Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 7

Adzan subuh membangunkanku dari mimpi aneh itu lagi. Aku bermimpi berada diruangan gelap dan seorang lelaki misterius itu lagi. Lelaki yang wajahnya tak bisa kulihat, bahkan dia tidak mengatakan apapun. Sebenarnya siapa lelaki itu. Aku duduk diam ditepi ranjang mencoba mengingat mimpi semalam, mencari tau siapa lelaki yang membawaku pergi dari kegelapan itu.

Tok...tok...tok

“Aure, ayo sholat dulu.” Suara ummi dari luar kamar yang mengajak sholat berjama’ah.

“Iya ummi.”

Segera aku beranjak mengambil wudhu dan memakai mukena, lalu keluar kamar menuju mushola rumah yang ada disamping ruang tv.

Setelah zikir dan berdoa kami kembali keaktifitas masing-masing. Aku balik kekamar dan mulai membuka laptop, mengerjakan tugas dari pak Bram. Yakin banget kalau Zefan belum garap apapun. Iya percaya dia pintar, tapi dia hampir nggak pernah ngerjain tugas. Hhuuhh ngrepotin banget tuh bocah!!!

Klunting!

Sebuah pesan WA masuk diponselku. Kulirik sebentar, karna sebenarnya pengen fokus ketugas dulu. Tapi segera senyum melebar dibibirku, pesan itu dari om Evan.

[Pukul 11 ada acara?]

Segera kuketik pesan balasan. [Nggak ada om. Senin aku ambil kuliah sore.]

[Temani bentar, mau?] Balasan dari om Evan yang singkat tapi membuat senyum makin mengembang.

[Ok]

Setelah itu aku kembali rampungin tugasnya. Hingga nggak kerasa udah jam 7 pagi. Ummi manggil buat sarapan bareng.

~~

Pukul 10 siang om Evan beneran udah jemput aku dirumah. Udah ijin sama Ayah dan Ummi. Om Evan ngajak aku pergi kebutik langganan keluarganya. Menyuruhku memakai gamis batik kombinasi tile mewah. Setelah memakai pakaian ini, si embak karyawan butik ngasih jilbab yang senada sama warna gamis. Selesai berdandan aku segera menemui om Evan yang udah nunggu diruang tunggu.

Sempat kaget karna ternyata dia juga pakai kemeja batik yang sama seperti yang kupakai. Nggak nyangka ternyata om Evan ngajak aku pakai sarimbit gini. Tanpa sadar terukir senyum dibibirku.

“Seneng ya?”

“Eh,....” aku gugup saat ternyata om Evan memperhatikanku sedari tadi. “Kok bajunya bisa pas dibadanku ya?” pura-pura seneng karna ukuran baju. Padahal bukan karna ini.

“Nandain sepasang calon suami istri yang pas juga.” Dia berbisik disamping telingaku. Sukses bikin aku begidik senang.

Lalu berjalan keluar butik ninggalin aku yang masih kesengsem sama gombalannya.

“Nggak jadi nemenin?” kembali dia menolehku.

“Eh, iya.” berjalan sedikit berlari mengejarnya.

Om Evan udah berdiri disamping pintu mobil yang terbuka. Ditutupnya pintu dengan pelan setelah aku masuk, tak lupa kupasang pengaman sebelum om Evan yang pasangin kaya’ waktu itu. Om Evan muteri mobil dan masuk, duduk dikursi kemudi sampingku.

“Kita mau keacara apa om?” tanyaku setelah mobil berjalan meninggalkan butik itu.

“nikah.” Jawabnya singkat. Bahkan tanpa menatapku, pandangannya lurus kejalan.

Mataku melotot tak percaya sama yang dia katakan. Om Evan serius mau nikahin aku hari ini? Bahkan aku belum jawab lamarannya. Dia juga belum bawa orangtuanya kerumahku kan? “Ma.......”

“Ke nikahannya temanku.” Ucapnya memotong kata-kataku. Dia tersenyum menatapku yang menghembuskan nafas berkali-kali. “Mikirnya kejauhan.”

“Siapapun juga akan mikir gitu om.” Elaku.

“kamu aja.”

“Tanya aja sama reader, pasti mikirnya om ngajakin aku nikah hari ini.”

“Nggak masalah kalo kamu mau. Aku malah seneng.” Jawabnya dengan santuy. Nggak tau sama aku yang udah berdebar senam jantung dari tadi. Emang dasarnya udah umur sih, bisa santuy kek gitu ngomongnya. Aku mulai cemberut memanyunkan mulutku.

Terlihat om Evan berkali-kali tersenyum sampai keliatan gigi gingsulnya. “Apanya yang lucu coba? Nyebelin.” Umpatku kesal.

Kali ini dia ketawa kecil. “Kamu tambah cantik.” Ucapnya tanpa menatapku.

Aku tersipu malu dengan pujian itu. Bahkan pipiku terasa panas dan udah pasti wajahku sekarang memerah. Memalingkan wajah menatap luar jendela untuk menyembunyikan wajah merah ini.

Tak begitu lama mobil berhenti di sebuah gedung mewah tempat nikahan temannya om Evan. Mataku sibuk memperhatikan gedung berlantai tiga itu.

“Nih, pakai.”

Aku menoleh kearah om Evan. Dia memberiku sebuah cincin titanium berwarna hitam selebar setengah senti. Aku menengadahkan tangan dan dia menjatuhkan cincin itu tepat ditelapak tanganku.

“Tapi kita kan...”

“Aku nggak ngajak kamu tunangan. Biar sama aja kaya’ punyaku. Nih.” Dia memperlihatkan jari kelingkingnya yang dipasangi cincin sama kaya’ yang dikasih ke aku. “Nggak mau pakai nggak papa, simpan aja.”

Abis ngomong gitu dia langsung turun dan menutup pintu mobil. Tanpa berfikir lagi, aku memasang cincin itu di jari jempolku, karna memang pasnya disitu. Om Evan bukain pintu mobil untukku. Kami jalan berdampingan memasuki gedung resepsi. Andai aja yang jalan disampingku ini si Zefan, pasti ini tangan udah digandeng. Seneng karna ternyata keluarga om Evan sama seperti keluargaku yang mengenal Tuhan.

Om Evan mengajakku memberi ucapan selamat pada mempelai yang ada di atas panggung. Lalu kami turun dan menikmati sedikit snack. Sekitar 15 menit didalam ruangan itu, om Evan segera mengajakku keluar. Ternyata dia tipe orang yang nggak menyukai keramaian.

“Mau makan yang seger nggak?” tawarnya.

Kita udah ada didalam mobil lagi.

“Boleh deh.” Ini memang jam makan siang dan perutku udah minta diisi.

“Masuk kuliahnya jam berapa?”

“Jam empat sampai jam lima. Senin hanya satu matkul aja sih.”

“Berangkat sendiri?” om Evan natap aku. Aku Cuma ngangguk. “Ntar aku antar ya.”

“Emang om nggak sibuk?”

“Aku cuti tiga hari.”

“Ok.” Senyum ngembang dibibirku.

Setelah obrolan ringan itu kami sama-sama terdiam dengan hati yang berbunga. Tak begitu lama om Evan menghentikan mobilnya dirumah makan yang lumayan rame.

“Cuma ada satu menu. Bakso sapi aja. Kamu alergi ngak?” tanyanya sebelum kita turun.

Aku hanya geleng kepala, om Evan natap lekat. Bahkan aku bisa melihat ada cinta dari tatapannya itu.

“Mau nggak makan disini? Mumpung belum turun.”

“Mau lah om. Aku juga udah sering makan bakso kok.”

Dia menyunggingkan senyumnya, membuatku tersenyum juga. “Ok, kita turun.”

Kita turun bareng dan masuk kedalam.

“Silahkan pak, bisa dipilih mau pesan menu apa?” seorang karyawan wanita menyambut kami dipintu masuk.

“Dek, kamu suka pedas?” tanyanya.

“Suka.” Aku ikut membaca tulisan menu di kertas berwarna hijau itu.

“Level berapa?”

“ini.” Aku menunjuk level 100 dan tanpa nunggu jawaban om Evan, segera aku berjalan mencari tempat duduk paling nyaman.

Om Evan mengekoriku dan duduk didepanku. “Yakin kamu bisa makan lever 100?”

“Nantangin ya?” kulipat tanganku diatas meja sambil menatapnya.

“enggak sih, tapi selera kita sama.” Dia balas menatapku.

Hingga sepersekian detik kita hanya diam saling menatap, aku mengalah. Aku nggak kuat adu tatap, jantungku mulai parah. Ritme detaknya nggak karuan.

Kumainkan cincin pemberian om Evan tadi sambil menunggu pesanan datang.

Pov Evan

Berkali-kali aku melirik gadis mungil didepanku. Dia menunduk, memutar-mutar cincin yang terpasang di jempolnya. Tak sabar ingin segera membuatnya halal, agar bisa mencubit pipinya yang cubby itu.

Tak begitu lama, pesanan kami datang. Dua mangkuk bakso jumbo beranak tanpa mie. Aure tersenyum , segera mengambil garpu dan pisau kecil yang memang disediakan. Mulai membelah bakso jumbo itu.

“Waahh enak banget ini om.” Ucapnya sambil tersenyum senang.

Aku ikutan senyum senang lihat dia sebahagia itu. “balapan makan yuk.” Ajakku, aku belum menyentuh makanan bagianku.

Dia mendongakkan kepala menatapku, kembali tersenyum membuatku makin gemas. “Ok, hadiahnya apa?”

“Siapa yang habis lebih dulu dia yang menang. Yang menang boleh minta apapun.”

“Ok.”

“Mulai.” Dia begitu bersemangat.

Aku pun mulai makan, aku ingin meminta sesuatu darinya, jadi sengaja membuat permainan ini. Kupastikan punyaku habis lebih dulu.

Sekitar lima menit, punyaku sudah habis tak bersisa, kuahnya ikut pergi keperut. Mulai kuraih gelas minum dan meminumnya.

“yaahh punya om udah habis. Punyaku masih ada. Kaya’nya aku udah kenyang deh.” Dia manyun dengan bibir merah karna kepedesen dan mulutnya mengerucut bikin ketawa kecil. Gemes pengen nyium.

“Kalah dong.” Kembali senyumku melebar. Rasanya aku tak bisa hilangkan senyum saat berada didekatnya.

“Iya nih. Om minta apa? Jangan yang mahal ya. Aku nggak punya uang banyak, uang jajanku Cuma pas buat seminggu. Sisa dikit sih, tapi mau buat beli pesawat.”

Keningku melipat. “Pesawat?”

Yakin dia mau beli pesawat?

“Hehehehh....” Dia nyengir. “Iya, pengen berangkat umroh naik pesawat.”

Subkhanallah, umurnya yang masih segitu udah punya keinginan yang luar biasa. “Aku doain cepat terwujud.”

“Makasih om.” Mulai menatapku lekat. “Om minta apa?”

“Minum dulu gih, kepedesen kan? Itu bibir sampai mirip tomat.”

Nurut, dia minum dan aku beranjak kekasir untuk membayar. Setelahnya, keluar dari warung dan masuk kemobil. Dia mengekor dibelakang.

“Aku bisa sendiri om.” Ucapnya dibelakang saat aku hendak membukakan pintu untuknya.

“Ya udah.” Aku berlalu pergi buka pintu buatku sendiri.

Aku lirik, dianya cemberut sambil buka pintu dan masuk kedalam. Iisshh cewek mah gitu, sok jual mahal.

“Om minta apa?” tanyanya sambil menatapku.

Aku gantian menatapnya, hingga mata kami lama bertemu. Cuma saling diam sambil natap gini udah bikin debaran nggak karuan, apa lagi liat kedua pipi itu bersemu merah.

“Malah liatin gitu,” dianya tersipu malu dan menunduk.

Kehembuskan nafas untuk mengatur debaran didada. “Om Cuma minta kamu jawab jujur.”

“Apa?” tanyanya penasaran.

Aku menatapnya lekat, “Sebenarnya kamu suka nggak sama om?” pertanyaan itu berhasil lolos dengan mudah.

Dia gelagapan, mulai berkedip-kedip dan terlihat gugup. Menatap lurus kedepan, kemudian menunduk. Memainkan cincin di jempolnya dan diam.

Aku masih setia mengawasinya. Aku ingin melihat dan mendengar jawaban itu secepatnya. Mencari kebenaran yang sepertinya bukan hanya perasaanku saja. Tapi dia memang memiliki rasa yang sama seperti yang aku miliki.

“Aku.....emmm...a---aaku juga suka.” Jawabnya gugup, bahkan nunduk nggak mau natap aku.

Senyum merekah dibibirku. Aku beralih posisi menghadapnya. “Suka bakso yang tadi ya?”

Dia mengangkat kepalanya dan menatapku tajam. Aku tetap stay cool, karna pengen dia jujur. Mengangkat satu alisku keatas. “Kenapa? Mau bungkus dibawa pulang? Mumpung masih disini.”

“Iiihh om nyebelin.” Dia manyun.

“Ya ngomongnya setengah gitu. Aku kan nggak tau dek.”

“Aku suka sama om Evan.”

Senyumku berubah jadi tawa kecil. Aku memeluk stir didepanku. Bahagia banget dengar ini. Apa lagi sambil liat wajahnya yang imut dan malu-malu. YaAlloh, makasih.

“Kok malah ketawa sih. Aahh aku jadi malu.” Dia menutupi wajah dengan kedua tangannya.

“Jadi, lamaran om kamu terima?” kembali kutatap dia lekat. Dia Cuma ngangguk. Dan ini udah cukup membuatku bahagia banget.

Kembali senyum ini mengembang dan mengepalkan tangan. “Yes!!” ucapku dengan bahagia. “Besok aku ajak Ayah dan Ibuk kerumahmu ya. Kita bicarakan ini.”

Dianya ngangguk lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel