Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Aura Alkemis

Akara kini berada di atas altar pemurnian bersama dengan mama Lia dan juga Alice, sedangkan yang lainnya sudah tidak ada di sana.

"Mama buatkan ramuan dulu." Mama Lia terlihat sedang menggerus beberapa tanaman obat menggunakan cobek kecilnya.

"Terima kasih mama Lia,"

"Kak, tidak apa-apa?" ujar Alice kepada kakaknya yang telah telanjang dada, memperlihatkan luka lebam di tubuhnya.

"Ahahaha sudah biasa, latihan dengan mama sering membuatku seperti ini," ujarnya dengan riang, padahal banyak luka lebam di tubuhnya.

"Kalau terbiasa kenapa tidak bisa mengontrol emosimu?" ujar mama Lia yang masih menggerus tanaman obat.

"Habisnya, ayah menjengkelkan!"

"Kamu ini!" Mama Lia mendekati Akara, lalu mengoleskan ramuan obat yang ia buat pada lukanya.

"Agh." Ia sedikit meringis menahan sakit, sedangkan adiknya terus melihat ke arah mama Lia yang tengah mengoleskan ramuan.

"Mama, tolong ajari aku tentang obat-obatan!" seru Akara di tengah-tengah pengolesan ramuan.

"Yakin?" ujar mama Lia sambil tersenyum.

"Tentu!"

"Nanti mama Lia ambilkan buku buat kamu pelajari," ujar mama Lia.

"Lalu, itu buat apa?" Akara kini menunjuk ke arah tungku pemurnian di sampingnya, tungku pemurnian yang ukurannya sebesar tong besar.

"Akan mama ajari pemurnian setelah kamu memadatkan aura 1 bulan energi ranah Maskumambang,"

"Berarti harus 10 bintang dulu?"

"Iya, juga ada satu jenis aura lagi yang harus kamu pelajari sebelum melakukan pemurnian,"

"Aura apa mama?"

"Aura alkemis, aura berwarna ungu di bawah kaki dengan lambang alkimia untuk membantu mempermudah pemurnian. Bisa juga digunakan untuk mengendalikan dan memodifikasi energi yang digunakan untuk menyerang." Mama Lia mengoleskan sisa ramuan pada lantai dan menggambarnya. Bila aura ranah memiliki titik pusat berupa binatang, aura alkemis titik pusatnya sebuah lingkaran kecil. Setiap levelnya bertambah, tambah juga 1 lingkaran dengan pola alkimia yang mengitari titik pusat.

"Sama seperti ranah, ada berbagai level aura, tingkatannya berdasarkan jumlah lingkaran. Ini contoh aura alkemis level 2, kedua lingkaran ini berputar mengitari pusatnya," lanjutnya sambil menunjuk ke arah 2 lingkaran di bagian luar.

"Keren!" seru Akara begitu melihat gambaran mamanya.

"Kalau dibandingkan aura ranah, memadatkan aura alkemis berkali-kali lipat lebih susah," ujar mama Lia sambil mengusap kepala Akara.

"Aku pasti bisa!" seru Akara tanpa beban.

"Kamu ini memang anaknya Rani!"

"Hehehe,"

..

Hari berikutnya, Akara berlatih bersama mama Violet. Menggunakan satu pedangnya, mama Violet melesat dengan cepat mengenai target yang berupa boneka jerami. Setelah itu, Akara menemui mama Lia, ia malah semakin dekat dengannya dibanding mamanya sendiri.

"Mama Violet tidak menjelaskan apapun dan hanya mempraktekkan saja," ujar Akara.

"Ohh Violet, dia mengincar titik vital, lalu menyerangnya dengan sangat cepat. Berbeda dengan mama Rani yang menyerang ke segala arah dengan sekuat tenaga, Violet hemat waktu dan tenaga, juga hemat bicara," ujar mama Lia diikuti gelak tawa oleh keduanya.

..

Setelah itu, ia diajari membaca oleh mama Lia, lalu disuruhnya mempelajari isi buku tentang obat-obatan.

"Pelajari 7 bahan ini saja, bahan untuk pil pembentukan energi dan pil penyejuk jiwa yang penting bagi peningkatan ranah,"

"Mana pilnya!?" seru Akara dengan penuh semangat.

"Kamu tidak boleh menggunakannya! Kalau nekat, aura ranahmu akan hancur," ujar mama Lia dengan serius.

"Kenapa?"

"Metode latihan ranah yang kamu latih tidak bisa menggunakan pil, harus menyerap secara langsung energi murni dari elemen yang ada di Akara,"

"Mama Lia kok tau!?" Akara malah kagum dengan mama Lia.

"Memangnya ada yang mama tidak tau?" Mama Lia malah menyombongkan dirinya, namun malah membuat anaknya semakin kagum.

Metode latihan ranah bernama 'Penyatuan Alam' diberikan oleh Lisa, namun gadis itu lupa memberikan gulungan kepadanya.

"Oh iya! Gulungan metode latihan itu!" Akara sontak panik begitu menyadarinya.

"Nih, mama Lia punya." Mama Lia mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari dAkara cincin penyimpanan.

"Terima kasih mama!" seru Akara sambil meraih gulungan kertas dan membukanya.

"Membutuhkan esensi abadi setiap kali peningkatan ranah?" ujarnya dan mama Lia secara bersamaan.

"Apa itu esensi abadi?" lanjutnya.

"Esensi murni dari Akara, memiliki energi yang tidak terbatas, namun juga sangat berbahaya dan sangatlah langka,"

"Lalu Akara harus bagaimana!? Tidak bisa mempelajari pemurnian sebelum mendapatkan esensi murni." Ia terlihat murung, lalu merebahkan tubuhnya di atas altar pemurnian.

"Kalau untuk ranah Maskumambang sampai Mijil masih bisa, tapi tetap saja butuh beberapa tahun lagi untukmu mencapai ranah Maskumambang 1 bulan energi,"

"Tidak bisa ganti metode latihan ranah apa?" ujarnya dengan murung.

"Bisa," ujar mama Lia, namun disela oleh anaknya saat ingin melanjutkan bicaranya.

"Tidak tidak, Akara tidak akan menggantinya!" serunya dengan yakin.

"Hahaha, padahal mama Lia belum selesai bicara. Metode latihan ranah memang bisa diganti, tapi tubuhmu tidak mampu lagi. Aura ranahmu akan sepenuhnya hancur jika diganti,"

"Jadi, tidak bisa diganti lagi ya?" Ia kembali murung.

"Lah? Hahaha, padahal tadi dengan semangat untuk tidak menggantinya, kenapa malah jadi murung setelah tau tidak bisa diganti?"

"Ahhh!" Akara dengan cepat berdiri. "Walaupun sulit, akan Akara lalui, para jenius berbakat itu pasti akan Akara lampaui!"

"Nah begitu, barulah anak ayah Al!"

Hari berikutnya, ia berlatih dengan mamanya, mama Rani. Menggunakan kedua bilah pedang kayu, mama Rani menjadikan Akara samsaknya. Mengayunkan kedua pedang layaknya mayoret dengan tongkatnya. Akara hanya bisa terus bertahan, dengan sesekali tangkisannya gagal dan mengenai tubuhnya.

"Hahaha, mau berhenti anakku?" ujar mama Rani dengan tatapan mata tajam.

"Tidak!" teriak Akara sambil mengayunkan pedangnya, namun langsung ditangkis mamanya.

Pletass!!

Jari jemarinya yang menggenggam pedang, terkena serangan hingga menyebabkan pedangnya terlempar. Meski begitu, mama Rani tidak menghentikan serangannya dan terus menyerangnya. Dengan susah payah anak itu menghindar, sambil berlari ke arah pedang kayunya.

..

Sore harinya, ia kembali bersama mama Lia, kini mukanya tak luput dari luka lebam. Sambil menahan tawa, mama Lia mengoleskan ramuan pada benjolan di kening anaknya.

"Mama!" Akara langsung menatap mama Lia dengan sinis.

"Maaf maaf, habisnya kamu lucu," ujar mama Lia sambil tertawa kecil.

"Mama, kenapa di desa ini tidak ada anak-anak selain Akara dan Alice?"

"Ah?" Mama Lia nampak kebingungan setelah mendapatkan pertanyaan dari anaknya.

"Mereka masuk ke akademi, jadi tinggal di sana,"

"Ohh, berarti beberapa tahun lagi Alice akan masuk ke akademi dan tersisa aku sendiri di sini?" ujarnya dengan murung.

"Ahh tentang itu, adikmu sebenarnya memiliki energi yang jauh lebih lemah darimu. Sudah bisa memadatkan aura ranahnya sejak lama, tapi tidak pernah berkembang sama sekali,"

"Lalu apa yang harus dilakukan untuk membantunya?" Ia begitu khawatir dengan adiknya.

"Tidak tau, sudah dicoba berbagai cara, namun tetap saja seperti itu,"

"Mama pintar membuat pil, ayah juga memiliki kekuatan yang besar, kenapa tidak bisa!?" serunya, nampak sedikit kesal.

"Tidak semua bisa dilakukan oleh kekuatan dan kepintaran anakku, ada juga takdir yang tidak bisa dihindarkan," ujar mama Lia malah membuat anaknya tambah kesal.

"Takdir lah, bakat lah, kenapa selalu itu-itu saja!? Mereka bilang Akara memiliki bakat buruk karena takdir, tapi kenyataannya bisa diubah!" serunya dengan penuh kekesalan.

"Ohh, apa Akara ingin mencoba merubah takdir adikmu?" ujar mama Lia sambil tersenyum lebar.

"Tentu!" serunya dengan penuh percaya diri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel