Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1. Tertangkap Basah!!

“Kembalikan putraku!” kecam pria bertubuh tegap di depan pintu kontrakan Ayara.

Ayara mengernyitkan kening, ia tak mengerti dengan maksud pria di depannya. “Kau menculik anakku,” ulang pria itu seraya melirik ke dalam kontrakan Ayara yang hanya berukuran 8x4m.

Ayara menoleh, mengikuti arah pandang pria di depannya. Menyadari maksud dari ucapannya, Ayara bergegas masuk ke dalam dan melindungi bayi yang sedang terlelap itu. “Apa buktinya?” tantang Ayara seraya mendekap erat tubuh bayi itu.

Tanpa banyak kata, pria itu mengeluarkan secarik kertas bertuliskan ‘AKTA KELAHIRAN’ netra Ayara menatap rangkaian huruf yang tertera di atas sana. Ia memandang pria itu dan kertas akta bergantian. “Kau sungguh ayahnya? Kau bukan berniat jahat ‘kan, Paman?” selidik Ayara menatap pria itu tajam.

“Bukankah pertanyaan itu lebih pantas tertuju untuk anda?” balas pria itu datar, ia bergerak mengulurkan tangannya hendak meraih bayi yang sedang berada di dekapan Ayara.

Ayara terdiam sejenak, ia lantas berbalik dan membaringkan bayi itu ke atas kasurnya. Ia menghalangi tubuh pria itu dengan tubuh mungilnya. “Tidak semudah itu, Paman. Sekarang zaman sudah semakin canggih, kau bisa saja memalsukan akta itu. Aku ingin bukti yang lain.” Ayara berkata dengan tangan yang berkacak pinggang.

“Saya tidak peduli. Kembalikan anak saya atau… kau akan saya laporkan ke kantor polisi.”

Ayara memicingkan matanya, ia mengamati netra coklat pria berjas di depannya. “Aku tidak akan memberikannya.” Ayara terus menghalangi jalan pria itu.

Bukannya menyerah, pria itu justru semakin getol melangkah maju mendekati ranjang Ayara. Ayara mundur beberapa langkah setiap kali pria itu maju dengan tatapan tajam dan menusuknya. Napas Ayara terasa tercekat, atmosfer di kontrakannya mendadak berubah menjadi lebih tegang dan menakutkan.

“Berhenti, aku bilang berhenti! Aku akan berteriak jika kau maju satu langkah lagi, Paman‼” pekik Ayara mengacungkan tangannya ke arah depan.

Pria itu tak gentar, ia tetap berjalan lurus mengabaikan ancaman yang diberikan Ayara. “Aaa‼‼” pekik Ayara terhuyung ke belakang.

Untungnya, pria itu sigap menangkap pinggang ramping Ayara. Untuk beberapa detik, Ayara terpaku pada sorot mata pria itu namun, detik selanjutnya Ayara meronta-ronta keseimbangan tubuhnya pun goyah. Tubuh Ayara terhuyung ke depan.

‘Kenapa gak sakit?’ tanya Ayara dalam hati.

Perlahan Ayara mulai membuka matanya, hal pertama yang tertangkap netranya adalah garis wajah seorang pria berjambang halus yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Ayara kesulitan menelan salivanya, otak cerdasnya bahkan berhenti bekerja.

“Itu pakk‼ Itu pak pasangan mesumnya‼! Itu‼!” pekik suara barithon dari arah pintu kontrakan Ayara.

Ayara menoleh tanpa mengubah posisinya, mulutnya terbuka terkejut dengan sosok yang berdiri di depan pintunya. Ayara bergegas bangkit dari posisinya, ia merapikan pakaian dan rambutnya. Tak ada yang Ayara lakukan selain menundukkan kepala dalam-dalam.

“Sudah usir saja dari kampung kita, Pak‼ Kalau kita biarkan nanti jadi aib dan malapetaka untuk kampung kita‼” pekik salah seorang warga seraya mengacungkan tangannya.

Ayara tertunduk, ia menggenggam erat jemari tangannya. “Pak, saya bisa jelaskan. Ini gak seperti itu… .”

“Maaf Mba Aya, memang selama ini Mba Aya tidak pernah ada kasus apapun. Tetapi melihat apa yang sudah terjadi malam ini, saya tidak bisa membantu banyak, Mba.” Ayara menghela napas kasar mendengar jawaban pria tua yang menjadi sesepuh di lingkungan tempat tinggalnya.

“Ini tidak seperti itu, Pak. Ini hanya salah paham saja,” ujar Ayara mencoba bernegosiasi.

“Halah gak ada! Usir sekarang, Pak! Setuju bapak ibu?” pekik pria tadi menatap ke sekelilingnya.

“SETUJU‼! USIR USIR USIR‼” orasi warga yang berkumpul di depan kediaman Ayara.

“Maafkan saya, Mba Aya. Saya tidak bisa mengabulkan permintaan Mba Aya.” Final, Ayara tak punya pilihan lain ia menghela napas pasrah. “Silakan rapikan barang-barang Mba Aya. Dan mas, bisa tunggu di luar saja,” imbuh sesepuh itu sebelum ia membubarkan kerumunan.

Ayara terduduk di atas ranjangnya ia menghela napas pasrah, setelah itu ia mulai merapikan barang-barang di rumah petaknya. Setelah selesai merapikan barang-barangnya, Ayara membungkus tubuh bayi itu dengan salah satu hoodienya. “Setidaknya kamu tidak kedinginan, Nak,” ujar Ayara mengusap puncak kepala bayi yang kini sudah tertidur pulas di dalam dekapannya.

Ayara pun keluar dari rumah petaknya, terdengar suara riuh menyambut kehadirannya. Banyak sorot mata yang menatapnya jijik, ada pula yang menatapnya iba. “Maaf ya Mba Ayara, ibu tidak bisa membantu kamu. Semoga kamu mendapatkan tempat yang lebih baik lagi. Maaf jika selama 3 tahun kamu mengontrak di sini ibu dan bapak ada salah-salah.”

Ayara mengulas senyum menatap wanita paruh baya yang berdiri di depannya. “Ndak papa, Bu. Mungkin memang sudah begini jalannya. Saya juga minta maaf bu jika ada salah-salah, terima kasih atas kemurahan hati ibu dan bapak yang menerima saya mengontrak di sini.” Pemilik kontrakan hanya merespon dengan anggukkan kepala mereka berpelukan singkat.

“Sudah jangan banyak basa-basi, cepat tinggalkan kampung ini! Jangan sampai malapetaka datang‼” pekik pria tadi bersemangat mengusir Ayara.

“Saya pamit, Pak Bu.” Ayara berjalan membelah kerumunan, jelas sekali di telinga Ayara banyak yang melayangkan hujatan. Dari kejauhan Ayara melihat sosok pria masih berdiri tegap di depan mobil hitamnya. Ayara menatapnya malas dan mengabaikan kehadiran pria itu.

“Kembalikan anakku,” ujar pria itu saat Ayara melintas di depannya.

Ayara berhenti dan menoleh menatapnya. “Ambil saja … jika bisa.” Ayara menyodorkan bayi dalam dekapannya.

Bayi itu memang sudah terbangun, sejak ada keramaian dari warga tadi. Tangan pria itu terulur hendak mengambil bayinya namun, naas bayi itu justru mengeratkan genggamannya pada rambut dan baju yang Ayara kenakan. “See, dia tak mau dengan Paman. Paman, jangan memanfaatkan anak kecil untuk mendapatkan uang,” ujar Ayara kembali menyembunyikan bayi itu di delam dekapannya.

Belum sempat pria itu menjawab ucapannya, tiba-tiba bayi tersebut menangis tersedu-sedu wajahnya membiru, Ayara panik. Ia menepuk punggung dan menimangnya agar tangisan bayi itu mereda. Bukannya mereda, bayi itu justru mengalami kejang.

Secara tiba-tiba, Ayara ditarik masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan barang-barangnya. “Dia demam‼ Aku harus bagaimana?” tanya Ayara panik, ia bahkan menangis karena takut hal buruk terjadi pada bayi tak berdosa itu.

Helaan napas berat terdengar dari samping Ayara, pria itu bergerak menyalakan mesin mobilnya. Ayara tak banyak bertanya, ia hanya diam seraya berusaha meredakan tangisan bayi itu. Karena terlalu takut dan panik, Ayara pun turut menangis.

Pria di balik stir kemudi itu menoleh kala mendengar dua tangisan yang saling bersahut-sahutan. “Bisakah kau diam?” tanyanya menoleh singkat ke arah Ayara. “Tangisanmu tak akan menyelesaikan masalah.”

“Lantas aku harus bagaimana?” tanya Ayara semakin panik kala menatap tubuh mungil tak berdosa yang kini tak bergerak di pangkuannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel