Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 4

Di luar kamar, aku mendengar Aldi membukakan pintu untuk Maya.

Maya: "Aldi, Tante Rina di mana?"

Aldi: "Oh, tadi katanya tidak enak badan, mau istirahat, Bu. Jadi dia berbaring sebentar di kamar."

Maya: "Ohh ya, kamu sudah makan, Di?"

Aldi: "Sudah, Bu. Tadi saya bikin mie instan."

Maya: "Oh begitu. Kalau begitu biarkan Tante Rina beristirahat dulu. Ibu akan siapkan makan malam nanti."

Aldi: "Iya, Bu. Nanti Aldi bantu beres-beres juga."

Di dalam kamar, aku mendengar percakapan itu. Aku bingung kenapa Aldi tumbuh menjadi anak yang begitu kejam dan tak berperasaan. Aku ingat Aldi saat masih kecil, begitu polos dan ceria, selalu memanggilku dengan panggilan mesra "Tante Rina". Entah apa yang telah terjadi, perubahan drastis itu membuat hatiku terluka lebih dalam. Aku merasakan penderitaan yang bertumpuk di dadaku, menghimpit setiap nafasku. Aku hanya bisa menangis dalam diam, mencoba mencari jawaban di tengah kegelapan yang meliputi pikiranku. Bagaimana mungkin anak yang pernah aku sayang tumbuh menjadi sosok yang menakutkan seperti ini?

Aku masih terisak dengan apa yang terjadi dan perasaan jijik terhadap apa yang dilakukan Aldi. Namun, efek yang aneh itu masih begitu kuat menyerang tubuhku yang lemah. Aku mulai semakin sensitif, gairahku semakin memuncak. Aku merasakan gelombang energi yang aneh mengalir melalui pembuluh darahku, menggoyahkan kesadaranku yang hampir pingsan. Setiap sentuhan lembut dari kain selimut yang menutupi tubuhku sekarang terasa seperti sentuhan berapi-api, membuat nafasku semakin pendek dan terengah-engah. Tubuhku melawan, mencoba mengusir rasa keterangsangan yang tidak kuinginkan, tetapi hormon-hormonku tidak memberi ampun. Aku berusaha menggigil dalam ketakutanku, berharap tubuhku bisa menenangkan rasa yang mendidih di dalam diriku ini.

“Kenapa tubuhku berkhianat seperti ini?” pikirku dalam kegelisahan. “Aku tidak ingin ini. Aku tidak mau merasakan ini.”

Tanpa disadari, tanganku bergerak ke arah selangkanganku dan mendapati cairan yang begitu banyak keluar dari surgawiku. Jari-jariku dengan lembut menyentuh titik sensitifku yang begitu menegang. Aku pun mendesah. Perasaan bersalah bercampur dengan kenikmatan yang tak terelakkan, menciptakan konflik dalam benakku. Tubuhku bergetar hebat, merespons sentuhan yang tak sengaja aku berikan pada diriku sendiri, sehingga menambah intensitas dorongan yang terus menggelora. Aku hanya bisa terisak dalam keheningan, berusaha memerangi nafsu yang mengguncang diriku tanpa ampun.

“Ini salah. Aku tidak boleh menikmati ini,” renungku dengan air mata yang terus mengalir.

Setiap gesekan ringan dari jari-jariku menambah sengatan listrik yang menggetarkan tubuhku yang lemah, aku merasa malu dan jijik terhadap diriku sendiri. Aku mencoba melawan dorongan itu, namun tubuhku tetap merespons dengan sensasi yang tidak dapat kuabaikan.

“Tolong, hentikan... aku tidak ingin ini,” pikirku putus asa.

Di antara isak dan desahanku, tubuhku menolak untuk berkompromi denganku seakan meminta untuk diselesaikan. Kaki-kakiku pun terbuka lebar, jari-jariku yang cantik dengan begitu lembut memainkan setiap inci surgawiku. Sensasi yang berkecamuk di tengah campuran rasa malu dan nafsu membuat setiap sentuhan terasa lebih intens. Aku menangis di antara desahan yang terputus-putus, merasakan dorongan yang tidak tertahankan untuk mencapai pun-cak meskipun hatiku menolak perasaan itu dengan sekuat tenaga. Namun, tubuhku seolah-olah memiliki keinginan sendiri, menuntut untuk dipuaskan dalam gelombang keinginan yang mendominasi kesadaranku.

“Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa aku tidak bisa mengontrol tubuhku sendiri?” pikirku dengan rasa sakit yang mendalam.

Seketika itu, tubuhku mengelinjang intens. Cairan kenikmatan memuncrat tak henti-hentinya dari surgawiku, membasahi kasur di bawahku. "Ahhh... ahhh... ahhhhhh..." desahanku semakin keras, memecah keheningan kamar. Tubuhku larut dalam gelombang kenikmatan yang tak terelakkan, setiap sentuhan membangkitkan ledakan perasaan yang membuatku hampir kehilangan kesadaran.

Aku terjebak di antara dua dunia, rasa bersalah dan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, mendera tanpa henti. Sensasi mendominasi kesadaranku, membuatku merasa seperti terperangkap di antara surga dan neraka, di mana kesenangan bercampur dengan rasa bersalah yang mendalam.

Setelah puncak itu terlewati, aku hanya bisa terbaring lemah, terengah-engah dan air mata terus mengalir. Dalam hati, aku memohon agar semua ini segera berakhir. “Aku benci diriku sendiri karena apa yang baru saja terjadi,” pikirku dan air mataku pun mengalir.

﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏?️

Keesokan harinya, aku selalu berusaha menghindari Aldi. Rasa bersalah dan jijik masih menghinggapi diriku, seolah-olah ada beban berat yang menekan setiap langkahku. Setiap kali pandangan kami bertemu, aku buru-buru pergi, mencoba menjauh secepat mungkin. Bahkan tak jarang aku mencari jalan lain agar tidak harus bertemu dengan Aldi.

Namun, Aldi tidak bisa melepaskan pandangannya dariku. Dia memperhatikan setiap gerakanku dengan intensitas yang menakutkan, seakan-akan dia mengawasi setiap langkah dan gerak-gerikku dengan penuh obsesi. Ketika aku berusaha melarikan diri dari tatapannya, Aldi justru semakin tertarik dan tak bisa mengendalikan keinginannya untuk selalu berada di dekatku.

"Ya Allah, kenapa ini harus terjadi padaku?" pikirku dalam hati setiap kali aku merasa tatapannya mengikutiku. Pandangan Aldi yang penuh obsesi membuatku semakin takut dan gelisah. Aku merasa terperangkap dalam rumahku sendiri, seakan-akan tidak ada tempat yang benar-benar aman bagiku.

Merasa bahwa aku tidak dapat menghindari Aldi lebih lama lagi, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera mengunci diri di dalam kamar. "Mungkin di sini aku akan merasa sedikit lebih aman," gumamku sambil mengunci pintu dan menempelkan punggungku ke daun pintu yang dingin.

Setiap kali aku mendengar langkah kakinya mendekat, jantungku berdegup kencang. "Ya Tuhan, jangan biarkan dia mendekatiku lagi," doaku dalam hati, berharap keajaiban bisa melindungiku dari monster yang kini menghantui hidupku. Ketidakberdayaan ini membuatku semakin terpuruk dalam keputusasaan.

"Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku melarikan diri dari rumah ini?" pikiranku terus berkecamuk. Aku merasa bingung dan takut, tidak tahu ke mana harus pergi atau bagaimana harus bertindak.

Di dalam kamar yang sempit dan sunyi ini, aku merasa sedikit terlindungi meskipun ketakutan dan trauma masih menghantuiku. "Aku harus segera mencari solusi," bisikku pada diriku sendiri, mencoba menguatkan hati yang hampir hancur.

Namun, setiap kali teringat tatapan penuh nafsu itu, tubuhku kembali gemetar. "Bagaimana mungkin anak yang pernah aku sayang tumbuh menjadi sosok yang menakutkan seperti ini?" renungku dengan air mata yang kembali mengalir. Waktu berlalu begitu lambat dalam ketakutan ini, dan aku hanya bisa berharap semua ini segera berakhir.

o0o

Di belakang pintu yang terkunci, aku terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding. Air mata tak hentinya mengalir, tubuhku gemetar, memikirkan pengalaman traumatis yang baru saja kualami dan bayangan Aldi yang seolah tidak pernah meninggalkanku. Dalam kebuntuan dan keputusasaanku, aku hanya bisa meratap, berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa kubangunkan dan akhiri kapan saja.

Namun, aku segera menyadari bahwa mengunci diri di dalam kamar bukanlah solusi jangka panjang. Didorong oleh perasaan takut dan keinginan untuk segera mengakhiri situasi yang mencekam ini, aku teringat bahwa pindah kembali ke rumah mertuaku mungkin adalah solusi terbaik. Jika aku bisa menghubungi suamiku dan menjelaskan situasinya, mungkin dia akan mendukungku untuk pindah sementara ke rumah mertuaku.

Dengan tangan yang masih gemetar, aku menggapai ponsel yang tergeletak di atas meja dekat tempat tidurku. Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas dalam-dalam sebelum menekan nomor suamiku. Sambil menunggu dering terdengar, berbagai pikiran berkecamuk di benakku, namun aku berusaha untuk tetap fokus pada niatku untuk mencari perlindungan di rumah mertuaku.

"Sayang, ini Rina," ucapku dengan suara bergetar begitu panggilan tersambung. "Aku... aku merasa tidak baik di rumah sekarang. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Bisakah aku pergi dan tinggal sementara di rumah ibu?"

Namun, suamiku bersikeras, "Kamu harus tetap tinggal dengan kakakmu. Kamu tahu kan, ibu tidak setuju dengan pernikahan kita. Aku tidak ingin kamu disakiti."

"Aku tahu, Mas, tapi aku benar-benar tidak bisa di sini lebih lama lagi," kataku dengan suara bergetar. "Aku mohon, izinkan aku pulang, setidaknya untuk beberapa hari saja."

Suamiku menghela nafas panjang di seberang telepon. "Sayang, ini semua demi kebaikan kita. Aku janji masalah ini hanya sementara. Bertahanlah sedikit lagi," pintanya.

Aku terdiam, merasa terjebak di antara dua pilihan yang sulit. "Tolong mengerti, Mas. Aku benar-benar tidak bisa di sini. Setiap hari terasa seperti siksaan," kataku putus asa.

"Apakah ada sesuatu yang terjadi di sana yang tidak kamu ceritakan padaku?" tanya suamiku dengan cemas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel