Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5

Aku menggigit bibirku, berusaha menahan air mata. "Tidak, tidak ada apa-apa, Mas. Aku hanya merasa tidak nyaman," jawabku sambil mencoba mengendalikan emosiku.

Suamiku terdiam sejenak. "Baiklah," akhirnya dia berkata dengan suara lembut. "Aku akan bicara dengan ibu dan mencoba mencari solusi. Tapi, aku mohon, untuk sekarang tetaplah di sana setidaknya sampai akhir minggu ini."

Aku tidak punya pilihan lain selain menyetujui. "Baik, Mas. Aku akan coba," kataku dengan suara pelan sebelum memutuskan panggilan telepon. Dalam hatiku, aku berharap waktu akan berlalu secepat mungkin agar bisa keluar dari situasi yang mencekam ini.

Setelah menelepon, pikiranku semakin kacau mengingat kejadian kemarin. Aku merasa jijik pada perlakuan Aldi dan benci pada tubuhku sendiri yang seolah mengkhianatiku. Bayangan Aldi dan sensasi itu terus menghantuiku.

"Kenapa tubuhku bereaksi seperti itu? Apa yang salah denganku?" gumamku. Meski mencoba melupakan, bayangan itu selalu kembali. "Ya Tuhan, tolong beri aku kekuatan," desahku.

Aku tahu harus menyembunyikan ini dari suamiku dan keluargaku. Namun, semakin aku berusaha, semakin kuat bayangan itu menempel. Sensasi itu, meski penuh rasa bersalah, tetap memberi kenikmatan yang tak kupahami.

"Bagaimana mungkin aku menikmati hal yang seharusnya membuatku jijik?" pikirku. Setiap kali teringat sentuhan itu, tubuhku bereaksi dengan cara yang menyiksa. Aku merasa terperangkap tanpa jalan keluar.

Rasa bersalah terus menghantuiku, membuatku terjaga setiap malam. "Aku harus kuat," kataku pada diri sendiri. Aku berharap waktu cepat berlalu agar bisa keluar dari situasi ini dan menemukan ketenangan.

﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏?️

Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan cemas. Kejadian itu masih terbayang jelas di benakku. Aku tahu harus berbicara dengan Aldi, memohon agar itu tidak terjadi lagi.

"Bagaimana bisa aku menghadapinya?" pikirku saat menatap langit-langit kamar. "Aku tidak bisa terus begini. Aku harus mengambil tindakan."

Dengan langkah berat, aku mempersiapkan diri untuk hari yang panjang. Mengumpulkan keberanian di setiap nafas. "Aku harus mengatakan padanya, aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut," gumamku sambil menatap cermin. "Tapi bagaimana jika dia tidak mendengarkanku? Bagaimana jika dia malah marah?"

Aku mencoba menenangkan diri dengan memikirkan hal-hal yang membuatku tenang, tetapi bayangan kejadian itu terus menghantuiku. "Aku harus kuat, demi diriku dan suamiku," pikirku. "Aku harus menghentikan ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk."

Saat hari semakin siang, aku mencoba menyusun kata-kata yang tepat di kepalaku. "Aldi, kita harus bicara. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi. Aku mohon, hormati keputusanku," bisikku pada diri sendiri, berulang kali, mencari kekuatan dalam kata-kataku sendiri.

Dengan hati yang penuh keraguan dan ketakutan, aku bersiap menghadapi Aldi, berharap kata-kataku bisa menyelamatkanku dari siksaan batin ini. Aku terus meyakinkan diri bahwa aku harus berbicara dengannya. "Aku tidak bisa terus begini," bisikku pada diri sendiri, mencoba menenangkan nafasku yang tak beraturan.

Setiap kali mendekati pintu kamar Aldi, keberanianku lenyap begitu saja. Dadaku terasa sesak, dan aku terdiam di depan pintu, membiarkan waktu berlalu tanpa tindakan nyata.

Berulang kali aku berpapasan dengan Aldi di rumah, tapi setiap kali mencoba membuka mulut, lidahku terasa kelu. Aku berharap Aldi akan memulai percakapan, tetapi dia malah tampak acuh tak acuh, seakan-akan tidak ada yang pernah terjadi. Ini membuat hatiku semakin bimbang, penuh ketakutan dan ketidakpastian. "Mengapa begitu sulit untuk mengatakannya?" pikirku sambil menekan dada yang semakin berat.

Akhirnya, ketika sore tiba dan kami tak sengaja berpapasan, aku memberanikan diri untuk bicara. Dengan suara pelan tetapi tegas, aku berkata, "Aldi, Tante mau bicara sebentar."

"Oh, iya tante, ada apa?" jawaban Aldi mengejutkanku. Dia kelihatan gugup, mungkin merasakan ketegangan dalam suaraku. "Kita perlu berbicara tentang kejadian itu," lanjutku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang meskipun hatiku berdebar kencang. Aldi hanya mengangguk pelan, tampak was-was.

"Aldi, tante mohon, jangan terulang lagi ya," kataku dengan suara bergetar. "Tante ini adik ibumu, kita keluarga. Sesama keluarga tidak boleh melakukan hal itu, Aldi."

Aldi terdiam, melihat wajahku yang penuh kekhawatiran. Perasaan bersalah tampak di wajahnya. "Tante, aku... aku tidak tahu harus bilang apa," jawabnya lirih.

"Aldi, kamu masih 17 tahun, Aldi. Masih terlalu kecil untuk memahami semua ini," lanjutku dengan nada lembut namun tegas. "Tante tahu kamu mungkin bingung. Tapi percaya, tante di sini bukan untuk menyalahkan kamu. Tante hanya ingin kita sama-sama belajar dari kejadian ini dan memastikan tidak ada yang terluka."

"Tapi tante...," jawab Aldi seperti mencoba membela diri.

﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏?️

"Aldi, tante mohon," pintaku dengan nada yang semakin lirih dan penuh harap. "Kita harus bisa menjaga hubungan ini dengan baik. Tante tidak ingin ada kesalahpahaman lagi di antara kita."

Dengan suara lirih, dia berkata, "Tante, maafkan aku... aku khilaf... tapi aku tak mampu menahan keinginan itu," sambil menundukkan kepala dan kedua tangannya gemetar.

Aku terkejut dengan pengakuannya, hanya bisa terdiam sambil berusaha memahami situasi yang terjadi. Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang mencekam. "Ya Tuhan, kenapa begini sulit?" pikirku, perasaan takut dan marah bercampur aduk.

"Kenapa ini harus terjadi padaku? Kenapa Aldi tidak dapat melihat betapa pentingnya menjaga keluarga dari tindakan yang tak pantas ini?" Aku merasa dikhianati dan bingung, antara harus mengerti dan memberikan pengampunan atau membawa masalah ini ke orang tua Aldi.

"Mungkin aku juga salah, terlalu lembut sehingga Aldi merasa bisa berbuat semaunya," pikirku menyalahkan diri. "Tapi sekarang bukan saatnya untuk mencari siapa yang salah. Yang penting sekarang adalah menghentikan ini sebelum semuanya menjadi lebih parah."

Aku memutuskan, "Aku harus kuat menghadapi semua ini. Untuk diriku sendiri, dan untuk Aldi. Agar ia mengerti, meskipun ini berat, bahwa kita harus saling menjaga dan menghormati satu sama lain."

"Aldi, tante mengerti, kamu masih muda dan bukannya tidak wajar jika itu terjadi padamu," kataku sambil menghela nafas panjang, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. "Perasaan dan dorongan yang kamu rasakan itu memang sulit untuk dikendalikan pada usia seperti ini. Tapi yakinlah, apa yang kita bicarakan ini adalah demi kebaikan kita bersama."

"Sekarang yang penting adalah kita belajar dari kejadian ini dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi," lanjutku dengan penuh perhatian. "Kamu punya masa depan yang panjang, dan tante ingin kamu menjalani setiap langkahnya dengan bijaksana. Ingat, kita keluarga, dan kita harus menjaga satu sama lain."

Aku kemudian mengulurkan tanganku, mencoba menyentuh pundak Aldi untuk memberikan kekuatan. "Tante selalu ada untukmu, Aldi. Jangan merasa sendiri atau malu. Kita akan melewati ini bersama."

"Maafkan Aldi, Tante," Aldi pun memelukku erat. "Aldi akan berusaha, Tante, Aldi janji." Ku balas pelukannya dengan lembut, menepuk punggungnya. "Tante tahu kamu bisa, Aldi. Kita sama-sama belajar dari kejadian ini dan menjadi lebih baik, ya," jawabku dengan suara penuh kasih sayang. Meskipun rasa terluka dan kecewa masih ada, aku percaya bahwa tanggung jawabku adalah memberikan bimbingan dan dukungan kepada Aldi, demi masa depan yang lebih baik bagi kami berdua.

Di dalam kamar, aku merasa sedikit tenang. Meskipun beban emosional ini masih berat, ada kelegaan tersendiri karena Aldi telah berjanji untuk berubah dan menyadari kesalahannya. Dengan langkah pelan, aku mendekati jendela dan menyingkap tirainya, membiarkan sinar matahari sore masuk ke dalam kamar yang kini terasa lebih hangat dan tenang. Berusaha menenangkan hati, aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengusir segala kecemasan yang masih tersisa. "Ini adalah awal yang baru," pikirku dengan optimisme, berharap perbincangan tadi menjadi titik balik dalam hubungan kami.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel