Bab 4 Harga Diri Seorang Pria
"Awas saja kau, brengsek ! Aku tidak akan tinggal diam atas penghinaan ini" Gumam Tinah.
Nampak sekali kalau wanita itu sedang diliputi amarah. Entah kenapa ada manusia seperti ini, jelas-jelas bahwa yang dikatakan Zuriel itu benar, bahwa orang tuanya yang banyak berjasa hingga membuat keluarga
besar Betrino bisa sukses seperti sekarang.
Tapi begitulah kehidupan di dunia, sampai saat ini masih banyak orang serakah dan menganggapbmateri adalah paling utama. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang tidak segan-segan menyingkirkan keluarganya sendiri demi mendapatlkan harta, jabatan dan kekuasaan. Ya, itu semua persis seperti yang dialami Zuriel saat ini.
***
"Mas Zuriel, ini aku dapet orderan lumayan besarbdari temenku. Katanya dia mau pesen 500 pack kerupuk ukuran besar untuk goodybag acara di rumahnya. Gimana mas?" Tanya Zaira meminta persetujuan suaminya.
"Wah alhamdulillah, mas bersyukur banget punya istri hebat seperti mu Zaira. Berkat bantuanmu, sekarang usaha mas berkembang pesat" Puji Zuriel.
"Alhamdulillah ya mas, Zaira juga seneng banget. Tapi usaha ini maju bukan karena Zaira, tapi karena usaha keras mas Zuuiel sendiri, disini neng Cumabbantu sedikit aja" Zaira balik memuji kerja keras suaminya.
"Oh iya mas, berarti hari ini kita harus lembur, soalnya lusa barus dikirim barangnya" Imbuhnya.
"Biar mas yang kerjain, neng istirahat aja, pasti neng juga capek seharian bantuin mas" Usul Zuriel sembari mengelus puncak kepala istrinya.
Zaira menggeleng. "Enggak, Zaira gak capek kok mas" Ucapnya penuh semangat.
Zuiel tersenyum bahagia melihat istrinya bersemangat membantunya. la sangat bersyukur karena kehidupannya saat ini mulai membaik, hingga terbesit perkataan pak Surya dipikirannya. "Apa ini saat yang tepat buat ngomon ke Zaira?" Gumamnya.
Setelah beberapa saat menimbang- nimbang, akhirnya Zuriel memberanikan diri untuk membagi kegundahannya yang selama ini iya pendam sendiri.
"Neng.." Panggil Zuriel.
Zaira menoleh dan menatap suaminya. "Ada apa mas?" Tanya.
Zuriel menghentikan aktivitasnya yang saat itu sedang mengemas kerupuk. Pemuda itu meraih tangan istrinya dan mengelus bagian punggung tangan. "Neng, mas mau bicara" Ucapnya sedikit ragu.
Zaira mengernyitkan alisnya. "Mau bicara apa mas? Kok mas jadi aneh, biasanya kalo mau bicara ya tinggal bicara aja" Ujarnya.
"Eum.. Saat ini kan usahanya mas perlahan mulai berkembang, kondisi finansial kita juga alhamdulillah semakin membaik. Apakah menurutmu ini waktu yang tepat untuk memiliki anak?" Tanya Zuriel dengan sorot mata penuh harap.
Kaget, iya itulah yang saat ini Zaira rasakan. Sejak awal menikah hingga usia pernikahan menginjak satu tahun tidak pernah sekalipun mereka membahas mengenai hal ini. Mungkin banyak yang belum tahu, jika pernikahan mereka sebenarnya terjalin karena perjodohan yang dilakukan kakek
Zaira dan Eyang Zuuiel.
Sejak sepeninggal orang tuanya, Zuriel hidup sebatang kara di gubuk tua. Sengaja Eyangnya meminta cucu kesayangannya itu untuk tinggal disana, itu semua dilakukan demi alasan keselamatan Zuriel.
Secara tidak langsung, Eyang menuputi keberadaan cucunya itu dari semua orang. Sejak kecil hidup sebatang kara secara tidak langsung membuat Zuriel jadi mandiri dan terbiasa melakukan apapun sendiri. Termasuk seperti memasak, mencuci dan melakukan banyak hal lainnya.
Meskipun begitu, Eyangnya tetap mengirimkan uang setiap bulan. Namun, semua itu dilakukan secara sembunyi-bunyi tanpa sepengetahuan paman dan bibi Zuriel.
Saat kondisi kesahatan sang Eyang mulai memburuk, ia menitipkan Zuriel kepada sahabatnya yang notabene adalah kakek Zaira. Sejak saat itulah, Zuriel dan Zaira mulai berteman. Hingga suatu hari, saat usia Zuriel dan Zaira sudah cukup dewasa sang kakek menyampaikan amanat Eyang Zuriel untuk menjodohkan mereka.
Awalnya keluarga Zaira terutama orang tua dan kakaknya menolak. Namun, karena paksaan sang kakek akhirnya mau tidak mau mereka menyetujui.
Meskipun faktanya, mereka tidak pernah memperlakukan Zuriel dengan baik. Zuriel sendiri sebenarnya cukup bahagia dengan amanah sang kakek. Karena sejak awal bertemu, Zuriel sudah menyukai Zaira, meskipun waktu itu usianya masih kecil, ya bisa dibilang itu cinta monyet.
Namun lain halnya dengan Zaira, gadis itu awalnya tidak mempunyai perasaan apapun dengan Zuriel. Tapi, iya juga tidak punya kuasa untuk menolak permintaan sang kakek. Memulai hubungan pernikahan tanpa adanya rasa cinta, tentu sangat berat terutama bagi Zaira.
Namun, lambat laun melihat sikap Zuriel yang baik, pengertian, tidak pernah menuntut membuat hatinya luluh. Bahkan wanita itu semakin kagum pada pemuda yang dijuluki Babang Tampan saat melihat hatinya yang begitu lembut, meskipun selama ini mendapat perlakuan buruk dari keluarganya, pemuda itu tidak pernah menaruh dendam apalagi berniat untuk membalas.
"Apa mas benar-benar menginginkan anak dari rahimku?" Zaira balik bertanya.
"Tentu, sebagai seorang laki-laki aku ingin memiliki keturunan dari wanita yang ku cintai" Ucap Zuriel tegas.
"Tapi, jika neng belum siap, mas tidak akan memaksa" Sambungnya. Untuk beberapa saat suasana jadi hening, hingga Zaira menggangguk seolah menyetujui usul suaminya.
***
Pagi-pagi sekali Zuriel sudah sibuk mengemas kerupuk yang akan dikirim ke rumah teman Zairan. Setelah selesai, pemuda dengan julukan Babang Tampan itu bergegas pergi untuk mengantar pesanan.
Ting Tong.
Zuriel memencet bel pintu, tak lama kemudian keluarlah seorang wanita muda dengan baju cukup sexy membukakan pintu.
"Eh, mas Zuriel sudah datang. Mau nganter pesanan kerupuk ya mas" Ucap wanita bernama Sintia.
Zuriel menggangguk. "Iya mbak, ini pesanan kerupuknya 500 bungkus" Balasnya dengan ramah.
"Bisa tolong dibawakan masuk ya mas' pinta Sintia yang dijawab anggukan oleh Zuriel. Zuriel membawakan dua kardus besar berisi kerupuk tersebut masuk ke dalam rumah yang sangat megah diikuti oleh Sinta dari belakang.
Sinta berjalan semakin mendekat ke arah Zuriel. Wanita itu tiba-tiba memegang lengan kekar sang pemuda. "Tidak salah orang-orang mnemanggilmu Babang Tampan, ternyata parasmu memang begitu
tampan dan menawan" Pujinya.
Jika laki-laki lain yang berada di posisi Zuiel mungkin akan tergoda dengan wanita sexy itu, namun lain halnya dengan Babang Tampan. Pemuda itu justru merasa risih dan berusaha menjaga jarak dengan mundur beberapa langkah.
"Kenapa? Apa kau tidak tertarik dengan ku?" Tanya Sintia dengan senyum nakalnya.
"Maaf mbak, saya kesini tujuannya hanya mengantar pesanan. Jadi saya harap mbak bisa menjaga sikap" Zuriel berusaha memperingati dengan halus.
"Memang kenapa dengan sikapku? Aku dengar sekarang kamu tinggal bersama Zaira di gubug reyot dan hidup menderita ya?" Tanya Sintia seperti mengejek.
"Hidup miskin, pasti kalian menghadapi banyak masalah ya. Gimana kalau aku berikan penawaran bagus buat mu. Kalau kau mau jadi suamiku, aku akan
memenuhi semua kebutuhanmu, aku akan memberikan semua apa yang kau inginkan. Kau akan hidup enak dan bergelimang harta" Ujar Sintia sombong.
Lagi dan lagi, Zuriel harus menelan pil pahit direndabkan orang karena kehidupannya yang miskin. Bahkan saat ini pemuda itu merasa harga dirinya telah diinjak-injak. Sebagai seorang laki-laki, harga dirinya adalah harta termahal dan paling berharga
dalam hidupnya.
"Maaf, mungkin penawaran itu sangat menarik terutama bagi laki-laki diluaran sana, tapi tidak untuk saya" Balas Zuriel sopan.
"Sudahlah Zuriel, jangan munafik kau. Mana ada orang yang itawari hidup enak bergelimang harta malah tidak mau" Sintia mulai terpancing emosi.
"Sekali lagi saya mohon maaf mbak, tapi saya memang tidak tertarik dengan penawaran tersebut" Tolak Zuriel.
"Sejujurnya saya sangat tidak menyangka jika anda bisa melakukan itu semua, apakah anda lupa jika saya ini adalah suami Zaira, sahabat anda sendiri" Sambungnya.
Sintia tertawa dan berdecih. "Zuriel, Zuriel kau bodoh apa gimana sih. Di dunia ini yang bisa jadi sahabat sejati hanyalah uang" Ucapnya dengan penuh penekanan di akhir kalimat.
"Persetan dengan persahabatan, buat ku itu semua tidaklah penting" Imbuhnya.
Zuiel ternganga nendengar penuturan Sintia. Pemuda itu merasa kasian pada Zaira, bagaimana bisa perempuan baik seperti istrinya bisa memiliki sahabat yang jahat seperti Sintia.
"Sudahlah Zuriel, kau tinggal bilang saja apa keinginanmu, pasti akan ku lakukan. Kau tau kan siapa aku, aku bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang ku mau, termasuk jika harus membeli harga dirimu" Kata-kata Sintia sangat menusulk telinga Zuriel.
Zuriel tetaplah Zuriel, meskipun pemuda tampan ini memiliki pembawaan kalem tapi soal prinsip dia adalah orang paling tegas. Sejak dahulu ia berusaha diam ketika menerima penghinaan, karena ia berpikir dengan memberikan perlawanan tidak akan menyelesaian masalah malah akan menimbulkan persoalan baru.
Namun, kejadian beberapa waktu terakhir memberikan pelajaran baru bagi dirinya. Sesekali ia harus memberikan pelajaran bagi orang yang menghina harga dirinya.
"Silahkan, jika itu yang memang anda inginkan. Tapi perlu dipahami, sikap anda ini justru membuat derajat anda dimata saya semakin rendah" Ucap Zuriel menohok. Tak ingin lebih lama bersama wanita jahat, Zuriel memutuskan untuk segera pergi dari rumah itu.
"Maaf, jika tidak ada kepentingan lain saya permisi dulu, terima kasih atas orderannya" Pamitnya.
"Kau akan menyesal Zuriel" Teriak Sintia penuh kesal.
Tanpa menunggu lebih lama, Zuiel langsung melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Sepanjang perjalan pulang, pemuda itu tampak gelisah. Ia takut jika Sintia cerita macam-macam kepada Zaira. Melibat sikap Sintia tadi, Zuiel bisa menangkap bahwa wanita itu bisa melakukan hal licik untuk mendapatkan keinginannya.
Zuriel dilema. "Apakah aku harus menceritakan kejadian di rumah Sintia tadi kepada Zaira? Tapi bagaimana jika Zaira akan terluka dengan kejadian itu?" Batinnya.
Zuriel mendongak dan menatap langit. "Ya Tuhan, kenapa selalu saja ada masalah yang menghampiriku. Satu masalah baru selesai, ini muncud masalah baru lagi. Kapan aku berhenti mendapat penghinaan" Gumamnya dalam batin sembari mengusap wajahnya dengan kasar.
Saat hampir sampai di rumah Zuriel mendengar suara keributan, ia lantas mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya ia saat melihat istrinya sedang menangis sambil ditarik-tarik dengan kasar oleh Zain.