Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 6

Hari-hari berlalu setelah perbincangan itu. Aku dan Aldi mencoba memulai lembaran baru dalam hubungan kami. Aku sadar pentingnya memberi ruang untuk Aldi tumbuh dan belajar tanpa dihantui rasa bersalah. Kami mulai mencari cara untuk lebih memahami dan menghargai satu sama lain.

Pagi itu, aku mengajak Aldi pergi ke tempat yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. "Aldi, bagaimana kalau kita mendaki akhir pekan ini? Udara segar dan pemandangan alam mungkin bisa membantu kita merenung dan menemukan kedamaian," ajakku dengan senyum lembut.

Mata Aldi berbinar mendengar ajakanku. "Boleh, Tante! Aldi suka sekali mendaki," jawabnya penuh semangat. Meskipun masih ada rasa canggung di antara kami, komunikasi mulai terjalin lebih baik.

Perjalanan ke pegunungan itu menjadi momen penting. Dalam hening, kami menikmati kebersamaan tanpa banyak bicara. Langkah demi langkah di jalur pendakian, kami merasakan kehadiran satu sama lain lebih dalam. Setiap detik bersama menjadi upaya untuk memulihkan dan memperkuat hubungan kami.

Menyusuri jalur menanjak, Aldi merasa hatinya lebih ringan. Ia mulai memahami pentingnya saling menjaga dan menghormati. Sementara itu, aku optimis melihat perubahan positif pada Aldi. "Mungkin ini awal yang baru untuk kita," pikirku sambil tersenyum kecil.

Di puncak bukit, kami berhenti sejenak. Pemandangan indah terbentang di hadapan kami, memberikan perasaan tenang dan damai. "Tante, terima kasih sudah mengajak Aldi ke sini," kata Aldi dengan tulus. "Aldi janji akan berusaha menjadi lebih baik dan lebih bertanggung jawab."

Aku menepuk bahunya dan berkata, "Tante percaya padamu, Aldi. Ingatlah, setiap langkah kecil adalah bagian dari perjalanan panjang menuju kehidupan yang lebih baik. Kita akan terus belajar bersama dan tante akan selalu ada di sampingmu." Dengan keyakinan dan harapan baru, kami pun menatap masa depan, siap menghadapi segala tantangan yang akan datang.

﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏?️

Sesampainya di rumah, ponselku berbunyi. Melihat siapa yang menelepon, aku segera menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum," sapaku lembut.

"Waalaikumsalam. Bagaimana kabarnya, Rina? Apakah semuanya baik-baik saja?" suara suamiku terdengar di seberang sana.

"Alhamdulillah, semuanya baik, Mas," jawabku dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. "Maaf ya, Mas. Aku belum sempat bertanya lebih dulu, bagaimana kabarmu di sana?"

"Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Pekerjaan di sini juga lancar," jawabnya. "Tapi Rina, aku ingin membicarakan sesuatu penting."

"Ya, Mas. Ada apa?" tanyaku sedikit cemas.

"Aku berpikir, mungkin sebaiknya kamu tetap tinggal di rumah Kakak dulu untuk sementara waktu," ucap suamiku hati-hati. "Ibu masih belum bisa menerima hubungan kita dan aku tidak ingin ada keributan atau masalah yang tidak perlu."

Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Meskipun perih, aku tahu suamiku hanya ingin melindungiku dari luka lebih dalam akibat penolakan ibu mertua.

"Aku mengerti, Mas. Mungkin ini cara terbaik untuk sekarang," jawabku dengan suara pelan namun tegar. "Yang terpenting, kita tetap saling mendukung dan menguatkan. Semoga suatu hari nanti semuanya akan membaik."

Suamiku terdiam sejenak, lalu berkata penuh pengertian, "Terima kasih, Rina, karena selalu bisa memahami dan bersabar. Aku akan selalu ada untuk mendukungmu."

Aku menutup telepon dengan perasaan campur aduk, namun dengan tekad untuk tetap kuat menghadapi segala rintangan yang ada. "Ini adalah ujian lain dalam hidupku," pikirku, "dan aku harus tetap tabah."

﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏?️

Aldi datang membawa segelas air dingin untukku dan bertanya, "Tante, apakah Ibu akan lama di luar kota?"

Aku tersenyum saat menerima gelas dari tangannya, melihat keponakanku yang tampak cemas. "Ibumu akan berada di luar kota selama dua hari, Aldi. Dia sudah berpesan agar kamu tetap baik-baik di sini dan tidak merepotkan orang lain." Aldi mengangguk pelan.

"Aldi akan berusaha jadi anak yang baik, Tante. Aldi akan membantu apa saja yang bisa Aldi lakukan di rumah," ujarnya dengan semangat, menunjukkan kesungguhannya.

Aku merasa lega melihat tekad Aldi. "Tante percaya kamu bisa, Aldi. Kita saling membantu ya? Sekarang, ayo kita persiapkan makan malam bersama," kataku sambil tersenyum penuh dukungan.

Setelah makan malam, kami menonton TV bersama. Aku memilih sebuah film keluarga yang ringan dan menyenangkan, berharap itu bisa menjadi hiburan yang menyatukan kami. Aldi duduk di sebelahku, merasa nyaman dalam kehangatan kebersamaan yang jarang ia rasakan sebelumnya.

"Aldi, film ini tentang petualangan seekor anjing yang setia kepada pemiliknya. Tante harap kamu bisa belajar tentang arti kesetiaan dan persahabatan dari sini," kataku sambil menekan tombol play di remote.

Kami tertawa dan terharu bersama saat menonton film itu. Setiap momen lucu atau mengharukan di layar mempererat hubungan kami. Malam itu penuh kedamaian dan kebahagiaan, seakan menjadi pengingat bahwa kebersamaan keluarga adalah harta yang tak ternilai harganya.

Namun tiba-tiba, kepalaku mulai terasa pusing. Tubuhku melemas, dan aku merasakan ketidaknyamanan yang mendadak. "Kenapa jadi pusing begini?" bisikku pada diri sendiri. Aku beranjak dari duduk sambil mencoba menjaga keseimbangan.

"Aldi, Tante mau istirahat dulu ya," kataku dengan suara pelan meminta pengertian. Aldi melihat kondisiku dan segera mengangguk, "Tante istirahat saja. Aldi akan membereskan semuanya di sini." Aku tersenyum lemah, merasa sedikit tenang karena ada Aldi yang siap membantu. Aku pun berjalan perlahan menuju kamar untuk beristirahat, berharap pusingku segera reda.

Sesampainya di kamar, aku merebahkan diri yang semakin lemas. Pandanganku kabur dan kesadaranku berkurang. "Ada apa dengan diriku?" gumamku, bingung. Pertanyaan itu muncul di benakku, seketika mencurigai sesuatu tentang Aldi. Namun, kali ini berbeda; aku tidak merasakan gairah melonjak, hanya lemas dan hilang kesadaran. Aku berusaha tetap tenang sambil memfokuskan pikiran, tetapi tubuhku terus melemah.

"Mungkin hanya tubuhku yang lelah karena seharian mendaki," pikirku, mencoba meyakinkan diri. Namun, kekhawatiran tetap membayangiku. Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri di tengah ketidaknyamanan yang menyerang. "Besok pagi pasti sudah lebih baik," lanjutku dalam hati. Aku berusaha tidak panik dan berpikir positif. Sambil berbaring di tempat tidur, kesadaranku mulai berkurang. Aku memejamkan mata, berharap rasa lemas segera hilang. Namun, tubuhku semakin kehilangan kendali, dan rasa tidak menentu semakin memburuk. Di tengah ketidaksadaranku yang perlahan melanda, aku masih mendengar suara-suara samar, tetapi semuanya terasa jauh.

Kemudian tiba-tiba, dalam keadaan setengah sadar, aku merasakan ada seseorang yang mendekat. Pandanganku kabur, membuatku tidak dapat melihat dengan jelas siapa orang itu. Tubuhku terasa lemah sehingga aku pun tak mampu bergerak. Seseorang itu kemudian berbaring di sebelahku, dan tanpa diduga, tangannya mulai meraba tubuhku. Aku ingin berteriak atau memohon, tetapi suaraku tidak keluar. Aku hanya bisa merasa takut dan tak berdaya.

Aku mencoba berkonsentrasi untuk melihat siapa itu. Ternyata, dia adalah Aldi. Aku ingin bangun, tapi aku tidak dapat menggerakkan tubuhku. Kesadaranku pun semakin menipis. Rasa takut menghantuiku, tapi tubuhku tetap lemah dan tak mampu melawan. Aku merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang membuatku semakin tak berdaya. Dalam keadaan yang semakin buram, aku masih mencoba untuk tetap sadar.

"Tante, maafkan Aldi ya, Tante. Tapi Aldi tidak kuat, Tante. Aldi ingin merasakan Tante," bisik Aldi dengan suara gemetar. Tangannya terus meraba tubuhku yang tak berdaya. Aku mencoba menjawab, tapi suaraku tidak keluar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel