Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 6

“Assalamualaikumwarohmatulloh....”

Kusapu wajah dengan kedua tanganku. Kembali aku tidur setelah selesai menunaikan sholat tahajud dan sholat istikhoroh. Tentu setelah berzikir dan berdoa meminta petunjuk pada Tuhan. Agar aku tak salah langkah dalam memilih nanti.

Pukul 5 pagi, aku mengerjapkan mata, diam ditempat tidur mengingat mimpiku tadi. Disebuah ruangan bernuansa gelap, aku hanya sendirian. Dan seseorang datang memelukku, mengajakku pergi dari ruangan itu. Hingga kami berada di hamparan padang rumput luas dengan berbagai macam bunga.

Aku menghembuskan nafas pelan, kembali memejamkan mata untuk mengingat lelaki yang ada didalam mimpiku. Tapi terasa samar, wajahnya sulit untuk kukenali. Aku bangkit dan mulai ambil wudhu untuk sholat subuh.

Hari ini minggu, usai sholat subuh aku kembali tidur karna tak ada kegiatan yang hendak kulakukan.

Terasa sebuah sentuhan yang lembut menyentuh pipiku. Membuatku terusik dari kenyamanan. Saat mata terbuka, ada ayah yang sudah duduk ditepi ranjang. Dia menatapku dengan senyumannya.

“ayah,” ucapku lirih. Kututup mulutku karna menguap. “Udah siang ya?”

“Udah, ini udah jam 10 lho.” Ayah merapikan anak rambut yang berantakan diwajahku.

Aku balik menatapnya. “Ayah kenapa?”

Dia usap ujung matanya, lalu tersenyum. “Ayah masih nggak percaya, kamu sekarang udah gadis. Waktu ayah terasa sangat sebentar bersamamu. Ayah....menyayangimu Re.”

Aku bangun, duduk berhadapan dengan ayah. Kuusap pipi ayah yang basah. “Aure juga sayang sama ayah. Jangan nagis ya.”

“Sebentar lagi, ayah sudah tak ada hak untukmu. Kamu akan segera menikah Re. Ayah sudah tak bisa lagi memanjakanmu, menjagamu, melihatmu tidur seperti ini. “ dia tersenyum kecil. “Yang ada, ayah akan didamprat suamimu.”

Aku ikutan tersenyum, bahkan sampai tertawa kecil. “Sampai kapanpun, ayah selalu menjadi lelaki yang pertama dihatiku. Nggak akan ada yang bisa ngalahin rasa sayang ayah ke aku. Ayah sosok yang sangat aku kagumkan, sampai kapanpun.” Aku memeluknya. Pelukan yang hangat dari sosok ayah. “aku sayang ayah.” Bisikku.

“Ayah lebih menyayangimu Re.”

“Lho, mas. Suruh bangunin Aure kok malah pelukan sih.” Ummi muncul dipintu.

Aku melepaskan pelukan ayah. Lalu menatap ummi. “Emang kenapa mi? Mau ajak aku kemana?”

“Dibawah ada Zefan, sama mama dan papa nya. Juga kakeknya.” Jawab ummi.

Mataku melotot mendengarkan berita ini. Jangan-jangan Zefan serius mau ngelamar aku? Bahkan dia kesini membawa serta kedua orangtuanya juga. YaAlloh, Zefan beneran nekat ya.

Aku segera bangit, berdiri didepan ummi. “Ummi serius? Mereka ngapain kesini?”

“Mereka mau melamar kamu Re.” Jawab ummi resah.

Tentu ummi tau perasaanku. Dia tau aku mencintai om Evan. Aku menutup mulut yang membulat dengan telapak tangan. Ayah membelai kepalaku lembut.

“Ayah,” aku menatapnya, tatapan ayah yang teduh dan selalu menenangkanku. “Aku harus ngomong apa? Aku nggak enak untuk berterus terang. Terlebih sama tante Wuri dan om Sean.” Aku menggigit jari telunjuk, hal yang sering kulakukan saat aku bingung.

“Sekarang mandilah dulu ya. Dan temui mereka.” Ummi menenangkanku. Lalu dia mengajak ayah keluar dari kamarku.

Aku mandi secepat mungkin, ganti baju dan bergegas keluar menemui tamuku. Diruang tamu, ada om Sean, tante Wuri, kakek Zoy dan Zefan. Zefan menyambutku dengan senyum manisnya. Wajahnya tersenyum sepanjang aku datang. Aku duduk disamping ummi.

“Langsung saja ya Re, om datang kesini karna diminta sama Zefan.” Ucap om Sean. Seketika dadaku mulai berdebar, aku sangat gugup.

“Zefan ingin menjadikanmu seorang istri. Apakah kamu bersedia menjadi pendamping hidup Zefan? Kami juga sudah mengenalmu sejak lama. Kamu dan keluarga juga sudah mengenal kami dan Zefan. Om rasa, ini saatnya melihat kalian bersatu dalam ikatan pernikahan. Bukankah kalian sama-sama mempunyai rasa ketertarikan?”

Aku meremas jari-jariku. Gugup sekali rasanya, nafasku terasa berat. Mulai kuberanikan diri untuk mengangkat wajah menatap Zefan dan keluarganya.

“Semua keputusan ada di Aure. Saya sebagai orangtuanya, mengikuti semua keputusan Aure.” Jawab Ayah.

Dan mulailah semua mata menatap kearahku. Menanti setiap kata yang akan keluar dari mulutku. Aku menelan ludah berkali-kali, tenggorokan terasa sangat kering. Kutarik nafas yang terasa berat, lalu menghembuskannya pelan.

“Saya......” tidak mungkin menolak langsung secara terang-terangan. Ini pasti kan memperburuk tali persaudaraan. “Saya minta waktu untuk menjawab om.”

Aku rasa jawaban ini lebih baik, dari pada langsung menolaknya.

“Ah, iya Re. Memang menikah adalah hal terpenting didalam hidup. Tante tau perasaan kamu. Kabari kami saat kamu sudah menemukan jawabannya ya sayang.” Tante Wuri tersenyum tulus padaku.

Aku hanya senyum terpaksa sambil menganggukkan kepala. “Maaf ya om, tante, kakek. Kaureen perlu berfikir untuk meyakinkan jawaban yang nanti akan kaureen katakan.”

“Nggak apa, sayang.” Sahut kakek Zoy.

**

“Zef, kok kamu nggak bilang dulu sih kalo mau datang kerumah? Bareng om dan Tante juga. Bikin jantungan aja.” Ucapku dengan kesal.

Sekarang kita sedang duduk berdua di taman samping rumahku. Tepat disamping ruang tamu. Kita hanya terhalang kaca jendela yang besar saja. Dari tempat dudukku ini, bisa kulihat dengan jelas ummi dan tante wuri yang asik ngobrol dan om Sean juga ngobrol bertiga sama kakek dan Ayah.

“Pasti seneng kan?” Zefan masih dengan senyum yang mengembang. Dia menatapku penuh harapan, bahkan aku yakin dia sangat optimis jika aku akan menerima lamarannya ini.

“Iisshh apaan.” Jawabku sewot. Aku mulai manyun.

Aku merasakan ponsel disaku rokku bergetar. Sebuah pesan chat masuk dari Ranisya.

[Re, nanti malam kepesantren ya. Nenek pulang dari Lampung, di bawain oleh-oleh buat kamu.]

Aku tersenyum membaca pesan dari saudaraku ini. Mulai kuketik pesan balasan. Tapi Zefan menarik ponselku. Merebutnya dari tanganku. Aku mendongakkan kepala karna terkejut.

“Zef, apaan sih.”

Dia mengutak atik ponselku. Membaca chatku dengan Ranisya. “Penasaran aja, lagi ngobrol sama gue kok senyum sama ponsel. Emang gue kurang bikin lo greget ya?”

“Enggak lah. Kamu itu selalu bikin greget. Sampai rasanya gregetan pengen nimpuk.” Ucapku dengan kesal.

Dia berdiri, duduk disampingku dan mulai selfi dengan ponselku. Menunjukkan wajah kami berdua dilayar ponsel. Lalu foto itu dia kirimkan ke Ranisya.

“Zef, apaan sih!!” segera kurebut ponsel dari tangannya.

Saat inginku hapus, ternyata gambar itu sudah centang dua biru.

[Maaf, Sya. Zefan iseng rebut ponselku. Iya nanti aku main ke pesantren.]

Langsung kukirim pesan balasan. Tapi sayang, pesan itu centang dua abu-abu. Mungkin dia sudah tidak online lagi. Kukembalikan ponsel kesaku rok.

“Zef, ayo pulang.” Aku dan Zefan sama-sama menoleh kearah suara. Tante Wuri berdiri disamping jendela. “Besok kalian kan masih ketemu di kampus.” Lanjutnya menggodaku. Seakan kita berdua adalah pasangan yang sedang menumpahkan kerinduan.

“Gue balik dulu ya.” Zefan menatapku, mengedipkan satu matanya dan mulai berdiri. “Ntar sore pukul 5 gue antar ke pesantren.” Abis ngomong itu dia berlari masuk keruang tamu untuk pamit sama Ayah dan ummi.

Dasar!! Siapa juga yang mau diantar. Gerutuku dengan kesal.

Aku mengikuti langkahnya dengan malas. Bibir tetap saja kubuat senyum mengembang. Aku menjabat tangan keluarga Zefan. Setelah mereka pulang, aku kembali masuk kekamar.

Duduk di meja belajar, menatap setumpuk buku tugas dengan malas. Kembali lamaran dari om Sean tadi terngiang dikepalaku. Zefan beneran nekat, berkali-kali aku menolaknya, malah dia bawa orangtuanya kesini. Huufftt dasar dia!!!

~~

Sehabis ashar aku sudah berangkat ke pesantren bareng Reza. Tak kuhiraukan chat dari Zefan yang memintaku untuk menunggunya.

“Jadi tadi keluarga Zefan datang kerumahmu untuk melamar?” tanya Ranisya dengan sangat terkejut.

“Iya.” Jawabku lesu. Ada guratan kesedihan diwajah Ranisya, tapi aku nggak tau apa itu.

Kusandarkan kepala didinding teras mushola. Aku dan dia sedang ngobrol disini. Reza dan Fano ada didalam sama pakde Fata.

“Aku hanya sedang berfikir, bagaimana cara menolaknya.” Kuhembuskan nafas kasar. Ya, sedari tadi aku bingung bagaimana cara menolaknya tanpa menyakiti hati siapapun.

Ranisya melotot tak mempercayai yang kuucapkan. “Yakin kamu mau nolak Zefan?”

Aku ngangguk, “aku nggak cinta sama dia, sama sekali nggak tertarik.”

“Re,” Ranisya menatapku seperti tak percaya. “Pliss jangan ngomong gitu.”

“Aku jujur sya, dari dulu aku menganggap Zefan teman. Kita emang udah lama kenal, dia suka sama aku udah lama. Dan sejak saat itu aku juga selalu bilang kalo aku Cuma anggap dia teman. Eh, dianya malah nekat bawa orangtua kerumahku. Sekarang jadi runyam gini kan.” Jelasku dengan kesal. Kesal membayangkan wajah Zefan yang menyebalkan itu.

“Kamu udah punya yang lain Re?” tanya ranisya dengan ragu.

Aku ngangguk sambil terap menerawang. Sekarang terlintas wajah om Evan yang damai itu. “sebelum Zefan datang, dia lebih dulu ngelamar aku. Dan aku memang sudah menyukainya.”

“Jadi elo lagi ngerangkai kata buat nolak lamaran gue? Sekarang elo bingung mikirin gimana cara nolaknya?”

Tiba-tiba Zefan udah berdiri disampingku. Wajahnya memerah, rahangnya pun mengeras. Aku segera berdiri menatapnya.

“Zef, maafin aku.” Ucapku lirih.

Dia mencibirkan bibirnya keatas. “Akan gue buat lo memilih gue. Elo nggak akan pernah bisa milih yang lainnya.”

Zefan pergi meninggalkan aku yang masih berdiri tak mengerti dengan ucapannya. Dia berjalan sampai depan gerbang dan masuk kemobil. Dengan cepat mobil itu meninggalkan pesantren.

“Maaf, Re, sebenarnya Zefan udah sejak tadi berdiri di belakang kamu. Tapi dia melarangku memberitahumu.” Ucap Ranisya penuh penyesalan.

Aku menggigit bibir bawahku. Belum apa-apa dia udah sakit hati kan. Huufftt....dari awal aku udah menolak, dia saja yang terlalu memaksakan kehendaknya.

“Nggak apa, Sya. Kamu nggak salah kok. Aku emang nggak suka sama dia.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel