Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Uang dan Kuasa Abbiya!

Abbiya hanya mengangguk dan berlalu dari hadapan Ayara seraya membawa Pratama ke lantai atas. Ayara mendengus pasrah menatap punggung yang berjalan menjauhinya. “Lu punya uang lu punya kuasa! Bedebahhh‼” gerutu Ayara seraya merapikan peralatan bekas sarapan mereka.

Sesuai kesepakatan mereka, hari ini Ayara harus ke kampus dan kantornya untuk mengajukan berkas-berkas cuti. 30 menit berlalu, Ayara sedang mematut dirinya di depan meja rias. Hari ini ia mengenakan rok plisket selutut berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja polos berwarna sage green. Ia mengusapkan riasan tipis untuk menutupi mata pandanya. Untuk tatanan rambut, Ayara membiarkannya terurai dan hanya menjepitnya asal.

Setelah dirasa pas, Ayara bergegas turun dan menemui Abbiya juga Pratama. “Aku usahakan tak pergi lama.” Abbiya mengangguk, setelah berpamitan Ayara melangkah keluar rumah. Ia menunggu taksi online yang sudah dipesannya tadi.

Tepat pukul dua siang, Ayara selesai mengikuti kelas di kampusnya. Ayara bergegas menuju ke lobby kampus namun, di tengah lorong Ayara mendengar beberapa mahasiswa saling berbisik, beberapa menatapnya jijik. Ayara mengerutkan keningnya namun, ia tetap berjalan dan mengabaikan tatapan yang diterimanya.

Ayara duduk di lobby kampus, ia berselancar dengan gawainya mencari taksi online yang akan mengantarkannya kembali ke rumah Abbiya. Seraya menunggu pesanan taksinya datang, Ayara menggunakan waktu tunggunya untuk mengajukan surat cuti pada perusahaan tempatnya bekerja.

30 menit sudah Ayara menghabiskan waktu percuma, rasa putus asa mengantarkan Ayara pada pilihan transportasi lain seperti bus umum. Ayara menyimpan ponselnya dan bergerak menuju gerbang utama. Namun belum sampai Ayara pada gerbang, ponselnya berdering panjang.

Ayara berdecak kesal dengan malas wanita itu kembali menepi dan meraih gawainya. Kening wanita itu berkerut karena tak mengenal deretan angka yang tertera di ponselnya. “Hallo?”

“Kau di mana?”

“Abbiya?” tanya Ayara memastikan kembali nomor yang menghubunginya.

“Iya. Pratama rewel.”

“Aku masih di kampus. Aku sedang menunggu bus umum.”

“Tunggu di sana.” Setelah mengatakan hal tersebut, Abbiya segera menutup sambungan telepon.

Ayara menggerutu dengan sikap Abbiya yang terkadang terlalu dominan seperti sekarang ini. Ayara memilih menunggu di post satpam. Saat sedang asyik menunggu Abbiya datang, tiba-tiba seorang pria menghampirinya bersama dengan gengnya.

“Eh ada Ayara. Mana anaknya?” ujar Angga menatap Ayara rendah.

Ayara menulikan telinganya, ia asyik berselancar dengan ponselnya membuka laman sosial media tentang ilmu parenting. “Wah cuek banget sama mantan,” celetuk Angga mendekati Ayara.

“Sok jual mahal, dipeluk aja gak mau tahunya malah sudah punya anak. Cowok kaya mana yang berhasil nikmatin tubuh kamu? Hahaha,” imbuh Angga yang disambut tawa riuh dari teman-teman Angga.

Ayara meremas ponselnya tetapi Ayara berusaha untuk tenang. Saat ini pikirannya ada pada Pratama yang tengah rewel. “Kira-kira semalam berapa sih biayanya? Bisa kali mantan ini mau order,” ujar Angga mencoba mencolek dagu Ayara.

“Sejuta atau dua juta atau malah cuman lima ratus?”

“Gratis jangan-jangan!” celetuk teman Angga yang duduk di atas motor sportnya.

Tanpa sadar bulir bening menetes di pipi Ayara, dengan cepat Ayara menghapusnya. Ia tak mauterlihat lemah di depan mantan kekasihnya itu. “Ayolah, aku janji gak main kasar.” Angga kembali mendekat dirinya kini tangan pria itu berusaha merangkul Ayara.

Belum sempat tangan itu mendarat di bahu Ayara, Ayara segera bangkit dan berjalan menuju mobil hitam yang berhenti di depan gerbang kampus.

“Jangan lupa pakai pengaman Ya. Biar gak kebobolan lagi‼” pekik Angga melihat kepergian Ayara yang mengabaikannya.

Ayara masuk ke dalam mobil, ia memindahkan Pratama ke dalam pangkuannya dengan hati-hati ia tak mau menganggu Pratama yang sedang tertidur. Sepanjang jalan, Ayara hanya diam menatap ke luar jendela mobil. Sedangkan Abbiya sedang sibuk dengan jalanan di depannya. Sebenarnya Abbiya penasaran dengan sosok pria yang bersama Ayara tadi namun, ia tak mau repot-repot untuk turut campur pada urusan Ayara.

Jalanan siang itu terasa lebih lenggang dari biasanya, mungkin karena masih jam kantor dan sekolah sehingga tak banyak pengguna jalan yang melintas. Sebelum pulang ke rumah, Ayara memaksa Abbiya mengantarkannya ke minimarket terdekat untuk membeli beberapa bumbu dan bahan dapur.

Bak keluarga kecil yang bahagia, Ayara menggendong Pratama sedangkan Abbiya mendorong trolli mengikuti langkah kaki Ayara berkeliling dari rak satu ke rak yang lainnya. Mulai dari sayur mayur, bumbu dapur, daging dan ikan-ikanan.

“Sudah?” tanya Abbiya seraya menepuk bahu Ayara membuat wanita itu terlonjak kaget. “Maaf,” imbuh Abbiya.

Ayara mengangguk. “Sepertinya kita terlupa sesuatu.” Ucapan Ayara mengundang kerutan di kening Abbiya. “pagi tadi, saat aku memandikan Pratama aku melihat beberapa peralatannya sudah habis. Dan pakaian yang tersedia di rumah beberapa tak lagi cukup. Jika aku membelinya apa akan merepotkanmu?”

“Apa saya terlihat miskin?” balas Abbiya seraya berjalan menuju rak peralatan bayi, ia memasukkan shampo dan sabun mandi bayi dalam jumlah yang banyak.

Ayara memutar bola matanya malas. “Aku salah bertanya,” ujar Ayara seraya berlalu melewati Abbiya.

Abbiya menoleh, pria itu seakan mendengar gerutu Ayara. Ayara menggelengkan kepalanya cepat. Dengan langkah kecilnya, Ayara mengikuti Abbiya ke arah kasir.

“Biar aku saja,” ujar Abbiya mengambil posisi mengantri di kasir.

Ayara hendak menolak perintah Abbiya namun, ia mengurungkannya karena tatapan tajam mata Abbiya. Ayara mengangguk patuh, ia bergeser dan mencari jalan keluar dari antrian. Pratama menggeliat lembut di dekapannya, tak mau bayinya membuat keributan, Ayara pun bergerak menuju store yang menyediakan peralatan bayi seperti kereta dorong dan alat gendong.

Netra Ayara tertuju pada gendongan yang terasa simple namun multifungsi. Ayara mendekati barang itu, ia meminta bantuan pada pelayan untuk mengambilkan barangnya. Setelah mendapatkan barang yang ia incar, Ayara pun mencoba gendongannya.

“Wah sangat elegan dipakai oleh ibu,” puji pegawai store itu.

Ayara tersipu malu mendengar ucapannya. “Ah mba bisa saja. Biar saya beli, ‘kan?” timpal Ayara dengan senyuman manisnya. Mendengar sahutan Ayara, pegawai itu tertawa kecil.

“Saya ambil yang ini ya mba, dua sama warna abu,” ujar Ayara menunjuk ke arah rak lainnya. Setelah melakukan pembayaran Ayara berjalan menghampiri Abbiya yang sedang menunggunya di depan food court makanan jepang.

“Maaf menunggu lama,” ujar Ayara menunduk.

Abbiya berbalik dan menatap Ayara bingung. “Dari mana?”

“Dari mana?” beo Ayara tak mengerti dengan maksud Abbiya.

Abbiya menunjuk gendongan bahan yang Ayara gunakan. “Cantik, ‘kan? Ini multifungsi, kau juga bisa menggunakannya. Aku sengaja membeli warna netral agar kau tak malu untuk memakainya. Alat ini bisa dipakai dalam beberapa mod –“

Ucapan Ayara harus menggantung di udara kala Abbiya berlalu dari hadapannya dan masuk ke dalam food court. Ayara hanya bisa mendengus kesal, ia memilih untuk mengabaikan Abbiya yang menatapnya seakan memerintah dirinya untuk masuk ke dalam. Yang Ayara lakukan justru berbalik dan hendak menjauh dari resto itu.

Belum beberapa langkah Ayara menjauh, gawainya berdering panjang. Tanpa melihat layarnya, Ayara langsung menggeser tanda hijau di gawainya. Ayara menjauhkan gawainya dari telinganya, ia menatap nama yang tertera di layar ponselnya.

“Masuk atau saya laporkan!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel