Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 5

Pagi yang cerah, aku begitu semangat untuk berangkat ke kampus. Setelah membersihkan diri sebentar, aku mulai menempel sedikit make up dan lipstik tipis. Memakai kaos lengan panjang bewarna coklat muda berpadu rok berbahan jeans warna hitam. Kuambil jilbab yang tadi pagi banget udah disiapin sama bik Milah.

Jilbab warna caramel yang cocok banget saat nempel dikulit wajahku. Aku tersenyum sendiri menatap pantulanku di cermin.

Ya Alloh, terimakasih karna engkau telah memberiku rupa yang sesempurna ini. Ucap syukurku sebelum meraih tas dan keluar kamar.

“Pagi ummi,” sapaku, ummi menoleh menghentikan sejenak kesibukannya.

“Duuhh anak gadisnya ummi cantik banget. Jilbab baru ya?” ummi mengamati jilbab yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Aku nyengir dan duduk dikursi. Ummi menuangkan segelas susu untukku

“Pagi ummi,” Reza turun dari kamarnya

“Wahh Ayah yang terakhir datang nih.”

“Pagi keluarga ummi semua.” Jawab ummi dengan senyum khasnya. Hampir setiap hari aku selalu melihat senyum diwajah teduh ummi.

Ummi Zeta, wanita yang sangat aku kagumi. Dia sangat sabar, bahkan aku belum pernah melihat dia menangis. Dia juga tidak pernah membenci seseorang, itu nyata karna setiap orang selalu dikatakan baik. Impianku, ingin mempunyai keluarga bahagia seperti yang Ayah Linxi dan Ummi Zeta miliki.

Kami semua sarapan bareng di meja makan dengan tanpa suara. Ya, memang dari kecil ummi udah didik kami untuk tidak ngobrol saat makan.

“Kamu semalam pulang jam berapa Za?” tanyaku setelah selesai makan.

Reza meraih gelas susu dan meminumnya. “Jam 10 kaya’nya. Mau nanyain om Evan kan?” dia natap aku menelisih.

Aku tepis telunjuknya yang mengacung jearahku. “Apaan. Enggak kok.” Elakku.

“Halah, keliatan.”

“Nanyain Evan juga nggak papa Re. Dia lelaki yang baik kok. Ayah udah kenal dia lama.” Sahut ayah.

Aku jadi tersipu. Kupegang kedua pipiku. “Emang kelihatan ya?”

“Iisshh,” ummi menyentil hidungku. “Kamu juga suka kan sama Evan?”

Aku hanya bisa tersenyum. Terlalu malu untuk mengakui perasaan yang aku rasakan ini.

“Noh, liat noh. Pipinya mirip udah bakar.” Timpal Reza sambil membingkai wajahku.

Kutepis tangannya dengan kasar. “apa sih Za!!”

Dianya terkekeh karna berhasil ngerjain aku. “Aku berangkat ya,” Reza udah beranjak, meminta tangan Ayah dan Ummi untuk disalami.

Begitu juga dengan aku. “Aku juga pamit ya.”

“Kalian hati-hati ya.” Ayah mencium pipiku sebelum aku beneran pergi.

Aku dan Reza jalan bersampingan keluar rumah. Reza melingkarkan tangannya dipundakku.

“Za, apaan sih. Lepasin, jilbabku bisa kusut.” Kutepis tangannya dengan cepat.

“Cie...cie...yang dapat hadiah dari si om.....” godanya.

“Eh, kok tau sih.”

“Nggak ada yang nggak aku tau ya.” Dia udah naik ke motornya, memasang helm dan berlalu pergi.

Reza baru masuk kuliah disemester awal, kami beda kampus. Dia masuk ke jurusan bisnis karna cita-citanya ingin seperti oppa Nick yang sukses dengan bisnis caffenya dan beberapa perusahaan. Rezatar zao Paulan, lelaki tampan yang mempunyai ilmu agama cukup tinggi dan menjadi idola dikampusnya. Diumurnya yang masih 19 tahun ini, dia udah pernah diajakin ta’arufan sama ukhty dari salah satu pesantren. Yang punya pesantren itu temannya pakde Fata. Sayangnya adikku ini punya kriteria yang lumayan tinggi.

Aku segera masuk ke mobil. Menyalakan mesin, dan menelfon Ranisya lebih dulu sebelum berjalan meninggalkan rumah.

“Assalamualaikum Re,” jawaban dari seberang saat telfon sudah terhubung.

“Waalaikumsalam Sya, aku otw ya.”

“Hari ini aku berangkat sendiri Re. Mata kuliahku mulai jam 9 nanti.” Tolaknya.

Aku mulai merasa ada yang aneh, memang sih bukan pertama kalinya dia menolak tawaranku untuk berangkat kuliah bareng. Tapi kali ini terasa berbeda.

“Oh, yaudah aku langsung berangkat.”

Aku menginjak gas dan segera meninggalkan plataran rumah.beberapa menit kemudian mobil sudah memasuki area kampus. Memarkirkan mobil ditempat biasa, membenarkan posisi jilbab sebentar dan keluar. Jalan dengan santai masuk kedalam kelas. Baru aja naruh pantat, udah aku lihat Zefan masuk kekelas.

“Pindah lo!” dia ngusir Leni yang tadinya duduk disampingku.

Leni jelas aja nurut, dia segera mengambil tasnya dan pergi pindah kebelakang.

“Zef, kamu apaan sih.” Omelku.

Dia mulai duduk disebelahku. “Apanya sayang?” tanyanya tanpa ngerasa salah. Wajahnya dibuat seimut mungkin sambil natap aku lekat.

Aku memalingkan muka. “Iisshh au ah. Males ngomong sama kamu.”

Dia malah ketawa kecil, rebahin kepala di meja depannya dan menatapku tanpa kedip. Pura-pura aja nggak lihat, walau sebenarnya aku ngerasa sangat nggak pede ditatap dia kek gini.

“Anjir lo Zef!! Ditelfonin dari tadi nggak diangkat. Monyet lo!!” seorang lelaki yang beda kelas masuk dan nyamperin Zefan. Setau aku namanya Willy.

Zefan tetep aja liatin aku sambil senyum, dia nggak peduliin temannya yang keliatan butuh Zefan banget. Sampai akhirnya dia pukul punggung Zefan.

“Tai lo!! Apa sih gangguin orang aja. Lagi liat bidadari tauk!!” dia elus punggungnya itu.

Aku terkekek melihat tingkahnya. Dari dulu emang nggak berubah, dia selalu absurd kek gini.

“Apa??!!” tariak Zefan yang membuat satu kelas menatap kearahnya. “Ya udah yok.” Zefan meraih tasnya. Lalu menatapku. “Gue pergi dulu ya sayang. Gue absen hari ini.” Lalu dia berlari mengejar temannya.

Dasar nggak jelas!! Memang mereka mau kemana sih. Kaya’ mau nolongin orang mati aja. Gumamku dalam hati.

Seperginya Zefan, pak Bram dosen yang ngajar hari ini masuk kekelas, dan pelajaranpun dimulai.

~~

Sepulang ngampus, aku memutuskan untuk mampir ke pom bensin lebih dulu karna bensin emang tinggal dikit. Antri sekitar 3 mobil, dan kini giliranku.

“Di full ya mbak.” Pintaku.

“Ok.” Jawab si mbak nya.

Mulai meraih tas dan mencari dompet. Sial!! Ditas nggak ada dompet. Waahh padahal semua ada didompet, aku nggak pernah nyelip-nyelipin duit di lain tempat.

“Udah mbak.” Si embaknya ngehampiri lagi.

“Aku minggir dulu. Dompetku ketinggalan.”

Kutepikan mobil agar antrian nggak terlalu panjang. Aku keluar dari mobil, nyari kontaknya Reza buat minta tolong.

“Dek,”

Belum juga telfonku diangkat, ada suara yang baru-baru ini melekat di telingaku. Aku menoleh, dan om Evan udah berdiri disamping mobilku.

“Om, kok disini?” dia masih pakai setelan jas lengkap.

“Iya pulang dari ketemu clien. Kamu ngapain? Kok nepi disini?”

Aku menggaruk tengkukku sambil nyengir. “Lupa nggak bawa dompet om.”

“Oh gitu. Terus, disini nungguin siapa?”

“Ini telfon Reza, tapi belom diangkat.” Aku kembali mencoba menelfonnya.

Mobil silver berhenti disamping mobilku. Didalamnya ada dua orang pria yang menatap kearahku.

“Mau tinggal apa ikut balik?” tanya yang didalam mobil itu. Dia ngomong sama om Evan.

Om Evan natap aku. “Nggak butuh bantuan kan? Aku balik kalo nggak butuh.” Dia berjalan ninggalin aku.

Hah??? Apaan sih om Evan nih. Dasar ya, kenapa jadi nyebelin kek gini coba. Dia tega biarin aku mematung dipinggir jalan begini.

“Om,” panggilku. Dia yang udah buka pintu mobil itu noleh kearahku. Termasuk dua orang yang duduk dikemudi depan itu. “Bantuin.” Rengekku.

Kedua lelaki teman om Evan itu tertawa kecil, membuat aku jadi malu.

“Cciiaa....yang udah dapat pelabuhannya.” Goda salah satu teman om Evan.

“Ya udah kalian duluan aja.”

“Pepet terus Van. Gue doain cepat ke pelaminannya.”

Lalu mobil silver itu berlalu meninggalkan om Evan. Dia japan mendekati embak pom bensinnya. Membayar tagihanku dan berjalan mendekatiku.

Kita masuk kedalam mobil barengan. Sekarang om Evan yang bawa mobilku.

“Kok bisa sampai lupa bawa dompet sih?” tanyanya sambil menghidupkan mesin mobil dan perlahan mobil berjalan meninggalkan area pom.

“Tadi ngambil sesuatu pas dikamar. Lupa masukin ke tas lagi.” Jawabku dengan manyun, mengingat dompet yang tergeletak di ranjang tadi pagi.

“Mampir kerumahku bentar ya. Aku mau ganti baju.”

“Iya.” Aku hanya ngangguk setuju.

Kami sama-sama terdiam. Hingga beberapa menit kemudian mobil berhenti didepan sebuah rumah berlantai dua. Walau berlantai dua, rumah ini terlihat lebih kecil dari rumahku. Tapi didepannya terdapat berbagai tanaman bunga yang terawat. Sangat sejuk.

“Ayo turun. Ada Ibuk didalam.” Ajaknya, dia lebih dulu membuka pintu.

Aku mengikutinya, mengekor dibelakangnya. Om Evan memencet bel disamping pintu. Menunggu beberapa menit, seorang wanita yang terlihat lebih tua dari mama Fhika membukakan pintu.

“Buk,” om Evan menyalami tangan wanita itu, yang aku tau adalah calon mertuaku. Eh,

“Tante,” aku ikut menyalaminya.

Wanita itu tersenyum ramah. “Ayo masuk.”

Ibuknya om Evan menggandengku masuk, dan mengajakku duduk diruang tamu.

“Evan ganti baju dulu ya Buk.” Ibuknya hanya ngangguk dan om Evan berlalu pergi.

“Kamu siapanya Evan? Pacarnya?” tanya ibuk.

Aku tersenyum. “Bukan buk, kita hanya teman kok.”

“Oh,” ibuk beranjak. “ibuk ambilkan minum sebentar ya.”

“Nggak perlu repot buk.”

“Udah, duduk aja. Sebentar lagi Evan turun.”

Ibuk berlalu meninggalkanku sendirian. Nyaman sekali rumahnya. Aku berdiri melihat keluar jendela. Ada kolam ikan kecil yang berisi ikan nila, di sekitarnya ada beberapa tanaman dan sebuah ruang santai disebelah kolam itu.

“Pengen duduk disana?”

Aku menjingkat kaget mendengar suara yang tetiba ada didekatku. Kuelus dadaku pelan, om Evan berdiri disampingku.

“Om ngagetin tauk.” Aku kembali duduk disofa. Om Evan duduk disebelahku. “Ikan yang dikolam itu suka dipancing ya?”

Dia ngangguk. “Kalo lagi jenuh aku dan Ayah suka mancing ikan disana.”

“Asik ya. Rumah om sejuk banget.” Kembali kuedarkan pandangan kesetiap sudut rumah.

“Kalo besok kita nikah, rumah ini juga akan jadi rumah kamu.” Jawabnya tanpa menolehku. “Lihat tuh pintu yang disamping tangga.” Mataku mengikuti arah telunjuknya. “Itu kamarku, besok juga akan jadi kamar kamu.” Lanjutnya.

“Iiihh om, apa sih. Belum aku jawab kan. Udah yakin banget sih.” Aku memanyunkan bibirku.

Ibuk om Evan datang membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan camilan tradisional yang aku belum pernah memakannya.

“Ayo diicipi nak. Ibuk sampai lupa nggak nanya nama.” Ibuk meletakkan sepiring makanan itu.

“Saya Aure tant,”

“Panggil aja ibuk. Jangan tante.” Ucap om Evan. Dia ngambil makanan itu dan mulai memakannya.

“Iya nak, panggil aja ibuk. Kalian sepertinya dekat ya?”

“Ti...”

“Iya buk, kemarin Evan udah lamar dia. Tapi belum dijawab.” Om Evan seenak jidat memotong ucapanku. Aku hanya bisa nunduk, nggak enak sama ibuk.

“Oh ya, jadi ini calon mantunya ibuk?”

“Doain aja buk jawabannya iya.” Omongnya tanpa ngerasa canggung atau salah. Kaya’nya sifat nyebelinnya keluar deh.

“Enggak apa-apa lah, dipikirkan dulu. Evan emang orangnya kek gini nak. Tapi seperti apapun dia, dia belum pernah mengecewakan ibuk selama ini. Dia anak yang baik, manurut ibuk. Kenali dulu saja dia lebih dekat ya, agak kelak tidak mengecewakanmu.”

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk canggung. Tiga hari lagi, insyaalloh aku akan menemukan jawabannya.

~~

Kami berdua berada ditepi pantai, duduk beralaskan pasir menanti sunset.

“Om, aku masih belum ngerti. Apa yang membuat om menyukaiku?” tanyaku menerawang jauh kedepan.

Om Evan menatapku. “aku juga nggak tau. Tapi sejak pertemuan kita pertama kali itu, aku selalu merasa penasaran denganmu. Aku selalu meminta disetiap doa untuk kembali dipertemukan denganmu.”

Aku tersentak kaget. Jadi, selama bertahun-tahun ini kita melakukan hal yang sama? Kita menginginkan permintaan yang sama? Aku jadi semakin yakin dengan jawaban yang akan aku katakan. Aku nanti malam akan melakukan sholat istiqoroh.

“Aku nggak akan memaksamu untuk menerimaku dek, tapi sungguh. Aku sangat menginginkanmu. Aku tulus mencintaimu.”

Aku menggigit bibir bawahku dengan erat untuk menghilangkan rasa gugup ini. Karna sejujurnya, aku juga mencintainya.

“Aku.....juga menyukai om. Tapi.....” sengaja aku menggantungkan kata-kataku.

“Kenapa dek?”

“Aku masih harus bertanya dulu pada Tuhan tentang pilihan hidupku ini om.”

“Iya dek, aku tau. Aku juga akan sabar menunggumu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel