Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Asi Terakhir?

Ayara semakin panik, ia mencoba mencari info penanganan tercepat melalui gawainya. Saat Ayara sibuk membaca deretan artikel di layar gawainya tiba-tiba mobil yang ia tumpangi berhenti.

Ayara menoleh dan terkejut kala dirinya sudah tiba di halaman rumah sakit. Pria itu segera turun dari mobil, ia membukakan pintu untuk Ayara. “Suster tolong!” pekik Ayara setelah ia turun dari mobil. Pria itu mengikuti langkah kaki Ayara, ia menarik brankar di samping lorong dan meminta Ayara meletakkan bayi itu ke atasnya.

“Biar kami periksa terlebih dahulu, bapak ibu.” Pintu ruang ugd pun tertutup, Ayara dan pria itu menunggu di depan. Terlihat perbedaan raut wajah keduanya, Ayara panik dan mata berkaca-kaca sedangkan pria di sampingnya tampak tenang dan datar.

“Apa dia akan baik-baik saja?” tanya Ayara menyandarkan punggungnya pada dinding rumah sakit menatap pintu ugd yang tertutup rapat.

Cukup lama mereka berdiam diri, hingga suara barithon menelusup ke indra pendengaran Ayara. “Di mana kau menemukan, Pratama?”

“Pratama?” tanya Ayara bingung. Ayara berjalan mendekati pria yang tengah duduk santai di kursi tunggu. Abbiya mengangguk, sorot matanya menatap lurus pintu rumah sakit.

“Hari itu, tengah malam aku mendengar suara tangisan bayi. Saat aku keluar dari rumah aku melihat keranjang dan di dalamnya ada bayi itu. Sungguh aku tak tahu siapa ibu atau ayah dari bayi itu, aku juga tak tahu bagaimana ia bisa ada di sana. Warga tempatku dinas pun sudah memeriksa tak ada warganya yang baru melahirkan, mereka juga memeriksa buku tamu dan tak ada satupun tamu yang masuk ke kampung itu. Selama satu minggu ia bersamaku di kampung itu, tugas kantorku selesai hari ini. Karena tak ada warga yang mau merawatnya dan bayi itu tak mau dengan yang lain terpaksa aku membawanya ke sini. Setelah itu Paman datang dan menuduhku menculik, hingga terjadilah… .” Ayara tak sanggup melanjutkan ceritanya.

Pria di sampingnya terdiam, ia mendengarkan cerita Ayara dan mencoba mencari kebenaran dari sorot mata Ayara yang tertutup kabut air mata. “Aku hanya seorang mahasiswi yang harus bekerja demi kehidupan di sini. Aku mohon jangan laporkan aku. Maaf sudah menuduhmu tadi, tetapi Paman –“ Ucapan Ayara terhenti kala melihat sorot tajam Abbiya.

Pria itu masih saja terdiam, ia menghela napas kasar. “Pertama saya bukan pamanmu dan saya tidak setua itu untuk di sapa Paman. Kedua, aku akan mempertimbangkan laporan itu.”

“Paman, aku –“

Kedatangan suster mengalihkan perhatian Abbiya, pria itu bangkit membiarkan ucapan Ayara menggantung di udara. “Maaf dengan orang tua dari ananda… .” ucapan perawat itu menggantung karena tak tahu nama dari bayi yang tengah berada di dalam ruang ugd itu.

“Pratama.”

“Dokter ingin bertemu dengan bapak dan ibu. Silakan masuk,” ujarnya mempersilakan dua insan itu masuk ke dalam ruangan ugd.

Di dalam sana, dokter menjelaskan jika kondisi bayi itu tidak terlalu baik. Ia mengalami dehidrasi dan imun tubuhnya menurun. Dokter menanyakan kapan terakhir kali bayi itu meminum asi dari Ayara. “Maaf dok, tapi saya –“

“Kemarin malam, Dok,” potong pria itu membuat Ayara mendelik menatapnya.

“Sebaiknya bapak dan ibu memberikan susu formula tambahan untuk menjaga agar gizi dari bayi bapak dan ibu bisa tercukupi. Saya akan meresepkan beberapa vitamin dan merk susu yang sesuai untuk ananda Pratama.” Pria itu mengangguk merespon ucapannya.

Ayara dan pria itu berjalan keluar ruangan, mereka diminta untuk mengurus administrasi terlebih dahulu dan menebus vitamin di apotek rumah sakit. “Kenapa pam … maksudku kenapa kau berkata begitu?”

Pria itu hanya diam saja, ia berjalan lurus menuju ruang administrasi. Dari sanalah, Ayara tahu jika pria yang sedari tadi bersamanya bernama Abbiya. Setelah menyelesaikan semua urusan rumah sakit, Abbiya dan Ayara dipersilakan membawa Pratama pulang.

Sepanjang jalan pulang, Ayara hanya diam saja ia memikirkan kehidupannya setelah ini. Ditambah ia belum menemukan tempat tinggal baru yang sesuai dengan sisa tabungannya. Berulang kali wanita itu menghela napas berat, ia juga mencoba menghubungi teman-temannya berharap mereka berkenan menampung Ayara selama beberapa hari ke depan. Sayangnya tak ada satupun rekannya yang mau menjawab sambungan telepon atau sekedar membalas pesan Ayara.

“Turun,” ujar Abbiya melepas seatbeltnya.

Ayara mengedarkan pandangannya ke sekeliling, keningnya berkerut kala ia tiba di sebuah rumah bergaya minimalis yang terasa asing untuknya. “Rumah saya.”

Abbiya membuka pintu rumahnya, ia menekan knop pintu dan memberikan akses jalan untuk Ayara masuk. Ayara mengedarkan pandangannya, ia menatap kagum pada susunan rumah milik Abbiya. Rumah yang di dominasi warna putih itu terlihat nyaman untuk ditinggali. “Di mana istrimu?” tanya Ayara saat Abbiya melintas di depannya.

Abbiya mengendikkan bahunya acuh, ia berjalan menuju kamar yang berada di lantai dua. Entah insting dari mana, Ayara mengikuti langkah pria itu. Hingga langkah kaki keduanya berhenti tepat di depan pintu kamar berwana coklat, Abbiya membuka pintunya. Ia menunjuk kasur dengan dagunya.

“Tuan, ini kopernya saya taruh di sini, ya.” Ayara sontak menoleh ia menatap kopernya yang berdiri di samping Abbiya.

“Tidak tidak usah repot-repot, aku bisa mencari rumah sendiri,’ ujar Ayara buru-buru mendekati Abbiya.

Abbiya tampak cuek, ia berjalan menuju ruang tengah. Kening Ayara berkerut melihat sikap Abbiya yang misterius. “Kau tidak mau dilaporkan bukan?”

Ayara menggangguk cepat. “Kalau begitu, urus Pratama hingga dia benar-benar sembuh.”

Bola mata Ayara membulat sempurna, bahunya melemas. “Merawat hingga sembuh?”

“Pratama masuk rumah sakit karena kamu tidak memberinya asi.” Setelah mengucapkannya, Abbiya berlalu begitu saja mengabaikan Ayara yang masih berdiam diri.

“Ya bagaimana bisa memberi asi, aku saja belum pernah melahirkan,” gerutu Ayara menatap punggung Abbiya yang bergerak menjauhinya.

“Kau bilang apa?”

Ayara termenung di tempat. Saat sedang sibuk melamun, ia mendengar suara Pratama yang menangis dari dalam kamar. Ayara bergegas masuk ke dalam kamar, ia melihat posisi tubuh Pratama berada di ambang tempat tidur, jika saja Ayara terlambat masuk mungkin tubuh bayi itu sudah tergeletak di atas lantai.

Ayara segera menggendongnya dan berusaha menenangkan Pratama. Sudah lebih dari 20 menit, Pratama menangis Ayara tak berhasil menenangkannya. Suara tangisan Pratama juga terdengar oleh Abbiya yang baru saja selesai membersihkan diri. Dengan kaos putih dan celana rumahannya, Abbiya masuk ke dalam kamar Pratama ia melihat Ayara sedang sibuk menenangkan bayi itu dengan segala cara.

“Mungkin dia haus,” ujar Abbiya mendekati Ayara dan Pratama.

“Lantas aku harus bagaimana? Aku kan tidak memiliki asi?” sahut Ayara menatap polos Abbiya.

“Asi?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel