Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Konsekuensi Ayara

“Iya‼ ahh susu formula! Apa kamu punya stoknya?” tanya Ayara menatap Abbiya penuh harap.

Sayangnya pria itu hanya menggelengkan kepala. Ayara mendengus pasrah, ia lantas berkata, “Kita harus membeli sufornya.” Ayara berkata dengan suara parau.

Abbiya hanya mengangguk, ia berjalan keluar kamar dan samar-samar Ayara mendengar perbincangan Abbiya dengan pekerjanya. Pria itu meminta bantuan untuk membeli sufor sesuai dengan resep dokter tadi. Dua puluh menit berlalu dengan Abbiya yang menggendong Pratama dan Ayara membersihkan diri. Beruntung Pratama langsung tenang ketika berada di dekapan Abbiya.

“Tuan, ini pesanannya,” ujar pekerja Abbiya menyerahkan tas belanjaan yang berisikan beberapa dus susu formula. “Apa ada yang bisa saya bantu lagi, tuan?” tanyanya, Abbiya pun menggeleng dan mempersilakan untuk pekerjanya pulang ke rumah. Abbiya memang membiarkan pekerjanya pulang ke rumah jika malam tiba agar bisa berkumpul dengan keluarganya di rumah.

Kedatangan susu formula itu bersamaan dengan Ayara yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian piyama bermotif bunga daisy. Ayara masih menggulung rambutnya dengan handuk basahnya. “Apakah sudah ada?” tanya Ayara menatap Abbiya yang menatapnya datar. Abbiya hanya mengangguk dan menunjuk belanjaan di sampingnya.

Ayara mengangguk, ia pun meminta izin untuk menggunakan dapur Abbiya. Setelah mendapatkan izin dan juga petunjuk arah Ayara bergegas membuatkan susu formula untuk Pratama yang kini kembali rewel di dalam dekapan Abbiya.

“Biar aku saja,” ujar Ayara mengambil alih Pratama ke dalam dekapannya. Ia duduk di sofa sudut kamar dan memangku Pratama, dengan telaten Ayara memberikan botol susu pada Pratama.

Bayi itu tampak sangat kehausan hingga dengan cepat ia menghabiskan susunya. “Apa perlu kita tambah?” tanya Ayara pada Abbiya yang duduk di ranjang dan mengawasi dirinya. Abbiya seakan mengerti maksud ucapan Ayara, dengan malas pria itu berjalan keluar kamar.

Tak lama, Abbiya kembali membawa sebotol susu dan menyerahkannya pada Ayara. Ayara melirik jam dinding yang terpasang di sudut ruangan. Ayara menghela napas, tubuhnya terasa remuk redam. Ia belum beristirahat sejak tadi sore.

Rasa kantuk pun mendera Ayara, berulang kali ia memejamkan mata dan tersadar kala Pratama bergerak lembut di delam pangkuannya. Ayara tak sanggup lagi menahan kantuknya, ia pun tertidur dalam posisi mendekap tubuh Pratama dan duduk di sofa kamar.

Abbiya yang sedang sibuk dengan ponsel pun menoleh kala mendengar dua dengkuran halus dari sudut kamar. Tanpa sadar Abbiya menarik bibirnya ke atas membentuk lengkungan senyum tipis di wajah tegasnya. Tak tega melihat Ayara yang terlihat lelah, Abbiya pun berinisiatif memindahkan keduanya. Pertama Abbiya membawa Pratama ke arah kasur, setelahnya ia menggendong tubuh Ayara dan meletakkan di samping Pratama.

Setelah memastikan keduanya aman, Abbiya mematikan lampu dan kembali ke kamarnya. Di dalam kamar, Abbiya mengirimkan pesan pada anak buahnya untuk mencari tahu siapa dalang dari penculikan Pratama. Selain itu, Abbiya juga mencari tahu tentang sosok Ayara.

Tak lama, Abbiya mendapatkan pesan dari anak buahnya yang berisi data diri Ayara. Dari sanalah Abbiya tahu biodata lengkap Ayyara, mulai dari mana ia berasal, tempat ia berkuliah juga pekerjaan orang tuanya. Sayangnya, pria itu tak menemukan clue pelaku yang menculik Pratama dan membuangnya ke desa terpencil itu.

Suara kicauan burung dan sinar matahari membangunkan Ayara dari tidur nyenyaknya. Ia menggeliat kecil seraya menguap, berulang kali Ayara mengerjapkan matanya menyamakan sinar matahari yang masuk. “Kenapa aku di sini? Perasaan semalam aku tertidur di sofa? Ahh mungkin aku salah ingat.”

Lamunan Ayara harus berhenti kala Pratama menangis tersedu-sedu. Ayara pun bergegas menggendongnya dan menenangkan bayi itu. Dengan sebelah tangan, Ayara mengambil dua botol susu dan membawanya turun ke bawah.

Pratama tak kunjung tenang, ia masih saja menangis dan meronta-ronta di dalam dekapan Ayara, membuatnya kesulitan bergerak. “Biar aku saja,” ujar Abbiya yang datang dari atas tangga.

“Maaf mengganggu waktumu.” Abbiya hanya mengangguk, ia mengambil alih Pratama dan membawanya menuju ruang tengah. Sedangkan Ayara bergerak menuju dapur dan membuatkan susu formula untuk Pratama.

“Kau mau pesan apa?” tanya Abbiya kala Ayara menghampirinya.

“Pesan?” tanya Ayara bingung.

Abbiya mengangguk. “Pekerja saya sedang pulang kampung dan tidak tahu kapan akan kembali.”

Ayara mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata “Biar aku saja yang memasak. Itu tidak sehat.”

Belum sempat Abbiya melarangnya, Ayara sudah menghilang dahulu, ia pun hanya mengendikkan bahu acuh. Dan kembali melanjutkan kegiatannya mengasuh Pratama seraya memantau pekerjaan di kantor. Sejak hilangnya Pratama beberapa hari yang lalu, Abbiya memutuskan untuk memecat semua baby sisternya karena ia menggangap hilangnya Pratama adalah kelalaian mereka.

Aroma masakan tercium di indra Abbiya, tak lama Ayara datang membawa dua piring nasi goreng yang dihiasi telur mata sapi di atasnya. “Karena tak ada bahan lainnya aku membuat ini saja.” Ayara menjelaskan tanpa Abbiya meminta.

Abbiya mengangguk ia membaringkan tubuh Pratama di sampingnya. Setelah itu ia meringsek turun dan menikmati nasi goreng buatan Ayara. Terasa nikmat tak seperti buatan pembantunya dulu.

“Abbiya.”

“Ayara.”

Mereka mendongak dan saling bertukar pandang. “Kau duluan saja,” ujar Ayara kembali menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

“Ladies first.”

Ayara mendengus sebal, ia meletakkan sendoknya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. “Jika aku memilih opsi pertama, apa ada konsekuensi yang harus aku terima?” tanya Ayara mengulang pembahasannya semalam.

“Maksudnya, bagaimana dengan kuliah dan pekerjaanku?” imbuh Ayara cepat kala melihat kening Abbiya berkerut.

Abbiya menyesap kopi hitam tanpa gula miliknya ia lantas menatap Ayara datar. “Saya tidak akan melarang kuliahmu. Untuk pekerjaan saya harap kau bisa mengambil cut –“

“Kenapa begitu? Aku harus mendapatkan pemasukan, ayah dan ibuku… .” Ayara menjeda ucapannya, ia terdiam cukup lama sampai akhirnya Abbiya kembali bersuara.

“Kalau begitu, kau harus bisa membagi waktu.”

Ayara memicingkan netranya melemparkan tatapan protes pada Abbiya. “Mana bisa begitu?!”

“Jika begitu opsi kedua pilihannya?”

Ayara semakin mendelik, ia bangkit dan duduk di samping Abbiya. “Bukan begitu juga‼ Itu semakin menyulitkanku.”

Abbiya mengendikkan bahunya, pria itu menyudahi sarapannya. Dan beralih pada benda pipih berlogo mewah. Ayara mendengus sebal ia seperti terhimpit keadaan semua opsi yang diberikan Abbiya tak ada yang menguntungkan untuknya.

“Waktumu berpikir tidak banyak. Segera beri saya jawaban.”

Ayara tampak berpikir sejenak, ia kemudian meletakkan sendoknya dan berkata, “Sampai kapan aku harus mengurus Pratama?”

Abbiya mendongak. “Sampai Pratama sembuh total dan saya menemukan baby sister baru.”

Ayara menganggukkan kepalanya. “Baiklah aku akan mengajukan cuti kerja selama beberapa bulan. Jika diizinkan tetapi… .” Ayara menjeda ucapannya, ia mengamati wajah tampan Abbiya lekat-lekat. “Setelah Pratama sembuh, aku bisa pergi dari sini dan bebas dari laporanmu, ‘kan?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel