti akan aku lakukan dan akan aku lampaui! Perkataan emosional dari seorang bocah, namun ternyata bukan isapan jempol belaka. Mereka tidak tau siapa dirinya sebenarnya. Orang yang bahkan ditakuti oleh seorang Dewa sekalipun. Masa lalu dan masa depan mampu ia kendalikan dengan mudahnya. Lalu kenapa dia ada di dunia ini? Siapakah dia sebenarnya yang saat ini hanya dianggap sebagai sampah? Penguasa Dewa Naga, tidak hanya menjadi pemimpin para Naga, namun juga para Dewa Naga yang eksistensinya ditakuti di berbagai alam semesta.
1. Ujian Bakat
Bocah laki-laki berumur 7 tahun yang membawa sepasang pedang kayu hitam di belakang pundaknya langsung berlari, naik menuju altar dan pemadatan aura ranahnya dimulai. Saat pria penguji mengulurkan tangannya, mulailah menyala ukiran sajak pada altar batu. Para anak-anak sedikit terkejut, namun segera kagum saat melihat cahaya pada altar. Cahaya pada ukiran cahaya semakin terang, diiringi oleh raut muka penasaran anak-anak di sana. Namun, tiba-tiba saja semua cahaya itu padam seketika, bersamaan dengan padamnya ekspektasi mereka.
"Apa yang terjadi!?"
"Tidak muncul bintang sama sekali? Apa seburuk itu bakatnya?"
"Apa dia memang tidak memiliki bakat sama sekali?"
Semua anak menjadi bingung sekaligus panik, begitu juga sang penguji. Namun, Akara malah mengetuk-ngetuk altar menggunakan pedang kayu miliknya.
"Paman, benda ini tidak kuat menampung kekuatanku!" serunya kepada pria paruh baya yang melakukan pengujian.
"Ganti benda yang lainnya!" lanjutnya.
"Altar ini sudah ada dari ratusan tahun yang lalu, tidak mungkin rusak begitu saja," ujar pria penguji sambil mengamati sajak yang terukir pada altar.
"Karena sudah tua itu jadi rusak." Akara seakan tidak terjadi apa-apa, ia masih saja tenang, kini anak itu malah duduk bersila di atas altar.
"Bocah, kau turunlah terlebih dahulu!" Pria penguji mengusir Akara untuk turun, lalu memanggil peserta selanjutnya.
"Nomor urut selanjutnya!"
Akara segera turun, bersamaan dengan naiknya anak selanjutnya. Dengan santainya Akara duduk di tangga dan membelakangi altar pengujian.
"4 bintang energi! Lulus!" suara pria penguji kembali terdengar dan Akara langsung berdiri lagi dan melompat ke atas altar.
"Aku lagi!" teriaknya kepada pria penguji.
Tanpa menjawab, pria penguji kembali mengulurkan tangannya saat Akara sudah berdiri tepat di tengah altar. Cahaya kembali muncul dari ukiran sajak pada altar, membuat anak kecil itu tersenyum lebar. Akan tetapi, takdir berkata lain, cahaya pada altar kembali padam. Anak itu sontak tercengang, mematung memandangi keadaannya yang begitu memilukan. Aura ranah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, namun tidak bisa dimiliki olehnya.
"Paman, kenapa seperti ini lagi!?" Anak itu langsung berteriak kesal, tangannya mengepal erat hingga terlihat gemetaran. Suasana saat itu langsung sunyi, anak-anak lainnya juga merasa bingung dengan apa yang terjadi. Tidak ada yang menyadari sama sekali bahwa langit kala itu berubah menjadi gelap karena mendung.
"Maaf, sepertinya kamu tidak memiliki bakat sama sekali," ujar pria penguji, tersirat rasa penyesalan pada wajah paruh bayanya.
"Bakat apa!?" Akara berteriak sangat keras, bocah laki-laki berumur 7 tahun itu begitu kesal hingga mulai meneteskan air mata.
"Aku akan menjadi master Aura terkuat! Apa-apaan dengan benda rusak ini!?" lanjutnya.
"Semangatmu memang bagus nak, tapi bakatmu sudah ditentukan oleh takdir. Tidak bisa diubah lagi." Pria penguji perlahan mendekati Akara yang sedang menangis dan mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala anak kecil itu.
Plakk!!
Dengan sekuat tenaga, ia menepis tangan pria paruh baya itu dan sontak membuat semua orang terkejut. Tatapan matanya yang tajam karena kesal, kini terhentak seakan ada yang menusuk tubuhnya, ia melihat ke arah anak-anak lain yang tengah merasa kasihan kepadanya. Anak-anak itu mengernyitkan dahinya, mengasihani dirinya akan bakatnya.
"Persetan dengan bakat! Persetan dengan takdir! Gelar master Aura terkuat akan aku miliki bagaimanapun caranya! Semua itu bukan karena bakat, tapi dengan kerja keras dan kepintaranku!" Akara berteriak dengan lantang, lalu mengangkat pedang di tangan kanannya ke arah anak-anak lainnya. Tangisannya mereda, dan tangan kirinya kini mengusap sisa air mata yang mengalir di pipinya.
"Kalian yang dianggap jenius berbakat, akan aku buat tidak berkutik melawanku! Akan aku buat takdirku sendiri! Walaupun harus melawan Dewa sekalipun, pasti akan aku lakukan dan akan aku lampaui!" teriaknya lagi, lalu berjalan pergi meninggalkan altar batu. Tatapan mata yang tajam terus melihat ke depan, tanpa memperhatikan pandangan anak-anak lainnya.
Semuanya benar-benar sunyi kala itu, tidak ada yang mengeluarkan suara sama sekali selain langkah kakinya. Langkah kaki yang mantap terdengar sangat jelas, namun kemudian terdengar lebih cepat saat ia berlari meninggalkan akademi. Kepergiannya dibarengi oleh turunnya hujan yang begitu lebat dan juga petir yang menyambar-nyambar
...
Sungai Oll
Sungai selebar puluhan meter yang bersanding dengan pegunungan Vodor. Akan tetapi, keduanya saling menjauh karena adanya kota Oll Hilir. Kota ini berada di tengah-tengah Sungai besar Oll dan pegunungan Vodor yang begitu tinggi.
Masih dengan muka yang kesal, Akara memasuki hutan dan berjalan di pinggir sungai Oll. Pepohonan dan tanah sudah begitu basah, terguyur hujan yang kini sudah mulai terang. Tubuh anak kecil itu juga sudah basah, ia terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar, seolah-olah tanpa tujuan, namun akhirnya ia tersadar saat melihat seseorang berjalan di atas tebing.
Tebing dengan tinggi belasan meter, tepat di sisi sungai, ada seorang wanita dengan gaun merah muda dan mengenakan topeng berbentuk wajah laki-laki dengan kumis. Walau sekelilingnya telah basah karena terguyur hujan, gaunnya masih kering dan merumbai indah karena tersapu angin. Ia berjalan begitu anggun di atas tebing, seolah meniti sebuah tali, ia merentangkan kedua tangannya untuk menjaga keseimbangan.
"Woi! Bahaya!" Akara sontak panik saat wanita itu terus berjalan walau hampir mencapai ujung tebing. Benar saja, wanita itu terus berjalan hingga terjatuh dari tebing. Posisi jatuhnya tetap berdiri tegap, meluncur menuju sungai di bawahnya.
Akara tambah panik, ia langsung melompat begitu mencapai tempat paling dekat. Setelah anak itu menceburkan diri, wanita tadi terjatuh sangat kuat hingga menyebabkan ombak di sungai. Walau arusnya cukup tenang, tapi Akara tetap kesulitan berenang saat tersapu oleh ombak dari jatuhnya wanita tadi.
Karena terus terdorong ombak, ia menarik napas panjang, kemudian menyelam ke Dalam air. Ia membuka matanya di Dalam air, dan melihat wanita tadi yang terlihat tidak bisa berenang dan panik karena tenggelam. Tanpa basa-basi, ia langsung berenang ke arahnya, lalu mengambil udara lagi sebelum menyelam dan meraih tangannya.
Setelah berhasil meraih tangan wanita itu, ia langsung berenang ke permukaan. Tubuhnya ditarik ke pinggir sungai sebelum ia tersungkur, lalu membalikkan badannya. Keduanya terengah-engah kehabisan napas dengan tubuh basah kuyup. Setelah beberapa detik, ia berusaha duduk dan menatap wanita itu dengan kesal. Gaun merah muda yang ia kenakan, kini melekat pada tubuhnya karena basah, memperlihatkan lekukan indah tubuhnya yang ramping dengan buah dada sedang, namun setengah bulat sempurna.
"Apa yang kau lakukan!?" teriaknya tepat di depan muka wanita bertopeng.
"Jatuh," ujar wanita bertopeng dengan masih terengah-engah. Suara seorang gadis yang begitu lembut terdengar sangat indah walau hanya satu patah kata.
"Kalau itu aku juga sudah tau! Kenapa bisa jatuh!"
"Jatuh, karena berjalan di atas tebing," jawabnya seakan-akan tanpa beban, membuat Akara semakin kesal.
"Akkhhh!!" Akara berteriak sangat kesal, lalu terhentak kaget, meraih punggungnya saat menyadari pedang kayu miliknya telah hilang.
"Pedangku!?" Ia langsung berdiri dan mengamati ke segala penjuru, namun masih saja tidak menemukan pedangnya.
Setelah itu ia terdiam, pandangannya tertuju pada sungai di depannya. Tanpa basa-basi, ia langsung melompat kembali ke sungai. Setelah mengambil napas panjang, ia menyelam lagi ke Dalam sungai.
Wanita bertopeng tadi sekarang duduk, mengamati air bergelombang yang mulai tenang kembali. Tidak lama kemudian anak itu muncul ke permukaan, menghirup udara segar sambil berenang ke pinggiran.
"Dapat?" ujar wanita bertopeng, padahal jelas-jelas anak itu kembali dengan tangan kosong.
"Dapat dilihat bukan!?" jawabnya dengan berteriak sambil menatapnya dengan kesal.
"Ohh… Siapa namamu?"
"Akara," jawabnya dengan suara lebih tenang, namun raut mukanya masih kesal.
"Akara? Kalau aku panggil saja Si Cantik," ujar wanita bertopeng sambil menunjuk kedua pipinya dengan begitu imut.
"Tidak ada yang nanya! Cantik dari mana? Topeng jelek begitu," ujar Akara sambil menunjuk ke arah muka wanita bertopeng.
"Aku cantik!"
"Jelek!"
"Cantik!" Wanita bertopeng yang tadinya cuek, ternyata berperilaku sangat menyebalkan hingga beradu mulut dengan anak kecil.
Karena terlampau kesal, Akara dengan cepat menarik topengnya: "Jele..?" Ia terdiam sesaat begitu melihat wajahnya.