Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 8

Sepulang dari ngantar Aure, aku langsung pamit ke kantor. Karna ada beberapa berkas yang harus aku cek sebelum jam empat. Seperti janjiku, aku akan ngantar dia masuk kuliah.

Iya sih tadi aku bilang cuti. Emang cuti, tapi ini berkas penting dan harus menyita waktu cutiku. Aksa nggak bisa tandatangan diberkas ini. Karna kepemilikan pabrik ada atas namaku.

“Cie.....tumben pakai batik,” baru sampai didepan pintu udah disambut sama ocehan Pandu.

“Abis kondangan.” Jawabku sambil buka pintu dan langsung masuk. Aku balik keluar dan natap Bella yang ternyata juga natap aku. “Buatin kopi. Gulanya setengah sendok aja, airnya jangan penuh.” Nggak perlu nunggu jawabannya, aku langsung masuk keruangan.

“Van, ketus banget sama anak baru. Kasian kalo dia nggak betah.” Nasehat Pandu, dia milihin berkas yang penting.

“Cckk, ngomong aja lo naksir!!”

“Enggak. Gue sadar, udah punya bini. Bentar lagi bini gue lahiran anak kedua. Emang elo yang ma........”

“Bentar lagi gue kawin. Biar bisa gue sumpel itu mulut pakai cendol.” Sungutku, memotong kata-kata Pandu.

Kebiasaan kalo lagi ngumpul, pasti dia dan Aksa selalu ejekin kesendirianku. Bbjiir emang!!

Matanya melotot dan natap aku serius. “Bener udah mau nikah? Sama cewek yang di pom kemarin?” tanyanya penasaran.

Kusunggingkan senyum. “Kaya’nya.”

Pandu nonyor kepalaku. “Gue nanya serius bego!!”

“Gue belum tau monyet!!”

Ya karna jujur aku masih ragu untuk bilang jika dia beneran akan jadi istriku. Emang tadi dia udah nerima lamaranku, tapikan belum didepan orangtuanya dan orangtuaku. Masih harus pastiin lagi.

“Kapan Rena lahiran?” aku ngalihin pembicaraan.

“Prediksi sebulan lagi. Gue cuti ya.”

“Masih lama.”

“Ya ijinnya mulai sekarang.”

“Pulang dari sekarang dan seterusnya juga boleh kok.” Jawabku santai.

“Serius? Elo mau nanggung hidup gue sekeluarga?” dia tegakkan badannya dan natap aku nyari keseriusan.

“Boleh.”

“Anak gue dua kuy, masih ada cicilan rumah juga. Mobilnya udah lunas.”

“Asal bini lo juga buat gue. Elonya pergi yang jauh ke antartika sono.” Gue terkekeh dan balik natap berkas didepan.

“Monyet lo!!” umpatnya kesal.

Tok..tok..tok

“Pak, kopinya.” Suara Bella dari luar.

“Masuk.”

Pandu berdiri, sok perhatian bukain pintu buat Bella. “Taruh dimeja ya Bel.”

“Iya pak.” Bella naruh dua cangkir kopi diatas mejaku. “Ada yang diperlukan lagi pak?”

Aku diam berfikir sejenak. Lalu menggeleng. “enggak.”

“Kamu tinggal dipesantren ya Bel?” tanya Pandu. Aku kembali fokus sama kerjaan.

“Iya pak.”

“pesantren mana?”

“pesantren darusalam.”

Keningku sedikit berkerut. Bukannya aku waktu itu kesana sama Reza ya? Jadi Bella tinggal disana. Oh,

“Kenal Kyai Fata?” tanya pandu lagi. “Dia sering ngisi pengajian di komplek rumahku.”

“Dia....Abi saya Pak.” Jawabnya dengan menundukkan kepala.

Aku menghentikan pekerjaan, kembali mengingat obrolanku dengan Reza kala itu.

“subkhanalloh,...” pujinya saat itu.

“Kenapa Za,” tanyaku yang tak tau.

Reza menyapu wajah dengan kedua telapak tangan. “Lihat bidadari om.”

Aku terkekeh. “Mana?” mulai celikukan mencari yang dia maksud.

“Masuk ke dalem (rumah utama)” dia menunjuk rumah pak Kyai yang tak jauh dari mushola.

“Kamu naksir anaknya pak Kyai?”

Reza nyengir. “Cuma mengagumi om. Sejauh ini kita saudara, walau sebenarnya saudara jauh.”

“Pepet terus dong. Keburu disrobot yang lain.”

“Ah, om ini. Pasti pengalaman buruk.” Eh dianya malah ngejek. Kenakan akunya!! Sial emang.

**

Pov author

Evan pulang kerumahnya sebentar untuk mandi dan berganti pakaian. Usai itu dia segera pergi lagi kerumah Aure untuk mengantarkannya kuliah.

Pukul setengah empat dia sampai dirumah Aure, pamit sama umminya dan bergegas pergi.

“Om, mampir ke pesantren bisa?” pinta Aure saat mereka sudah ada didalam mobil.

“Bisa. Emang kenapa harus mampir kesana dulu?”

“Ranisya mau nebeng. Dia juga ada kelas dijam yang sama. Cuma dia pulang lebih malam. Pulangnya nanti dia dijemput sama Fano, adiknya.”

“Ranisya? Santri di pesantren ya?” evan melirik Aure sebentar.

“Bukan. Dia anaknya pakde Fata, yang punya pesantren.”

“Oh, jadi anaknya pak Kyai ada 3 ya?”

“Iya, mbak Bella, Ranisya dan Fano.” Jelas Aure.

“Jadi kalian itu saudara dari apa?”

“Dari ummi Zeta. Ummi itu anak angkatnya almarhum kakek sama nenek.”

“Oh, berarti bukan saudara kandung ya?

“Bukan sih. Aku dan Ranisya yang saudara kandung.”

Evan mengeryitkan keningnya, tapi dia tak berani bertanya lebih. Karna pasti dulu ada kisah tertutup dari orangtua mereka.

Tak terasa mobilnya sudah memasuki gerbang pesantren. Aure turun lebih dulu tanpa mengajak Evan, dengan sendirinya Evan turun mengikuti langkah Aure. Menyalami Fata dan Citra.

“Assalamualaikum pak, buk.” Sapa evan.

“Waalaikumsalam.” Citra menelakupkan kedua tangan didepan dadanya.

“Ranisya udah siap belum De,” tanya Aure.

“itu tadi baru masuk ngambil tas.” Jawab Fata. “Ayo duduk dulu.”

“Nggak usah Pakde, takut telat. Pelajarannya mulai jam empat tepat.” Tolak Aure dengan sopan.

“Ini siapa Re?” tanya Citra yang dari tadi penasaran sama Evan.

“Saya Evan buk.” Jawabnya memperkenalkan diri.

“Pacar?”

“Insyaalloh calon imam De.” Tegas Aure.

Ada binar bahagia diwajah Evan. Aure baru saja mengakuinya sebagai orang yang penting dihidupnya.

“Oh, alkhamdulilah.” Seru fata. “Kapan harinya Re?”

Aure hanya tersenyum malu. “Belum dibicarakan De.”

“Abi, Bunda, aku pamit dulu ya. Nanti Fano suruh jemput.” Ranisya keluar dari rumah dan segera menyalami tangan kedua orangtuanya.

“Iya, nanti Abi sampaikan.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Sedari tadi Evan memperhatikan wajah kedua wanita didalam mobilnya ini. Memang ada sedikit kemiripan. Ya, mungkin memang dulu Linxi mempunyai kesalahan. Bahkan umur mereka tak jauh beda.

Setibanya dikampus Aure dan Ranisya berpisah, mereka masuk kekelas masing-masing. Evan duduk ditaman dengan laptopnya, dia bersikukuh menunggu Aure hingga selesai matkul.

**

“Nih,” Aure menyerahkan flasdish ke Zefan yang duduk disampingnya.

Zefan mengerutkan kening. “Ini apa?” dia raih flasdish itu.

“Itu tugas kelompok kita. Kamu lengkapi yang belum ada. Kamu kan pintar.” Aure kembali menatap buku didepannya.

Zefan nyengir. “Nyadari juga kalo gue pintar.”

“Terpaksa.”

“Jangan dong. Sakit kalo dipaksa.”

“Itu tau. Sukanya kok maksa?” Aure natap Zefan dengan sinis.

“Pengen bukti’in aja kalo gue beneran cinta.”

“Cinta mulu yang dipikirin.”

“Ya enggak lah, gue selalu mikirin masa depan kita sayang...”

“Iisshh najis ya. Sayang, sayang!! Apaan. Jangan lagi deh panggil aku kek gitu. Ogah!!” Aure ngomel sampai mulutnya manyun-manyun.

Yang diomelin malah asik perhatiin wajah Aure sambil senyum senang.

“Zef, kamu liatin terus lama-lama aku timpuk ya.” Mengangkat buku buat nimpuk Zefan.

“Timpuknya pakai cinta dong Re.” Nggak menyingkir ataupun berhenti, Zefan malah mainin matanya. Bikin Aure tambah gregetan.

“Dasar sinting!!!” dia memilih diam dan kembali baca buku.

Tak begitu lama dosen mata kuliah hari ini segera masuk dan pelajaran dimulai.

**

“Gue antar pulang ya Re.” Zefan berdiri disamping meja Aure.

“Enggak. Aku nggak mau diboncengin sama kamu.” Tolaknya tanpa natap Zefan.

“Hey, hari ini gue sengaja bawa mobil, biar kamu mau aku antar pulang.”

“Enggak Zef. Aku udah ditungguin.” Aure berdiri, mereka berhadapan.

Kening Zefan terlipat. “Ditungguin siapa? Reza?”

Aure hanya tersenyum dan berlalu keluar kelas meninggalkan Zefan. Berjalan santai menuruni anak tangga, belok kiri sedikit dan sampai lah diparkiran. Dengan cekatan Evan membukakan pintu mobil, menutupnya setelah Aure masuk.

Dari jauh Zefan memperhatikan dua manusia itu. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel