Bab 2. Bayangan di Tengah Konflik
Desa Torai, tempat tinggal Akari, adalah sebuah pemukiman kecil yang terletak di kaki Gunung Kaigen. Pemandangan desa itu tampak damai dari kejauhan, tetapi Hayato segera merasakan tekanan yang berat saat memasuki wilayahnya. Ada aura ketakutan yang menyelimuti penduduk, seolah-olah sesuatu yang besar membayangi mereka.
Akari membawa Hayato ke rumahnya, sebuah gubuk sederhana yang dipenuhi tanaman obat. Ia menyuruh Hayato duduk sementara ia menyiapkan makanan.
"Desa ini dulunya damai," ujar Akari tiba-tiba, memecah keheningan. "Tapi sekarang kami hidup di bawah bayangan Klan Kaizen. Mereka memungut pajak yang sangat tinggi, dan jika ada yang tidak bisa membayar, mereka akan menghancurkan rumah atau menculik anggota keluarga."
Hayato hanya diam mendengarkan. Nama "Kaizen" tidak asing baginya. Klan itu adalah salah satu kekuatan kecil di Benua Timur, dikenal karena kebrutalan mereka dan ambisi untuk mendominasi wilayah-wilayah lemah.
"Mengapa tidak ada yang melawan mereka?" tanya Hayato.
Akari tertawa pahit. "Melawan mereka? Para pemimpin desa kami mencoba sekali, tetapi mereka semua dibunuh. Kami hanyalah orang-orang biasa, bukan kultivator seperti mereka."
Hayato mengepalkan tinjunya. Ia mengingat malam ketika desanya sendiri dihancurkan oleh kekuatan besar. Gambaran penderitaan orang-orang yang tak berdaya membuat darahnya mendidih.
"Kapan mereka akan datang lagi?" tanyanya.
Akari menatap Hayato dengan ekspresi bingung. "Kenapa kau bertanya? Kau tidak mungkin berpikir untuk melawan mereka, kan? Mereka memiliki kultivator tingkat Langit di antara mereka. Kau hanya akan mati sia-sia."
Hayato tidak menjawab. Ia bangkit dan keluar dari rumah, mengamati desa itu. Wajah-wajah penduduk yang suram, rumah-rumah yang rusak, dan anak-anak yang kelaparan menjadi pemandangan yang menyesakkan.
"Aku tidak bisa diam," pikir Hayato. "Jika aku ingin menjadi kuat, aku harus menghadapi dunia ini apa adanya. Melindungi orang-orang lemah adalah langkah pertamaku."
Keesokan harinya, para prajurit Klan Kaizen tiba di desa, seperti biasa menuntut pajak. Ada tujuh orang, semua bersenjata dan mengenakan jubah hitam dengan lambang naga merah di dada mereka. Pemimpin mereka, seorang pria besar bernama Goro, tampak menikmati ketakutan yang ia ciptakan.
"Kalian tahu aturannya! Siapa pun yang tidak membayar akan kami bawa sebagai gantinya!" serunya sambil tertawa.
Hayato, yang berdiri di tengah kerumunan, memperhatikan dengan seksama. Ia tidak tahu seberapa kuat musuh-musuh ini, tetapi ia sudah memutuskan.
Ketika Goro mulai menyeret seorang lelaki tua yang tidak mampu membayar pajak, Hayato melangkah maju.
"Lepaskan dia," ujarnya dingin.
Semua mata tertuju padanya. Penduduk desa, termasuk Akari, terlihat ngeri.
"Dan kau ini siapa, bocah? Berani-beraninya bicara padaku seperti itu!" Goro tertawa, tetapi ada sedikit keraguan di matanya. Ia bisa merasakan bahwa Hayato bukan anak biasa.
Hayato tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengaktifkan Langkah Bayangan dan menghilang dari pandangan. Dalam sekejap, ia muncul di belakang Goro dan melayangkan pukulan telapak tangan ke punggung pria itu. Goro terlempar beberapa meter, jatuh dengan wajah penuh amarah.
"Kalian semua, serang dia!" teriak Goro.
Enam prajurit lainnya maju serentak, tetapi Hayato bergerak cepat. Dengan Langkah Bayangan, ia menghindari serangan mereka dengan mudah, melancarkan serangan balasan yang presisi. Dalam waktu singkat, lima dari mereka sudah tergeletak tak berdaya.
Goro bangkit dengan marah, menghunus pedangnya. Ia adalah seorang kultivator tingkat Langit Tahap 2, dan auranya mulai menekan seluruh desa. Namun, Hayato tetap tenang."Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan, bocah. Aku akan mengakhirimu sekarang!"
Goro melancarkan teknik pedangnya, Gelombang Naga Merah. Energi pedang itu membelah udara, meluncur ke arah Hayato seperti gelombang api.
Namun, Hayato telah mempersiapkan diri. Dengan Penyatuan Bayangan, ia menyerap energi dari lingkungan sekitar, memperkuat tubuhnya. Ia melompat ke udara, menghindari serangan itu dengan elegan, lalu memusatkan seluruh kekuatannya pada serangan balasan.
"Tendangan Bayangan Lenyap!"
Tendangan itu menghantam langsung dada Goro, mematahkan pertahanannya. Tubuhnya terpental ke tanah, menciptakan lubang besar.
Desa itu hening sejenak. Para penduduk, yang awalnya ketakutan, mulai bersorak. Akari menatap Hayato dengan campuran kekaguman dan kebingungan.
"Kau... siapa sebenarnya?" tanyanya.
Hayato menatapnya sejenak, lalu berjalan pergi. "Aku hanya seseorang yang ingin menjadi lebih kuat. Tapi ini baru permulaan."
***
Setelah Goro terpental ke tanah, desakan aura kemarahan terpancar dari tubuhnya. Meski terluka parah, ia tidak menyerah. Tubuhnya mulai mengeluarkan hawa merah pekat—Teknik Pengorbanan Darah, sebuah teknik yang meningkatkan kekuatan dengan mengorbankan darah vital.
"Kau pikir aku akan kalah begitu saja?" erang Goro. Suaranya menggema di seluruh desa, membuat penduduk yang semula bersorak kembali dipenuhi rasa takut.
Hayato memperhatikan dengan tenang. Ia dapat merasakan bahwa kekuatan Goro melonjak hingga mencapai Langit Tahap 4. Teknik ini berbahaya, tetapi juga memiliki kelemahan besar: semakin lama digunakan, tubuh pengguna akan hancur dari dalam.
Goro menyerang dengan cepat, melayangkan pukulan-pukulan berat yang memecahkan udara. Namun, Hayato tetap tenang. Dengan Langkah Bayangan, ia menghilang dari pandangan Goro, muncul di berbagai tempat dengan kecepatan luar biasa.
"Kau hanya menyia-nyiakan waktumu," ujar Hayato dingin.
Serangan-serangan Goro semakin kacau, membuatnya semakin cepat kelelahan. Namun, Hayato tidak langsung menyerang balik. Ia memanfaatkan momen itu untuk menguji batas tekniknya sendiri.
Hayato mulai merasakan perubahan dalam Penyatuan Bayangan. Jika sebelumnya ia hanya menyerap energi dari lingkungan, kini ia menemukan cara untuk menyatu dengan bayangan musuhnya. Dengan menyentuh aura Goro, ia dapat membaca pola serangan dan kelemahan pria itu.
"Aku mengerti sekarang," gumam Hayato.
Saat Goro melancarkan serangan pamungkas, Gelombang Naga Darah, Hayato memusatkan kekuatannya pada teknik baru yang ia kembangkan di tengah pertempuran.
"Bayangan Pemutus Langit!"
Serangan itu tidak terlihat oleh mata biasa. Seolah-olah udara di sekitar Goro membelah dirinya sendiri. Serangan Hayato menghantam langsung inti energi Goro, menghancurkan tekniknya dan mengakhiri perlawanan pria itu dalam sekejap.
Goro jatuh tersungkur, tubuhnya gemetar dan kehabisan darah. Pandangannya mulai mengabur, tetapi ia sempat berbisik. "Klan Kaizen… tidak akan membiarkan ini begitu saja."
Setelah pertempuran selesai, penduduk desa berkerumun di sekitar Hayato. Mereka memandangnya dengan campuran rasa kagum dan rasa takut. Seorang lelaki tua maju ke depan, tampaknya kepala desa.
"Anak muda, siapa kau sebenarnya? Dan mengapa kau membantu kami?" tanyanya.
Hayato hanya menjawab singkat, "Aku hanya melewati tempat ini. Klan Kaizen adalah ancaman yang harus dihentikan."
Kepala desa terlihat bingung, tetapi ia berterima kasih. "Kau telah menyelamatkan kami hari ini. Tapi jika yang dikatakan pria itu benar, lebih banyak orang dari klannya akan datang. Kami tidak punya apa-apa untuk membayar jasamu, tetapi kau bisa tinggal di sini sementara waktu."
Hayato menolak tawaran itu. "Aku tidak bisa tinggal. Jika mereka datang lagi, lebih baik aku tidak ada di sini. Keberadaanku hanya akan membawa lebih banyak masalah untuk kalian."
Akari, yang sejak tadi berdiri di dekatnya, menatap Hayato dengan ekspresi serius. "Kalau begitu, biarkan aku ikut denganmu."
Hayato menatapnya dengan mata tajam. "Kenapa?"
"Aku tidak bisa tinggal di sini. Aku ingin membantu orang-orang, tetapi aku tidak cukup kuat untuk melindungi siapa pun. Kau… kau memiliki kekuatan yang luar biasa. Aku bisa belajar darimu, dan mungkin suatu hari aku bisa melindungi desa ini."
Keputusan Akari untuk ikut memperumit situasi. Ia tidak hanya memiliki pengetahuan tentang tanaman obat, tetapi juga tentang dunia kultivasi. Dalam perjalanan berikutnya, ia mulai menjelaskan kepada Hayato tentang klan dan sekte yang menguasai wilayah itu.
"Klan Kaizen mungkin hanya kekuatan kecil, tetapi mereka memiliki sekutu yang lebih besar di Wilayah Timur: Sekte Api Hitam. Jika kau benar-benar ingin menghancurkan mereka, kau harus lebih kuat daripada sekadar melawan kultivator Langit."
Hayato mendengar informasi itu dengan serius. Sekte Api Hitam adalah salah satu sekte tingkat menengah yang terkenal karena praktik gelap mereka. Ia sadar bahwa tindakannya di desa ini hanyalah awal dari konflik yang lebih besar.
"Kalau begitu, aku akan menjadi lebih kuat," ujar Hayato. "Dan jika aku harus melawan Sekte Api Hitam, aku tidak akan gentar."
Setelah Goro terjatuh dan pasukan Klan Kaizen mundur, suasana desa berubah drastis. Dari ketegangan dan ketakutan, kini ada rasa harapan yang baru tumbuh di hati para penduduk. Meski mereka berterima kasih atas bantuan Hayato, kecemasan tetap menyelimuti mereka. Bagaimanapun juga, ancaman dari Klan Kaizen belum sepenuhnya berlalu. Mereka tahu bahwa sebuah pertempuran tidak akan membuat klan itu mundur begitu saja.
Hayato berdiri di tengah desa yang kini tampak lebih tenang. Namun, jauh di dalam dirinya, ada suara yang berkata bahwa ini baru permulaan. Klan Kaizen bukanlah ancaman yang mudah ditangani hanya dengan satu pertempuran. Ia perlu lebih kuat—lebih dari yang bisa ia bayangkan.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Akari, yang kini berdiri di sampingnya, memandang ke arah para penduduk yang perlahan-lahan kembali ke kegiatan mereka, meski ketegangan masih terlihat di wajah mereka.
"Aku harus pergi," jawab Hayato, suara tegas namun penuh pertimbangan. "Aku akan mencari cara untuk menjadi lebih kuat. Ini baru permulaan, dan aku tahu mereka akan kembali. Aku tidak akan membiarkan desa ini terjerumus dalam ketakutan lebih lama lagi."
Akari mengangguk, meski ada raut kesedihan di wajahnya. "Aku tahu... Aku akan ikut bersamamu. Mungkin aku tidak memiliki kemampuan bertarung, tetapi aku bisa membantu dengan pengetahuan tentang tanaman obat dan informasi tentang dunia kultivasi. Dan jika kamu melawan klan-klan besar, kamu akan membutuhkan sekutu."
Hayato memandangnya sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Akari. Namun, ia tidak ingin berpikir terlalu jauh. Yang jelas, mereka berada dalam situasi yang sama—keduanya membutuhkan kekuatan untuk bertahan hidup di dunia yang keras ini.
Akari dan Hayato memutuskan untuk meninggalkan desa dan melanjutkan perjalanan mereka. Menurut Akari, ada sebuah sekte kecil di wilayah barat yang dikenal karena menerima para kultivator pemula. Sekte itu bernama Sekte Kura dan berfokus pada pengembangan teknik bela diri dasar, dengan banyak pemula yang dilatih di sana.
Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Di sepanjang jalan, mereka harus melewati hutan belantara yang penuh dengan makhluk berbahaya dan terkadang perampok. Hayato, meski sudah memiliki kekuatan yang lebih besar setelah beberapa pertempuran, merasa tubuhnya masih belum cukup kuat untuk menghadapi bahaya yang datang. Ia terus melatih dirinya dengan teknik baru yang ia pelajari dari kitab misterius itu, Penyatuan Bayangan.
Akari, di sisi lain, terus memberikan pengetahuan tentang dunia kultivasi. Ia menceritakan tentang berbagai tingkatan kultivasi, serta aliran-aliran yang ada di dunia ini.
"Setiap kultivator memulai dari tingkat Bumi," kata Akari. "Tapi ada banyak tingkat dalam setiap tahapan. Setiap tahap akan memberikan kemampuan yang berbeda. Misalnya, ketika seseorang mencapai Tahap Langit, ia bisa mengendalikan energi alam secara langsung, dan ketika mencapai Tahap Surga, mereka bisa mempengaruhi lingkungan di sekitar mereka."
Hayato mendengarkan dengan seksama. Ia sudah memutuskan bahwa tujuannya adalah mencapai Tahap Surga, bahkan lebih tinggi dari itu. Namun, ia juga menyadari bahwa ia tidak bisa mencapainya hanya dengan teknik yang ia ketahui saat ini. Ia perlu berlatih lebih keras dan mencari cara untuk mengakses teknik-teknik yang lebih kuat.
Setelah beberapa hari perjalanan, mereka akhirnya tiba di Sekte Kura. Terletak di puncak sebuah bukit, sekte ini tampak sederhana namun sangat terorganisir. Tidak ada kemewahan yang berlebihan, hanya sebuah tempat yang dipenuhi oleh latihan keras dan disiplin.
Pemimpin sekte, seorang lelaki tua bernama Master Ryo, menerima mereka dengan sambutan yang hangat meskipun ketegangan tetap terlihat di wajahnya. "Kami tidak sering menerima tamu dari luar," katanya, "tapi jika kamu ingin melatih dirimu di sini, aku tidak bisa menolaknya."
Akari menjelaskan situasi mereka, dan Master Ryo setuju untuk mengizinkan Hayato berlatih di sekte tersebut. Namun, ia memberikan satu peringatan: "Kami bukan sekte besar. Kami hanya mengajarkan dasar-dasar seni bela diri. Jika kamu ingin mengembangkan dirimu lebih jauh, kamu harus meninggalkan kami dan mencari sekte yang lebih kuat. Tetapi jika kamu ingin belajar, kami akan membantu."
Hayato mengangguk. Ia tahu bahwa sekte ini bukan tempat yang bisa membuatnya mencapai tujuannya dengan cepat. Namun, ia juga tahu bahwa untuk melangkah lebih jauh, ia harus memulai dari suatu tempat.
Selama berbulan-bulan, Hayato berlatih keras di Sekte Kura. Ia menguasai berbagai teknik dasar dalam bela diri yang mengandalkan kekuatan tubuh dan pengendalian energi alam. Namun, di balik latihan fisik yang melelahkan, Hayato selalu berfokus pada pengembangan teknik Penyatuan Bayangan dan Langkah Bayangan yang telah ia pelajari sebelumnya.
Setiap malam, ia bermeditasi di bawah cahaya bulan, mencoba memperdalam teknik bayangan yang kini menjadi bagian dari dirinya. Ia merasa bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang tersembunyi dalam teknik-teknik ini, dan jika ia bisa menguasainya sepenuhnya, ia mungkin bisa melampaui batasan-batasan yang ada.
Akari juga terus membantunya, mengajarkan berbagai pengetahuan tentang tanaman obat dan cara-cara bertahan hidup di dunia kultivasi yang keras ini. Meskipun ia tidak memiliki kekuatan bertarung, Akari menjadi sumber informasi yang sangat berharga bagi Hayato.
Namun, kedamaian yang mereka nikmati tidak berlangsung lama. Setelah beberapa waktu, Sekte Kura mulai menerima kabar bahwa Klan Kaizen telah mendengar tentang pertempuran di desa Torai. Klan itu sangat marah karena kehilangan pemimpin mereka, Goro, dan mereka mulai mengirim pasukan untuk mencari dan membalas dendam.
"Aku tahu ini akan datang," kata Master Ryo suatu malam, saat mereka sedang berdiskusi di ruang utama sekte. "Klan Kaizen tidak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Jika kalian berdua ingin bertahan, kalian harus pergi segera."
Hayato mengangguk. Ia tahu bahwa waktu mereka di Sekte Kura telah habis. Sekarang, ia harus mempersiapkan diri untuk pertempuran yang lebih besar, melawan kekuatan yang jauh lebih kuat daripada yang pernah ia hadapi sebelumnya.